Senin, 25 Agustus 2008

Cerita-Cerita Timur

Kumpulan cerita pendek ini pada mulanya disajikan dalam bahasa Perancis dengan judul Nouvelles Orientales atau “Cerita-Cerita Timur” (Terj. Indonesia) oleh Marguerite “Yourcenar”—nama samarannya—. Sebenarnya ia memiliki nama yang cukup panjang; Marguerite de Cleenewerk de Crayencour. Lalu, di saat ia terjun ke dalam dunia penulis, ia memutarbalikkan nama Crayencour menjadi “Yourcenar”, supaya orang lebih mudah mengingatnya.
Buku kumpulan cerpen itu, ditulis dan dipersembahkan Marguerite Yourcenar untuk seorang sahabatnya, orang Yunani, Andre Embricos—seorang penyair dan psikonalis, temannya saat ia berkelana di Yunani—. Di dalam pada itu, buku itu berisi cerita-cerita fiksi yang pernah di tangkap oleh kupingnya, saat ia mengembarai daerah timur Prancis—tempat tinggalnya—seperti Balkan , Yunani, Cina dan Jepang, kemudian ia menceritakan kembali dalam bahasa yang ringkas, padat dan puitis. Analogisnya, nilai estetis dalam cerpen itu seperti angin sepoi yang membelai pengembala ketika siang menggerayanginya dengan panas. Kiranya, pembaca akan tenggelam dalam genangan imajinasi dan, tentunya, estetis yang tersirat dalam cerpennya mampu menggugah pikiran pembaca seakan-akan ia—pembaca—pernah hidup di masa silam, saat perang dunia ke-II bergejolak di negaranya, Perancis.

Dalam bukunya ada sepuluh judul yang semuanya memiliki cerita-koherensif satu sama lainnya. Maksudnya, komposisi-komposisi ceritanya bersifat simetris. Cerita pertama berpadanan dengan cerita kesepuluh. Cerita kedua dan kesembilan, cerita keempat dan cerita keenam, lebih jelas lagi berikat, karena ia mengisahkan tokoh yang sama. Bahkan, bisa dibilang, cerpen itu memiliki alur atau plot yang cepat walau cerpennya tersirat alegori dan puitik. Tidak seperti cerpen Indonesia— dalam kategori cerpen-puitik dan alegori—yang rada-rada lambat. Tentunya cerpen karya Marguerite Yourcenar “Cerita-Cerita Timur” patut ditaklid—oleh cerpenis Indonesia—namun tanpa harus memupuskan kulturalisme bangsa kita sendiri atau karaktersistik setiap penulis.
***
Menurut Himawijaya kreatifitas seorang sastrawan dalam mencipta sebuah karya memiliki dua hal yang mesti dilakukannya—dalam penciptaan karya—. Pertama, proses internalisasi, yakni bagaimana sebuah gagasan, ide, keinginan, ataupun penglihatan, pendengaran atas realitas (baik indrawi atau sejati) disublimasikan di dalam diri. Di sinilah letak penggalian inspirasi, tindak kontemplasi. Kedua, proses eksternalisasi, yakni bagaimana beragam endapan dan sublimasi diri ini diartikulasikan dalam bentuk karya, dibahasakan, dan diwujudkan.
Tentunya, kedua hal di atas merupakan proses yang disublimasikan pada diri Marguerite Yourcenar dalam bukunya. Sehingga karya itu memiliki unsur objektivitas dan subjektivitas dalam memaparkan sebuah karya, yang dibilang mempunyai nilai estetis yang patut disejajarkan dengan sederet karya penulis-penulis Perancis lainnya seperti; Julio Cartezar, Milan Kundera, E. M. Cioran dsb.
Hemat kata, buku kecil itu bisa dijadikan kaca bagi penikmat, pelaku, pengamat sastra dalam mengarungi dunia sastra Perancis. Siapa tahu, salah satu dari mereka bisa memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia.

Hermeneutika Tangis Spiritual

Pernahkah anda menangis?
Pertanyaan di atas bukanlah semacam pertanyaan yang iseng, jenaka, bodoh atau lelucon akan tetapi sebuah pertanyaan yang bisa dijadikan refleksi personal untuk menguak sebuah ‘tangis’ yang dialami kita, sebagai manusia. Setiap manusia, tentunya, pernah menangis, tanpa terkecuali. Lalu, apakah tangisan yang dialami kita memiliki sense positif atau negatif.
Dalam buku “Tangis Rindu Pada-Mu” karya Muhammad Muhyidin menguak misteri tangis, yang sering dialami manusia, sehingga anda diajak menyelami hakikat tangis dan seluk-beluk air mata, pula mengajak anda belajar menangis dan mengeluarkan air mata dengan tangisan dan air mata yang tidak sia-sia belaka. Dan menangis tidaklah menjadi momok lagi bagi kehidupan manusia.

Mungkin selama ini ketika ada seseorang yang menangis karena duka atau bahagia, dianggapnya tangisan itu adalah bahasa jiwa. Dalam artian, menangis merupakan luapan fisik atau psikis yang terkandung dalam personal—baik itu sadar maupun tidak sadar. Entah itu menangis karena luka yang dideritanya, entah itu ditinggal sang kekasih yang lebih dulu mati. Entah menangis karena lulus ujian negara sebagai PNS, dan banyak lagi faktor-faktor eksternal maupun internal yang menyebabkan manusia menangis.
Dalam bukunya penulis menyeret kita menyelami samudera tangis demi mencapai hakikat tangis yang sesungguhnya. Dari berenang terhadap air mata sampai menyelam pada sumber air mata itu sendiri, dengan kalimatnya yang datar menyodok pembaca untuk tenggelam pada samudera tangis yang bermanfaat bagi manusia, alam dan sang pencipta. Pun, dalil-dalil agama—al-Qur’an dan hadist—, psikologi, mengebakinya di dalam sebagai baju selam bagi pembaca (supaya tidak sia-sia) untuk sampai di dasar samudera tangis demi mendapatkan sebuah mutiara tangis yang tiada tara.
Dari proses penyelaman itu, tentunya, kita akan diajak kepada dunia yang sifatnya spiritual, invisible. Mengasah kepekaan rasa, meluluhkan hati yang seperti batu, dan memuncaratkan air mata dengan mudahnya demi menggapai mahligai kebahagiaan, dunia dan akhirat.
Tangisan Spiritualistik
Seorang pemeran lakon dalam pentas drama memuncratkan air matanya, sebagai akting, sangatlah mudah, atau si buaya darat merengek di depan sang pacar dengan mengharapkan balasan cinta darinya, dan masih banyak lagi macam tangisan seperti itu. Tetapi, semua itu, berbeda dengan menumpahkan air mata karena mengharapkan rahmat Allah SWT bahkan merindukan-Nya—yang spiritualistik. Yakni tangis yang keluar dari jiwa yang tercerahkan. Sebuah tangis yang menafikan humanisme melainkan spiritualisme. Tangis yang bermuasal dari hati nurani, bukan dari letupan emosi. Tangis yang menyelamatkan seorang dari keterpurukan atau jurang mudhorat.
Seperti kita tahu, menangis kadang sulit dilakukan terutama saat hati kita lagi lapang atau bahgia. Barulah, ketika ada bencana, musibah, ujian, mata bisa meneteskan air mata, setetes demi setetes, kalau pun perlu, menangis seraya meronta-ronta. Ataukah hati kita sudah membatu dan buta, lantaran selalu lupa dengan-Nya.
Lalu, bagaimana dengan tangisan orang-orang syi’ah (salah satu aliran islamisme)—menjerit-jerit, seraya mencambuk kulitnya dengan benda tajam sampai-sampai darah bercucuran, demi berharap barokah dari cucu Muhammad SAW—Husain yang dibunuh oleh kaum Quraish—di samping mengharap ridho Ilahi, tepatnya dilakukan di bulan as-syura (muharram). Apakah tangisan semacam itu tergolong tangisan spiritualistik atau tangisan awam yang tak berguna atau sia-sia belaka.
Dalam bukunya, penulis (M. Muhyidin) menafsirkan “tangisan kaum syi’ah” sebagai tangisan awam (tingkat tangisan terendah), tangisan yang tidak bermanfaat, baik psikis maupun fisik, dan lebih banyak mudhoratnya. Bayangkan, darah yang berceceran dari kulit kaum syi’ah dianggap darah suci yang bisa mengantarkannya ke surga, bagi kaum syi’ah.
Sungguh pun, kasus di atas merupakan upaya sebuah tangis yang berbeda, dalam kaca mata penulis (Muh. Muhyidin) yang beralirkan sunni. Di mana kaum syi’ah merupakan kaum yang dinafikan dipelbagai sektarian islamisme (aliran-aliran islam) bahkan sebagian para pemuka islam mengklaimnya kafir atau sesat. Menurutnya, tangisan itu memiliki banyak mudhorat (uselles).
Meminjam teroka Ibnu Sina (Avicenna) dalam konsep dualisme dalam menerangkan hakikat ruh dan tubuh yang dibenturkan terhadap realitas. Yakni, andaikan seorang dilahirkan dalam keadaan sudah dewasa dan dalam suatu ruang yang kosong, dan ia tidak dapat melihat, meraba, mencium dan mendengar. Andaikan selanjutnya, ia tidak dapat meraba atau melihat tubuhnya sendiri bahwa anggota-anggota tubuhnya tidak dapat saling sentuh. Orang itu, tentunya, tidak akan mampu memastikan dirinya. Apa yang dipastikan tidak mungkin serupa dengan apa yang tidak dipastikan. Jadi, kalau ditarik benang merahnya, tangisan kaum syi’ah itu belum tentu suatu aksi yang nonsense atau pun useless. Sebab si penulis, tentunya, menilai sebuah tangisan itu dengan kaca mata sunni, di mana menangis tidak perlu disertai sedu sedan dan suara yang menggerung seperti yang penulis (M. Muhyidin) kutip dari kitab Zad al-Maad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Lihat bab V). Analoginya, kita tidak akan tahu pedasnya cabai kalau kita tak mencobanya, bukannya bertanya pada seseorang yang telah memakannya atau mendengarnya. Seorang Imam Ghazalie pun mendukung seorang al-Hallaj—filsuf muslim yang didekrit kafir oleh para filsuf muslim sendiri dan pemerintah pada zamannya, hingga ia harus mati dibakar oleh pemerintah di zamannya gara-gara ia berbilang; Ana Al-Haq (aku ini yang Hakiki atau Allah)—dalam bukunya Mishkat al-Anwar. Perlu diketahui, opini, asumsi, teroka itu bersifat kebenaran subjektif akan tetapi bagaimana kebenaran subjektif itu membias pada kebenaran objektif (sejati), terkecuali karya Tuhan (Allah SWT) yang maha objektif dan sempurna.
Jadi jelas, teroka dualisme Ibnu Sina patut dijadikan sebuah mikroskop dalam menafsirkan sebuah ‘tangis’. Apalagi menyangkut aksi spiritualisme kaum syi’ah yang tak bisa diklarifikasikan dengan mudahnya, sebagai tangisan sia-sia, mungkin (saja) si penulis berkaca mata yang retak atau tidak patut dipakai. Karena hal ini menyangkut akal, jiwa, hati seseorang. Oleh karenanya si penulis haruslah memerhatikan sebuah teroka objektif, dedikatif, dan bijaksana.
Hemat kata, apapun kelemahan dalam buku itu seyogyanya patut dibaca oleh para muslim sebagai kompas hati-nurani, menguak hakikat “tangis spiritualisme” yang mampu menuntun kita merajut kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup. Sebab menangis itu bukanlah hal terburuk atau momok bagi manusia, selama manusia itu menangis demi Dzatillah atau sang pencipta yang menciptakan kita sebagai makhluk sempurna daripada makhluk lainnya, sebab dengan menangis karena rindu pada-Nya raga-jiwa kita lebih peka terhadap cipta, rasa, karsa yang bersemayam dalam tubuh, pula (bisa) menuntun langkah kita mencapai kebahagian dunia wal akhirat.***

Judul Buku : Tangis Rindu Pada-Mu
Karya : Muhammad Muhyidin
Penyunting : Yadi Saeful Hidayat
Cetakan : I, Januari 2008
Penerbit : PT. Mizan Pustaka, Bandung.
Tebal Buku : 270 halaman.

Rabu, 20 Agustus 2008

Lowongan

Pemilihan Bintang Film Televisi


Ayo buruan, jangan sampai telat, daftarkan diri anda untuk menjadi bintang film, bintang iklan, presenter ataupun model.
Ikuti pemilihan bintang film televisi yang diadakan oleh D’COLOR Management…
Syaratnya:
  • Anak-anak 4-11 tahunRemaja 12-16 tahun
  • Dewasa 17-21 tahun
  • Eksekutif Muda 22-30 tahun
Caranya gampang:
Kirimkan 2 lembar foto terbaru (close up dan seluruh badan) dengan biodata lengkap *(cantumkan juga nama dan pekerjaan orang tua) serta perangko balasan ke;
D’COLOR ARTIS MANAGEMENT
Jln. Pangeran Antasari No. 50 Cilandak-Jakarta 12430 Indonesia
Telp. 021-765 4724 – 021 9127 6933. Fax. 021-7654724
“Tulis JKT2C di Sudut Kiri Atas Amplop”
Paling Lambat 30 September 2008 Cap Pos



untuk keterengan lebih lanjut kunjungi www.colorinc.com
“KOTA DI MATA SISWA”
Lomba Mengarang Kompas 2008 untuk Siswa SMA/SAMK/Sederajat.

Herman Wilhem Daendels, si kutu buku itu ternyata ternyata terinspirasi Cursus Publicus, jasa pengiriman pos dan informasi militer di zaman Romawi Kuno.
Ketika Herman Wilhem Daendels menjadi Gubernur Jendral Wilayah Hindia Timur dan berkedudukan di Jawa pada kurun waktu 14 Januari 1808 hingga 16 Mei 1811, ia membuat kebijakan penting yang kelak menjadi titik tolak perkembangan infrastruktur di jawa hingga kini. Kedua Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) sepanjang kurang 1000 km yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Pulau Jawa.
Jalan Raya Pos (Jalan Raya Daendels) dan sering pula disebut Jalan Raya “94 Anjer-Panaroekan” 94 adalah rute jalan yang kemudian mendorong tetapi juga merongrong pertumbuhan tata kota, dan kultur kota-kota yang dilaluinya. Sisi gelap lainnya adalah sejarah penindasan yang bergelimang vduka derita penduduk karena dipaksa bekerja keras dengan bakal minim sekali.

Tema Lomba:
Dalam rangka mendukung ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya oleh Harian Kompas dan mengembangkan wawasan sejarah serta pemahaman siswa tentang pertumbuhan perkotaan dan perbagai masalahnnya. Harian Kompas menyelenggarakan Lopmba Mengarang untuk Siswa SMA/SMK dan sederajat bertema “Kota Di Mata Siswa”.
Bagaimanapun pertumbuhan sebuah kota, sejumlah kota, atau sebuah kawasan pada jalur Raya Pos atau jalan Anjer-Panaroekan tadi dalam demensi masa lalu, masa kini, dan masa depan menurut siswa SMA/SMK dan sederajat. Bagaiman pula kekecewaan, dambaan, dan jalan keluar yang ditawarkan siswa SMA/SMK dan sederajat atas problem sebuah kota, atau kawasan, pemilihan kota, kawasan yang akan menjadi kajian peserta lomba dibagi dalam 3 wilayah sesuai provinsi lokasi sekolah siswa peserta:
  1. Wilayah Prov. Banten/ Jawa Barat dan Jakarta.
  2. Wilayah Prov. Jawa Tengah.
  3. Wilayah Prov. Jawa Timur.

Bentuk dan Panjang Karangan
  1. Karangan berbentuk esai, merupakan tulisan asli, dan belum pernah dipublikasikan.
  2. Panjang karangan 4000-7000 karakter (belum termasuk halaman nama dan alamat sekolah peserta/bukti diri), spasi rangkap (ganda) dengan huruf Times New Roman dengan font 12.
  3. Karangan disertai nama pengarang, alamat lengkap sekolah dan rumah, serta nomor telepon (sekolah/rumah/handphone) yang mudah dihubungi.
  4. Dewan juri terdiri dari tiga orang wartawan Kompas. Dan keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
  5. Lima (5) karangan terbaik di tiga wilayah akan dipresentasikan di depan dewan juri tanggal 22 Agustus 2008 di Kantor Biro Kompas Jawa Barat (Bandung), tanggal 23 Agustus 2008 di Kantor Biro Kompas Jateng (Semarang) dan tanggal 24 Agustus 2008 di Kantor Biro Kompas Jatim (Surabaya). Kelima peserta terbaik dari tiga wilayah akan diundang ke kantor biro dan panitia akan mengganti ongkos transport.
Pengiriman Karangan
  1. Karangan dikirimkan ke alamat, atau dikirimkan langsung ke alamat Kantor Redaksi Biro Jakarta (Jln. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta), Kantor Redaksi Biro Jawa Barat (Jln. RE Martatadinata no. 46 Bandung), Kantor Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah (Jln. Menteri Supeno 35 Semarang), Kantor Redaksi Kompas Biro Jawa Timur (Jln. Raya Jemursari no. 64 Surabaya).
  2. e-mail; anjerpanaroekan@kompas.co.id
  3. batas waktu (deadline) penerimaan karangan kepada Panitia Lomba;
  4. Wilayah I (Banten/Jabara/DKI Jakarta) tanggal 20 Agustus 2008
  5. Wilayah II (Jateng) tanggal 21 Agustus 2008
  6. Wilayah III (Jatim) tanggal 22 Agustus 2008

Pemenang dan Hadiah
Panitia akan menetapkan juara I, II, III di setiap wilayah.
Pengumuman pemenang akan diumumkan di harian Kompas pada tanggal 23 Agustus 2008, yang bertepatan dengan Penutupan Ekspedisi 200 tahun Jalan Pos.
Setiap karangan akan dipublikasikan di masing-masing daerah.
Lima (5) penulis terbaik akan memperoleh sertifikat, voucher belanja buku, dan penggantian uang transpor.
  • Juara I @Rp. 3.000.000
  • Juara II @Rp. 2.000.000
  • Juara III@Rp. 1.000.000
Juga memperoleh sertifikat, voucher belanja buku, masing-masing.
Hadiah bagi juara I, II, III bias diambil di kantor Kompas Biro Wilayah masing-masing.



Keterangan lebih lanjut hubungi;
021-5347710 ( Inge, Jakarta), 022-4234699 (Dewi, Bandung), 024-8454470 (Femi/Juni, Semarang), 031-8481919 (Riska, Surabaya).

Jumat, 15 Agustus 2008

Lomba Esai

L o m b a E s a i

Korean Literature Translation Instite (KLTI) dan Indonesia Culture Center Seoul (Pusat Budaya Indonesia, Seoul) bekerja sama dengan Program Studi Indoneisa dan Program Studi Korea, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan penerbit Gramedia Pustaka Utama menyelenggarakan Lomba Penulisan Esai yang membahas atau mengapresiasi buku antologi cerpen “Laut dan Kupu-Kupu” (terjemahan Koh Young Hun dan Tommy Christomi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Lomba bertema “ Mengenai Masyarakat dan Budaya Korea melalui Karya Sastra (CerPen)”.
Persyaratan:
  1. Lomba terbuka bagi WNI dengan usia tak lebih 40 tahun (dibuktikan dengan KTP)
  2. Naskah lomba belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun, ditulis dalam bahasa Indonesia yang kreatif dan merupakan karya asli. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah lomba. Panjang tulisan 4-10 halaman kuarto atau A4 dengan font Times New Roman 12, 1,5 spasi (2000-4000 kata).
  3. Dikirim kepada panitia sebanyak 5 kopi, maksimal tanggal 29 Agustus 2008 (stempel pos) ke alamat: Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univesitas Indonesia, Depok 16424.
  4. Keterangan lebih lanjut mengenai lomba ini, hubungi sdr. Prisilia Limbong, Program Studi Indonesia, telp; (021) 78881018, Fax. (021) 78881018, atau email: lombaesaikorea@yahoo.com.
  • Hadiah:
• Juara I Rp. 2.500.000
• Juara II Rp. 2.000.000
• Juara III Rp. 1.500.000
Juara I dan II akan mendapat kehormatan berkunjung ke Korea atas tanggungan panitia (tiket PP Jakarta-Seoul, Seoul-Jakarta, fiskal, akomodasi, konsumsi dan transportasi selama di Korea). Panitia tidak menaggung biaya pembuatan paspor dan visa. Dan 10 esai terbaik (di luar juara I, II, III) akan mendapat hadiah masing-masing @Rp. 1.000.000

Selasa, 12 Agustus 2008

Mantra Hidup (1)

Ketika kita berangkat tidur, sering akal pikiran kita berkeliaran, menuju alam—tak tahu namanya—yang penuh kebahagiaan yang terseret dalam pencapaian cita-cita yang kita impikan. Entah itu berupa klise sebuah kenangan ,impian, kerinduan bahkan duka yang selalu menjelma hantu.

Tentunya, saya dan anda mengalami hal tersebut…

Lantas, apa fungsi akal pikiran kita yang sering berkeliaran—entah menuju sebuah pencerahan atau pun kegelapan—dapat membantu dalam pengembangan psikis-diri, demi meraih impian yang cerah, esok hari. Bolehlah anda menilainya dengan akal sehat dan lempengan nurani yang selalu mematri, amat terang, pada raga-jiwa kita…

***

Mungkin selama ini kita tidak menyadari makna akal pikiran yangs sering berkeliaran adalah suatu yang bisa dibilang: “hanyalah membuang waktu.” Tapi bagi saya TIDAK. Hal tersebut merupakan biasan dari jiwa manusia yang ingin melakuakan sebuah perubahan dalam hidup. Mungkin kita sering terbayang—dalam benak—punya mobil mewah, uang ruah, serta pasangan hidup yang begitu wuah (cantik+setia) meskipun belum terealisasikan dalam hidup. Tak pelak sebagian orang asyik merebahkan tubuhnya di atas kasur untuk menggerakkan imajinasinya sebagai pemuas diri walaupun kenyataan itu masih sangat jauh. Tapi masih menjadi pemandu untuk selalu semangat dalam menempuh hidup… Sebab sang Tuhan mencipta sebuah akal bagi manusia untuk mengajak selalu berpikir tentang fenomena yang terjadi.

Di saat fenomena-fenomena yang terjadi sekeliling anda menerjang terus menerus, pelbagai perasaan akan sering mewarnai setiap insan. Entah itu ria atau duka. Tergantung pada manusianya. Apabila manusia itu siap dan memiliki hati-akal pikiran yang kokoh bagai akar beringin yang berpilih pada perut bumi, maka pencerahan dalam hidup akan tiba membawa pesan kebahagiaan. Misalnya; Muhammad, Yesus, Sidharta, tegar dan kokoh terserang fenomena-fenomena—yang amat kejam—hidup demi mencapai sebuah penghargaan istimewa di sisi Tuhannya. Lalu bagaimanakah dengan saya, engkau, dan kita semua. Bisakah kita tegar dalam menapaki hidup yang cukup susah, kian hari, bahkan mampet. Di tambah lagi harga BBM yang naik, sepekan lalu, sering menjadi fenomena yang amat menakutkan bagi setiap diri. Tak Dan tak perlu khawatir dengan kenaikan BBM itu (yang menjadi salah satu fenomena yang vitalis bagi kita), yang terpenting sampai dimanakah hati-akal pikran menangkap, mengevaluasi, serta bertindak (gigih) mengarungi hidup tanpa harus kesal-gusar terhadap kepuitusan pemerintah bahkan putus asa dan mengakhiri hidup. <kunjungi www.kayamuda.uni.cc> Belum lagi fenomena keyakinan (krisis) menjadi sebuah celurit untuk menghantam satu sama lain agar keyakinannya tidak diinjak-injak atau komunitas keyakinannya menjadi minim…dsb.

Untuk meminimalis fenomena-fenomena yang menyebabkan hati kita ciut, tak ada salahnya rohani kita diisi dengan pelbagai macam suplemen hidup; berdo’a dan bekerja. Sebab do’a adalah persembahan manusia untuk sang pencipta sedangkan bekerja (yang sifatnya baik-halal-legal) merupakan amanat dari-Nya demi menjaga sebuah peradaban manusia di dunia yang beresensikan; damai-sejahtera. ***

Minggu, 03 Agustus 2008

GOLPUT ITU HARAM

“Majelis Ulama Indonesia (MUI) Madura berkampanye agar masyarakat tidak menjadi golongan putih/golput (tidak menggunakan hak pilihnya) karena golput adalah perbutan haram.” (Koran Tempo Jawa-Bali, 15 Juli 2008).

Fatwa (kampanye) MUI Madura di atas merupakan sebuah dinamit—yang mampu membunuh psikis—terhadap kaum muslim, wa bil khusus muslim yang berada di pulau garam (Madura). Tentunya, kita tahu, perkataan/ucapan seorang kiai di tanah jawa ini bagai mantra yang mampu menyihir masyarakat (awam) walaupun fatwa MUI Madura (secara hakikat) itu tidaklah benar—dalam syar’i islam—. Apalagi fatwa itu tidaklah menyangkut syar’i lil ibadah melainkan hanya syar’i lil siyasi, kepentingan golongan tertentu atau poltik, dalam menyukseskan misinya yang terselubung. Sebab golput sendiri bukanlah urusan ta’abbudi ilallah, jadi larangan haramnya tidaklah sah. Bisa saja, aliran golput itu sudah muak dengan janji-janji manis para calon pemimpin yang sudah lazim dengan buaian gombalnya dalam berkampanye. Dalam sejarah islam saja, Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga pernah melakukan golput saat Sayyidina Umar bin Khattab menjadi khalifah (pemimpin). Jadi golput sudah eksis di zaman Khalifatur Rasyidin. Jadi golput bukanlah hal tabu, melainkan sikap kontradiksi terhadap sebuah kontruksi yang terangka dalam sebuah miniatur negara, yang tak lain politic-civilitation.

Dalam menelisik fatwa MUI Madura berdasar hadist nabi SAW dalam kitab Khusnul Hamidiyah karya Imam al-Mawardi (seperti yang diberitakan Koran Tempo) menyebutkan bahwa memilih pemimpin itu hukumnya wajib. Bisa saja MUI Madura “salah” dalam menafsirkan kalimat tersebut sebab pendapat Imam al-Ghazalie dalam menafsirkan, di kitabnya yang fenomenal (ihya’), hadist tersebut bahwa bukanlah memilih pemimpin dalam arti sebenarnya melainkan memilih untuk tidak melakukan hal-hal yang dilanggar agama. Jadi fatwa MUI itu dengan jelas tertolak/tidak sah seperti; hadist nabi SAW dari Siti Aisyah yang terdapat dalam kitab muttafuq-‘alaih bahwasanya beliau bersabda; barang-siapa yang mengada-ngada (ahdats) dalam urusan agama kami (islam) maka dengan sendirinya ajaran itu tertolak. Lantas permasalahanya adalah bagaimana fatwa MUI Madura dapat dibenarkan sebagai sebuah ajaran dalam islam!
Tapi satu hal yang perlu diingat golput bukanlah jalan untuk membangun bangsa yang demokrasi yang berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Panggung Politik dan Ulama
Sebentar lagi masyarakat wilayah Jawa Timur akan melaksanakan pemilihan gubernur dan bupati (hanya di bebarapa wil. Jatim), pastinya segelintir orang yang memunyai karismatik, publik figur, dan stake-holder dalam sebuah masyarakat sudah pernah bertatap muka dengan para calon pemimpin Jatim, tentunya, sebagai bentuk dari berkampanye.
Di wilayah Jatim sesosok orang yang memunyai karismatik, publik figur, ataupun stake-holder dalam masyarakat hanyalah sesosok kiai/ulama—entah itu memiliki lembaga pendidikan/pesantren ataupun tidak—yang terpenting label “kiai/ulama” yang melekat pada dirinya. Di sinilah, jabatan itu sering dibuat “klise” dimana sebuah jabatan yang mulia (kiai/ulama) sering menjadi pembalut politik—menahan kotoron-kotoran politik saja, terbukti dengan kampanye-kampanye yang mengatasnamakan (berjubel) ulama dan agama. Dan memang, tak bisa dihelak, ulama saat ini banyak aktif di panggung politik ketimbang pada masa orde baru (OrBa). Padahal, seharusnya, peran ulama itu sebagai penyeimbang (balancer) dalam ranah politik dimana politik Indonesia masih mengalami fase-fase degradasi moral hingga rakyat masih banyak mengalami kesulitan-kesulitan. Atau mungkin reformasi sudah menjadi hantu kentayangan bagi halayak sampai-sampai label “reformasi” sebatas pergantian masa (orde) dalam perjalanan bangsa ini.
MUI (Madura) “Salah Peran” dalam panggung Politik
Dalam fatwanya MUI—golput itu hukumnya haram, sudah menerapkan konsep kabilah spiritual (qabilah ruhiyah) dalam memerankan kepentingan politik (siyasi) demi tercapainya tujuan ekplisit maupun implisit. Alih-alih mereka menggunakan pedang akidah demi tercapainya sebuah tujuan (kepentingan) yang terselubung. Padahal peran ulama dalam berpolitik adalah mujtahid (pencerahan), mengejewantahkan penyimpangan-penyimpangan politisi, bukannya “pembebek”—meminjam istilah al-Jibri—(muqadllid) yang selalu nurut (arus) si empunya ke mana ia pergi. Ironinya lagi, peran yang dilakoninya tak lebih dari sekedar pelawak. Siapa sangka pemilik gudang ilmu (ulama) itu membakar dirinya sendiri demi kepentingan sepihak, bukan kemaslahatan umat. Bisa jadi, MUI (Madura) kehilangan otentik perannya; tergerus oleh gesekan-gesekan politik atau kepentingan subjektif yang sekan-akan tidak memunyai peran (kepribadian) hakiki. Lalu dimanakah posisi al-ulama wirasatul al-anbiya’ (ulama pewaris nabi) yang bermisi kemaslahatan umat bukannya “meresahkan umat” ?
Dan tak bisa dihelak, dalam akidah islam sesosok ulama dilazimkan (wenang) dalam berpanggung politik, sebaliknya bisa menjadi kewajiban ulama untuk memerjuangkan aspirasi umat apabila melihat kemungkaran yang dilakoni oleh para birokrat maupun politisi, seperti yang terjadi pada perpolitikan di Indonesia saat ini. Bukannya malah bermain api. Lagi pula, setiap manusia di muka bumi ini memiliki hak asasi dalam berpolitik seperti yang diatur UU HAM.
Hemat kata, seharusnya ulama haruslah mengambil sikap atau memberikan contoh utilitaristik dalam melakoninya sebab utilitaristik tersebut merupakan etika sukses (akhlakul karimah), dengan mendominasi tujuan-tujuan moral-agung tertentu, demi terbangunnya masyarakat sejahtera. Jazaakumullah.