KURBAN DAN CINTA
Dongeng
suci Penyembeihan Ismail menjadi muara inspriasi dalam menuaikan ibadah
suci kurban (Id Adha). Hari raya besar kedua bagi muslim setelah Id
Fitri. Kurban merupakan prosesi suci dalam mengimplementasikan
eksistensialisme, baik vertikal maupun horizontal, pula memiliki nilai
simbolik reliji.
Di
samping itu, prosesi kurban bagi muslim memunyai nilai etis dalam
pemotongan hewan kurban. Alhasil hewan kurban yang hendak disembelih
haruslah sehat/tidak sakit, gemuk, dan tentu tak memiliki cacat secara
fisik. Perihal ini berkaitan dengan adab/etika dalam penyembelihan.
Lantas keterkaitan dengan romantisme. Apa perlu pengorbanan atau
sekaligus menyuguhkan ku(o)rban dalam menjalin romantisme! Dari prosesi
Id Adha kini kita bisa memetik pelajaran bagaimana seharusnya kita
berkurban untuk seorang yang kita cintai.
Apalagi
kalau menganalisa hubungan cinta segitiga. Tentu berdampak pada kurban
cinta. Ada yang dikurbankan; secara konotatif. Entah ditinggalkan
sendiri atau harus menemui ajalnya sendiri demi mengukuhkan ideologi
cinta. Tak pelak, berita bunuh diri gara-gara cinta mengebaki berita di
koran.
Lalu
seperti apa sebenarnya kurban cinta? Apakah ia yang mengakhiri hidupnya
demi cinta? Ataukah menapaki hidup dengan selibat/membujang seumur
hidup (maaf bukan mengintimidasi pastor/rahib)? Atau kalau perlu
menunggu kekasih yang dicintainya kembali ke pangkuan?
Rasa Kurban-Cinta
Perasaan
adalah suata indera keniscayaan yang bisa dicecap atau dirasakan. Meski
sulit mengartikannya; secara epistemologis dan aksiologis. Dan kita
sering dibuai oleh perasaan itu sendiri. Apakah kita termasuk keduanya:
kurban rasa atau kurban cinta! Hingga Ibn Arobi tak sadar telah
dijadikan ‘budak’ cintanya (lihat bukunya: Tarjumanul Ashwaq).
Menurut
Michael Jung, perasaan itu lahir karena ketidakberdayaan manusia dalam
menyerap suatu fenomena hingga—kadang-kadang—kita terbuai/terpana
dengannya. Diakui atau tidak, perasaan menjadi kendali (stabilitator)
dalam membangun kerangka sifat/karakter manusia dan seisi alam. Bahkan
al-Ghazalie sempat keteteran saat beliau menganggit masterpiece Ihya Ulumuddin. Kemudian bagaimana dengan perasaan kurban cinta!
Sebelumnya,
kita harus mengetahui dengan detail perasaan apa yag terpendam dalam
sanubari. Hingga kita mampu mendedahnya. Apakah Cuma perasaan
suka-cinta-sayang? Sebab ketiga unsur itu memiliki simetris. Mirip.
Meski berbeda sedikit. Di sinilah al-Jauziyah sangat lihai (baca:
cerdas) dalam mendefinisikan makna cinta dan perasaan (lihat
bukunya: Taman-taman Orang Jatuh Cinta dan Pemendam Rindu/Durratul
Muhibbin wa Nuzha Musytaqiin, Air Mata Cinta dan Pembersih Dosa/Bahr
al-Dumu’). Yang mana perasaan itu hadir dengan bias pemikiran
seseorang. Selama orang itu berpikir secara sistemik-logis (optimis)
maka perasaan itu akan menghantarkannya/mewujudkannya apa yang
diimpikan. Pun sebaliknya jika perasaan itu berpikir pesimis maka
perasaan itu akan menghantarkannya pada gulita.
Persis
dengan pengalaman Ibrahim (sekitar 4000 SM) saat ia bermimpi untuk
dimintai pertanggung-jawaban atas nadarnya. Ia bimbang sekaligus ragu.
Antara percaya dan tidak percaya. Antara muslihat setan dan oase Ilahi.
Ia pun berkontemplasi selama 3 hari 3 malam. Hingga ia menemukan jawaban
itu semua. Yang ternyata, Tuhan menagih janji Ibrahim.
Di
sini, kita bisa mengambil hikmah sikap kontemplasi. Adalah percikan
suara Tuhan yang mampu membuat kita lebih sadar dengan perasaan yang
dialami. Meskipun manusia memunyai karakteristik ragu-khawatir (min al-waswas al-khannas).
Tapi secuil persepsi itu bisa membangkitkan cipta-rasa-karsa dalam
memanifestasikan rasa kasih-sayang; yang telah disematkan Tuhan dalam
tiap diri, bagi semua. Tak luput perihal ini merupakan kunci jiwa dalam
selubung kompleks kehidupan sampai pengorbanan menjelma cahaya cerlang.
Semisal hewan kurban yang diberikan Tuhan kepada Ibrahim, sebagai
pengganti Ismail. Yakni domba.
Maka
kurban (rasa-cinta) adalah hal dedikasi. Bukan intimidasi. Jangan salah
berasumsi tentang cinta butuh pengorbanan; seberapa dalam kita
menyintai; dan seberapa besar menyintai. Semua itu klise kehidupan yang
berujung niscaya. Kapan dan bagaimana kita harus menyintainya? Atau kita
yang salah menyintainya! Dan seyogianya kita berusaha meraih cinta
dengan optimis, tanpa menafikkan nilai humanisme universal yang
merupakan wujud ilahiyah. Tentu dengan kesederhanaan pula hari kurban
kini menjadi mobilitas bagi
umat muslim untuk saling menyintai semua, tanpa terkecuali. Lalu, hemat
kata, cintailah seorang dengan kesederhanaan sebagaimana puisi yang
diungkapkan Begawan Sastra Indonesia, Sapardi Djoko Darmono; Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu // Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar