Anak, Muara Bahagia
Gambar ini diunduh dari http://www.family.ghiboo.com |
Cukup menarik membaca warta; “Belanda Juara Dunia Mendidik
Anak” di Radio Nederland Wereldomroep (21/03/2012). Yang mana peran orangtua
telah memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan anak dalam menyalurkan
cipta-rasa-karsanya. Seperti laporan utamanya, peran orangtua bukan lagi
sebagai hakim di mata anak. Ia tak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Justru
ia lebih arif-bijaksana dalam berkomunikasi. Sengaja menyejajarkan statusnya. Anak
diajak berkomunikasi dalam memecahkan segala problema yang dialaminya. Dalam menanamkan
nilai kesadaran dalam tiap perilakunya. Menumbuhkan refleksi dan kontemplasi
atas perilakunya. Bahkan dalam warta itu, Ido Weijers, Pedagog dan Guru Besar
Perlindungan Anak, melihat perubahan besar dalam mendidik anak. Tak ada lagi
otoriter maupun radikal bahkan menjustifikasi.
Dunia anak adalah dunia eksplorasi. Alias suka mencoba-coba dalam
segala hal. Mencoba mengenali sesuatu yang tak diketahuinya. Dalam falsafah
jawa ‘anak’ dikenal dengan istilah “bocah:” batokne
pecah (pikirannya masih pecah/semrawut). Pantas saja fase ini lebih
mendorong anak pada perilaku agresif sebab ia tak tahu akibat atau resiko
perilakunya. Semisal berbohong atas perilaku negatif yang dilakukannya, suka
berkelahi dengan temannya, bahkan mencuri dsb. Dan tak bisa dipungkiri, anak
berhak dihukum dengan sewajarnya, tanpa berlebihan. Semisal tak mendapatkan
hadiah di ulang tahunnya dsb, sebagai ganjaran atas perilakunya yang negatif.
Di sini peran orangtua sangat vital dalam mencermati perilaku
anak hingga ia dewasa kelak. Selama ini kebanyakan orangtua—dengan mudah—menghukum
anak-anaknya atas perilakunya tanpa memberitahu alasan lebih dahulu hingga
mereka paranoia. Pula bisa mengerdilkan dirinya lalu berujung tak percaya diri
atas eksistensi dirinya. Sebab bagaimanapun konsep diri sangatlah penting dalam
mendidik anak. Perihal inilah yang harus dijadikan patokan bagi para ibu maupun
pengasuh anak (baby sitter) dalam mendidik.
Sebab fase men-didik pada anak merupakan faktor utama dalam membangun
eksistensinya. Yang mana semua itu hanya bisa diraih dengan kemampuan
kreatifitasnya. Menurut Maslow (Schultz, 1991) bahwa kreativitas disamakan
dengan daya cipta-daya khayal naif yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang
tidak berprasangka, dan langsung melihat kepada hal-hal atau bersikap asertif.
Kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seorang anak dari
pengaktualisasian dirinya.
Perihal ini yang harus menjadi pemantik orangtua, khususunya
para ibu, dalam mengembangkan aktualisasi anak-anaknya. Tak penting ia wanita
karir maupun ibu rumah tangga. Terbukti ibu-ibu di Belanda yang rata-rata
perempuan karir (lihat Dutch Daily News,
11/01/2012), bisa mendukung anak-anaknya dalam berprestasi. Dan menurut Ido
Weijers dalam penelitiannya; waktu yang diluangkan orangtua untuk perawatan dan
pendidikan anak, berlipat ganda. Pun Weijers menegaskan, skor Belanda
bahkan yang terbaik berdasarkan penelitian serupa yang dilakukan organisasi
anak Unicef di antara 22 negara makmur. Terbukti Belanda mendapatkan posisi
ke-4 negara terbahagia dengan individu yang percaya diri (optimis), kesehatan
mental-fisik, keamanan (kenyamanan) bekerja
dan keluarga yang stabil. Maka dari itu, di sini pentingnya
mengenali konsep diri yang optimis dalam mengahadapi kompleksitas hidup.
Lebih-lebih bisa menjadi dirinya sendiri. Tanpa harus mengalami represif (tak
bahagia) dengan kondisi sosial-ekonomi di modernisme. Akhir kata, seperti ungkapan
filsuf Desiderius Erasmus hal yang lebih baik dari kebahagiaan
adalah keinginan menjadi diri sendiri. Dengan menjadi diri sendiri berarti kita
telah menjadi orang bahagia dan secara otomatis keluarga (baca: anak), lingkungan
eksternal kita turut bahagia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar