Sabtu, 25 Desember 2010

Cerpen

Angsa Putih*
Oleh; Adi Winarto

Malam tiba. Denting jarum jam dinding terasa mengetuk telingaku seperti langkah Sumarni saat mengendap-endap, menyusuri pinggir rumah, unuk mengetok jendela rumah sebagai isyarat bahwa malam adalah taman firdaus bagi sepasang kekasih. Saat itu, denting jarum jam masih mengiringi detak jantungku: yang kesepian menunggu Sumarni.
Malam bagai rambut Sumarni—yang legam, yang teruarai dengan indahnya. Gurat-gurat cahaya rembulan kian melamat wajah anggun Sumarni dalam benak. Yang menerobos rerimbunan rambut kepala hingga kantong putih kecil; deg-deg-deg-deg… Ada sesuatu aneh menyusup tubuh. Gemetar. “Di manakah engkau Sumarni malam ini…? Aku menginginkanmu…?” Suara kecil hatiku.

Cerpen

NADA DI PELIPIS PRAHARA
Oleh; Adi Winarto dan Arief Rusli
#DO
Nada baru saja dimulai. Awal dari pengembaraan imaji. Satu persatu tersusun bagai molekul-molekul dalam bejana. Tumpang tindih seakan gundukan pasir. Mengikuti irama sepi. Hanya ada syair berbaris mengekori tangga nada: DO-RE-MI…
Di sini, aku masih sendiri. Memeluk gitar tua. Serasa kekasih di peraduan sebagai teman setia. Udara membisu. Bulan menggagu. Semua diam. Tak ada respon. Hati pun mulai merasakan getaran nada dalam jiwa. Terkuak melalui goa keramat. Sebagai penghibur untuk kesedihan.
Kopi menjadi teman setia, sebagai pendengar. Juga, sebatang rokok kretek sangat setia mendampingi. Lalu—

Esai


Refleksi Hari Ibu ke-82 (22 Desember)
Ibu, Islam, Bangsa
Adi Winarto

Pernahkah membayangkan, seandainya Hawa tak membujuk Adam untuk memakan khuldi di surga? Tentu dunia mengalami absurditas. Tak ada dinamika dan harmonika alam semesta. Tentu tak ada kehidupan bangsa manusia dan seisinya. Namun, perlu diingat, aksi Hawa bukan ‘sebuah kejahatan’ dalam membujuk Adam, melainkan reifikasi[1] yakni membuat nyata sesuatu yang sebenarnya abstrak. Dalam arti, aksi Hawa bukanlah malapetaka, melainkan berkah dari Tuhan supaya mereka bisa menjalankan sisi kemanusiaanya di dunia (al insan al khatta’ wa al nisyan).  
Di sisi lain, Hawa (feminis) bukan biang keladi dari sebuah (muasal) kejahatan di muka bumi ini, seperti yang dititahkan para semitisme radikal atau konservatif. Bahwa perempuan merupakan biang fitnah atau pemantik ke liang neraka hingga akhirnya—kini, perempuan selalu mendiami kaum kelas 2, inferior, sesudah garis laki-laki (paternalis atau patriakh).
Padahal kalau ditelisik, bahkan dijuntai untuk menemukan pangkal sarinya, perempuan merupakan balancer dalam kehidupan kita. Adam yang diturunkan Tuhannya ke muka bumi ini mampu menemukan pangkal cahaya (al nur al tharaf) dalam menjaga keseimbangan dunia (rahmatan lil ‘alamin). Sehingga bumi bisa dikebaki manusia hingga kini.

Selasa, 09 November 2010

Esai



M E L I S S A*
(Sel-Sel Feminisme pada Gadis Kecil)
Oleh: Adi Winarto
Melissa senang berkaca pada cermin. Suka melihat seksi tubuhnya. Bersih dan mulus seperti embun terpatri matahari. “Aku suka dengan tubuhku. Milik siapa tubuhku ini,” gumamnya. Pertanyaan-pertanyaan itu menindih benaknya. Dan Mellisa mengidamkan seorang pria yang menyintai tubuhnya. Menyayangi tubuh Mellisa yang sintal dan mulus. Saking sintal dan mulusnya, bisa-bisa benda yang tertempel akan tergelincir dan jatuh ke tanah. Lalu tibalah musim panas. Melissa menemukan lelaki yang membimbingnya ke dunia abu-abu. Dunia yang membuat seorang dewasa dipenuhi (m)impi. Dunia penuh tipu muslihat. Melissa bertemu Daniele. Cowok idamannya. Ia mengajak Melissa pada dunia abu-abu. Dunia yang selalu ini diimpikan oleh Melissa. (Bahkan dunia yang diimpikan oleh banyak kalangan saat remaja-dewasa). Daniele pemandu Melissa untuk mengarungi dunia abu-abu itu. Tetapi, setelah Daniele memandunya Melissa baru tahu realitas dunia abu-abu itu. Melissa sadar. Dunia abu-abu itu membingungkan. Sebab abu-abu tercipta dari campuran warna hitam dan putih. Ganjil. Tapi esensial. Semuanya itu bermula dari sikap Daniele. Di sela-sela mereka menjejaki dunianya, Danielle sempat berucap padanya; “kamu idiot dan dungu.” Ia diangggap gadis kecil. Belum cukup umur untuk menjejaki dunia abu-abu. Naif. Ia masih berumur 15 tahun. Ada sesuatu yang menggodam hatinya. Amat sakit. Sesuatu telah menyorek hatinya; sembilu. Bahkan Melissa dibutakan oleh warna abu-abu. Hingga Melissa harus berani dan nekad masuk dunia abu-abu. Bersenggama dengan siapa saja. Terpenting, ia bisa menyabet terminologi ‘dewasa’ dari mulut pria. Malahan Melissa sering menulis dalam diary-nya: ‘mulutku adalah hidupku.’  

Senin, 23 Agustus 2010

Esai


BUTIR-BUTIR PEMIKIRAN TENTANG
KELANGSUNGAN HIDUP BUDAYA PERANCIS DAN BUDAYA MADURA DALAM PERSPEKTIF KOMPARATIF (Perancis-Madura)1

Oleh: Jean Couteau

[Amatlah sulit membandingkan situasi—dan tantangan-tantangan—yang dihadapi masing-masing kebudayaan Perancis dan kebudayaan Madura]
Kebudayaan Perancis telah lama didukung oleh suatu negara yang merupakan salah satu induk dari kebudayaan Eropa, bersusulan atau bersamaan dengan Yunani, Italia, dan kemudian Jerman dan Inggris. Bahkan boleh dikata bahwa dari akhir abad 17 sampai dengan awal abad ke-20 kebudayaan Perancis merupakan kebudayaan dominan di Eropa dan hadir mengemuka di dalam semua bidang kegiatan kultural: sastra, teater, balet, seni rupa dan filsafat. Bahkan hingga kini pemikir-pemikir Perancis menempati posisi yang utama di dalam sirkulasi ide-ide dan fashion-fashion internasional. Posmodernisme misalnya lahir di Perancis; orang-orang seperti Foucault, Baudrillard, Lyotard, Derrida dan Bourdieu adalah orang yang menulis dalam bahasa Perancis.