Berangkat Layu
—Niswah
kelopak mawarku kusut-lusuh terkulai di hamparan bertepi, terhimpit hidup dan mati. putiknya bergelar mulai hengkang tak beraturan hingga kumbang-kumbang jengah datang. seisi ruang pun turut dalam keheningan, terarak kedukaan.
aku dan hatiku mengiba apa yang kau rasa jiwa dan raga tak berasa, karena aku bukanlah kumbang yang suka menjamah bunga sembarangan. mataku mulai sembab terharu akan sebab, pula hati merawankan sebuah akibat.
‘kasih gerangan apa yang kau rasa?’
kutak paham karena engkau membungkam
kutak jelas karena engkau mellas
kutak terpikir karena engkau getir
tapi, mata hati selalu tahu apa yang kau unduh dan sang wisesa sering memberi tahu tentang siratan ruh melalui ayat-ayat syahdu. sedu-sedan telah kusampaikan pada malam temaram, jua ratapan sudah kurebahkan di awan-awan yang sedang berlenggang ‘tuk menunggu suatu keajaiban agar bisa mengembang..
(RS. DKT 09/02/2007)
LEPASKAN
ingin sekali aku melepaskan wajahmu—yang selalu mengikat hati hingga sesak—dari ruang tubuhku. apalagi, ikatanmu amatlah kokoh, seperti lilitan rantai besi yang terikat pada tubuh mesiah di tiang gantung. rasanya, harapan itu sebatas pintu angan.
kasih, mampukah dengar riak darah jantungku supaya kau bisa merasakan apa yang kurasa. tapi mengapa wajahmu selalu menggambarkan warna biru cerah pada layar semesta, serasa kau tuli dengan jerit hati ini! atau mungkin tuhan yang sengaja mengirisku secara perlahan, hingga imanku sebatas air mendidih dalam panci. kalaulah begitu, biarkan aku mati atas rantaimu dan setan menjemputku, menuju dunia pembebasan, dan mengajariku makna hidup; bahwa hidup sebuah perjudian yang berada pada putaran begel, yang sering bergulir dengan liar.
tolong, bukakan rantaimu ini atau kau biarkan aku mati dalam ketir terbalut kafir
EPISODE PADA RANJANG
/1/
pernah sesekali, malaikat malam menghaturkan salam birahi. sepasang pahanya menggambarkan huruf M. rasanya, mataku terjerat, terikat dengan simbolnya. lalu, ular dalam nadiku merayap liar. tak mampu kuhalang. aacchh………….
malaikat-aku beradu dalam gagu sehingga kami pun menyatu dalam kabut tabu. dan kami terbang melewati alam buta, tanah tak bernama dan langit tak bernyawa. “ini baru petualangan,” gumamku.
malaikat hanya bisa tersenyum, mengembangkan pipi serasa mawar merekah, seraya memeluk erat tubuhku dalam kehampaan yang amat bermakna dan menindihkan ruhnya dengan bebas. kutersengal dalam kebebasan. “mari haturkan erang tanpa beban biar tuhan mendengar,” tambahnya.
/2/
gumulan demi gumulan telah kita lalui seksama. tak satupun lakon tersisa di balik bra-celana dalam, semua terhempas pada udara beku. aku-kau bersemayam pada biru surga—rasa, menyiratkan sebuah eksistensialis.
“mas, aku ingin lebih dari malam ini,” pintamu
sungguh tak kunyana, birahi bertabur puing-puing debu jahanam. aku tak kuasa, seperti hasrat mati bisma terhadap srikandi. tapi, hendak apalagi yang harus kulakoni agar kau merasakannya lebih!
“mas, hayo berusahalah.”
urat malangkah ketir
darah mengalir perih
dan jantung dilalap api
“aku tak sanggup.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar