Oleh; Adi Winarto
Sebagian warga sudah melaksanakan ritual menyambut hari kemerdekaan negara yang ke-64. Mulai dari kegiatan menyambut hingga hari H. Serangkaian lomba, pawai, karnaval dsb sudah menjadi tradisi dalam menyambutnya, hingga pengibaran sang saka “Merah Putih” sampai penurunannya. Lantas, apakah peringatan hari kemerdekaan RI hanya sebatas itu saja? Apa tak ada lagi yang (perlu) digali dalam memaknai kemerdekaan yang sudah melampaui setengah abad? Pertanyaan ini bukan lahir dari seorang putra pahlawan besar, tokoh bangsa, ataupun elite bangsa ini. Pertanyaan ini lahir dari anak desa, yang hidupnya di kaki gunung, namun saat remaja (mungkin juga beranjak dewasa) pernah tinggal di beberapa kota besar seperti Surabaya, Malang, Jakarta, Bali, Palembang. Dan kini hidup di Jember sebagai anak jalanan. Pertanyaan di atas mungkin saja dianggap berlebihan (bisa pula sampah), oleh beberapa kalangan (hedonis, kapitalis, neo-marxist). Apalagi bagi mereka mengatasnamakan dirinya “Mahasiswa.” Mungkin sudah banyak lupa/alpa dalam menggali makna nasionalisme. Apalagi para pejabat yang telah memangku kekuasaan diberbagai sektor. Mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan pusat. Buktinya, bangsa ini semakin mengalami masalah yang amat pelik. Masalah bangsa terus bertambah, serasa penyakit akut saja. Bisa pula dengan umur ibu pertiwi yang sudah tua renta (ah, tapi metaforis belaka). Marilah kita tengok sejenak di sekitar kita. Masih banyak adik-adik kita yang mengais rezeki demi sesuap nasi hingga masa kanak mereka digadaikan atas segumpal harapan. Saban pagi yang biasanya digunakan untuk mencari ilmu dan bermain, malah peluh kuning menempeli tubuhnya yang lusuh akibat berjalan kaki, mencari tangan-tangan dermawan. Walaupun—di sisi lain—anak-anak jalanan terlahir dari sebuah serikat/tim, yang sengaja dibentuk oleh perorangan, dengan otoritas bisnis. Apa bisa bangsa ini disebut (dielu-elukan) bangsa/Negara yang merdeka?
Seperti kita tahu, upacara kemerdekaan sengaja diperingati atau dilakasanakan oleh perbagai kalangan tak lebih dari opera sabun mandi belaka. Dalam arti sehabis acara tersebut, usai sudah semua kesan-pesan menyambut dirgahayu Negara RI. Di samping itu, kalangan mahasiswa banyak mengahabiskan waktu libur (17 Agustus) bersama teman-temannya. Ada juga yang merehatkan tubuhnya demi memanjakan tubuhnya. Memang betul pepatah kuno, bangsa ini adalah bangsa kulit kacang. Yang berarti melupakan isinya. Tanpa mengenal ataupun mengenangnya. Naifnya lagi, ada sebagian pemuda(di) bangsa ini mengotori pusaka bangsa kita—sang saka Merah Putih. Yakni, sebuah komunitas yang berbasis Islam yang jengah (emoh) memberi hormat kepada sang saka. Sebab menghormati bendera berarti melakukan syirik (penyekutuan atas Tuhan), pahamnya. Naudzubillahi min Dzalik… Hati saya miris, bahkan tercabik-cabik mengetahuinya. Kok bisa-bisanya memberi hormat kepada Merah Putih dianggapnya syirik. Padahal para leluhur kita—entah pahlawan bangsa ataupun tidak—(yang telah mendahului) bersusah payah merebut tanah ibu pertiwi dengan mati-matian. Tak peduli banjir darah dari tubuhnya. Tak peduli maut taruhannya. Tak peduli hilang semuanya. Terpenting, merdeka. Bebas dari segalanya. Hati beliau hanya terpatri dengan sebuah: kita bebas dari segala bentuk penjajah yang bisa merugikan semua. Supaya kandungan alam ini bisa dicicipi oleh keturunannya. Tapi apa? Bangsa ini menglami mati suri di berbagai faktor. Mulai dari perekonomian bangsa yang amburadul, perpolitikan yang didominasi oleh keturunan Kurawa (tokoh serakah pewayangan dalam Mahabrata). Pula birokrasi hanya pandai beretorika. Terpenting visi-misi kubunya (parpol/segolongan saja) memenuhi hasratnya hingga cita-cita para pahlawan (bahkan leleuhur kita) terlupakan atau sengaja dilupakan. Demi terciptanya sebuah kemapanan diri dan golonan tertentu. Maka dari itu, di bulan yang berkat ini; agustus, memaknai kemerdekaan perlu diraih dengan mental-sikap percaya diri akan kebebasan berpikir positif serta kebebasan kritik, dalam menjunjung tinggi cita-cinta bangsa. Mari, mulai berpikir dengan rekontruksi yang cukup matang, tanpa ada sentimental. eklusif, diskrimantif terhadap golongan tertentu tetapi bagaimana integritas dan loyalitas menjadi ruh dalam setiap warga yang mengatasnamakan persatuan-kesatuan NKRI hingga kesejahteraan dan keadilan bagi seluruhnya terpenuhi dengan seksama. Dan tak ada lagi kata, merdeka hanya sebatas simbolik belaka, melainkan subtansi darinya.
“Ya Tuhan, berkahilah bangsa ini menjadi bangsa yang selalu ingat dan terus berpikir akan perkembangan dan kemajuannya… Tuhan anugerahilah bangsa ini dengan regenerasi yang kuat/kokoh dengan ideologi suci bukan nafsu birahi yang mengendali… Dan limpahkanlah dengan setetes kesadaran tentang makna kemanusiaan yang selalu dijunjung oleh para rabi/nabi-Mu sehingga bangsa ini menjadi Negara yang beradab-bermartabat… Haleloya.., Ohm Shanty.., Amien ya Robbal Alamien…”
Jember, 18-Agustus-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar