Revelasi Estetik
|
Oleh: Adi Winarto
Mengakrabi kata-kata butuh proses-waktu. Bukan sekedar tahu fungsi-makna; etimologis maupun epistemologis. Bukan sekedar menyomot dari KBBI untuk digunakan, pula tak hanya menilai/mengevalusinya sebagai bentuk interpretasi atau pretensi saja. Tak pelak pembaca, bisa juga penulis sering terperangkap, bahkan terjerembap, dalam penjara makna sehingga makna membias seperti bayang-bayang hitam di permukaan air, yang sering memantul dan pembiasan.
Perihal ini yang menjadi kacamata pembesar bagi Hudan Hidayat (HH) dalam mendeskripsikan karya sastra yang terkumpul dalam buku “Nabi Tanpa Wahyu”, yang merupakan kumpulan esainya, yang ditulis semenjak kurun 2001-2007. Dalam buku tersebut terdapat 26 esai (judul), yang menjadi evaluasi HH dalam mengikuti perjalanan sastra tanah air. Mulai dari antologi cerpen, kliping koran hari minggu dan novel yang menjadi ‘alat-alat operasi’ dalam mendedah karya sastra, bahkan komunitas kesenian dan kebudayaan (TUK) juga ikut terpaut dalam menerangkan hasil karya sastra yang dianggapnya luar biasa (hal. 29). Serunya lagi, esai-esai yang dijuruskan HH membabi buta terhadap orang-orang yang anti(pati) terhadap teori dan karyanya. Semisal menggugat opini Taufik Ismail yang menyorongkan ‘sastra madzab selangkangan (SMS), fiksi alat kelamin (FAK), dsb yang dianggap strategi politik (sastra) dalam menjatuhkan musuh-musuhnya semisal Lekra menyebut musuhnya; Manikebu (hal. 7). Sepertinya HH melayangkan jurus mabuk bagi orang-orang sekelilingnya—antipati, terhadap karya-karya sastra berbau lendir putih dan beraroma gairah/syahwat.