Sabtu, 29 Agustus 2009

Esai


Ajaran Yesus Tentang Puasa*)

"Jangan membanggakan diri karena berpuasa," sabda Yesus—di tengah-tengah pengikutnya orang-orang Farisi—saat memberikan petunjuk untuk alasan utama tentang puasa, seperti dikutip dalam Alkitab, "Jika Anda pergi (keluar) tanpa makan, jangan tampakkan murung seperti itu. Saya yakin Anda sudah memiliki pahala". Pada waktu itu orang-orang Farisi yang berpuasa pada hari Senin dan Kamis, yang merupakan hari (pasaran) sibuk dengan segala aktifitas, supaya puasanya dapat dilihat oleh orang. Puasa yang dilakukan oleh banyak agama dan telah menjadi tradisi untuk berbagai etnis di seluruh dunia. Ajaran puasa juga banyak dilakukan oleh orang Kristen sekarangpun. Sebagai nilai-nilai (esensi) yang pada dasarnya adalah bersifat universal, karena itu ajaran tersebut memunyai titik kesamaan dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad tentang puasa di bulan suci Ramadan. Islam mengakui Yesus sebagai nabi, kami juga dapat belajar dari agama lain pada substansi puasa. Yesus berkata, "Tetapi, sisirlah rambut Anda dan mencuci muka. Kemudian orang lain tidak akan tahu bahwa Anda akan pergi tanpa makan. Tetapi Bapamu melihat apa yang dilakukannya dan dia akan memberikan penghargaan kepada Anda." Di sisi lain, Nabi Muhammad berkata, "Setiap kebaikan adalah imbalan yang sama dengan kebaikan 10 hingga 700 kali lebih banyak, kecuali puasa. Puasa adalah untuk SAYA dan SAYA akan memberikan pahala." Secara alamiah, dua agama yang berbeda, juga konsepnya dan cara-cara puasanya. Luarnya berbeda, yang paling penting adalah bagaimana untuk merenungkan puasa untuk mampu mempengaruhi karakter kepribadian serta transformasi mental dan spiritual.

Esai

SEPIRING NASIONALISME

Do’a Kaum Proletar
Oleh; Adi Winarto
Sebagian warga sudah melaksanakan ritual menyambut hari kemerdekaan negara yang ke-64. Mulai dari kegiatan menyambut hingga hari H. Serangkaian lomba, pawai, karnaval dsb sudah menjadi tradisi dalam menyambutnya, hingga pengibaran sang saka “Merah Putih” sampai penurunannya. Lantas, apakah peringatan hari kemerdekaan RI hanya sebatas itu saja? Apa tak ada lagi yang (perlu) digali dalam memaknai kemerdekaan yang sudah melampaui setengah abad? Pertanyaan ini bukan lahir dari seorang putra pahlawan besar, tokoh bangsa, ataupun elite bangsa ini. Pertanyaan ini lahir dari anak desa, yang hidupnya di kaki gunung, namun saat remaja (mungkin juga beranjak dewasa) pernah tinggal di beberapa kota besar seperti Surabaya, Malang, Jakarta, Bali, Palembang. Dan kini hidup di Jember sebagai anak jalanan. Pertanyaan di atas mungkin saja dianggap berlebihan (bisa pula sampah), oleh beberapa kalangan (hedonis, kapitalis, neo-marxist). Apalagi bagi mereka mengatasnamakan dirinya “Mahasiswa.” Mungkin sudah banyak lupa/alpa dalam menggali makna nasionalisme. Apalagi para pejabat yang telah memangku kekuasaan diberbagai sektor. Mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan pusat. Buktinya, bangsa ini semakin mengalami masalah yang amat pelik. Masalah bangsa terus bertambah, serasa penyakit akut saja. Bisa pula dengan umur ibu pertiwi yang sudah tua renta (ah, tapi metaforis belaka). Marilah kita tengok sejenak di sekitar kita. Masih banyak adik-adik kita yang mengais rezeki demi sesuap nasi hingga masa kanak mereka digadaikan atas segumpal harapan. Saban pagi yang biasanya digunakan untuk mencari ilmu dan bermain, malah peluh kuning menempeli tubuhnya yang lusuh akibat berjalan kaki, mencari tangan-tangan dermawan. Walaupun—di sisi lain—anak-anak jalanan terlahir dari sebuah serikat/tim, yang sengaja dibentuk oleh perorangan, dengan otoritas bisnis. Apa bisa bangsa ini disebut (dielu-elukan) bangsa/Negara yang merdeka?