Jumat, 28 November 2008

Pornografi dan Demokrasi


Pengesahan UU Pornografi pada bulan kemarin (30/10/2008) menyisakan berbagai persoalan, internis dan eksternis, sosial. Terkait dengan seni-budaya di setiap daerah dan bentuk arbitrasif. Padahal kalau ditinjau lebih jauh, sebuah penciptaan hukum (rechtscheppend)—rule of law—harus berdasarkan dua faktor: filsafati dan sosiologi.
Syahdan, UU Pornografi—secara kronologis, terbentuk dari sebuah konflik kontroversi yang terjadi di tahun 2003, yang mana goyang ngebor si Inul Daratista menjadi pergunjingan (polemik) pelik. Ihwal tersebut bermula dari ‘Raja Dangdut’ yang menolak keras tentangnya: bahwa seni (dibaca: dangdut) merupakan budaya Indonesia—yang menitik-beratkan terhadap nilai-nilai luhur moral-etika bangsa. Dalam arti, goyang (ngebor) si Inul sudah meloncat lebih jauh dari moral-etika bangsa ini, pula dapat memicu seksualita—demoralisasi, dan menyangkut porno-aksi. Sampai-sampai MUI turut serta mengeluarkan maklumat larangan keras bagi Inul dalam beraksi; goyang ngebornya. Pun menyusul sederet Budayawan (diperbagai wilayah Indonesia); melarang aksi panggungnya, bahkan mengecamnya, serta orang-orang yang kontra dengannya—entah lantaran politis subjektif ataupun kecemburan sosial belaka (jelaousy of mere social) yang menitik pada materiil, lantaran popularitasnya melejit, melangkahi seniman sejawatnya bahkan seniornya atau (jangan-jangan) Inul-fobi.

Berhubungan dengan itu, di beberapa daerah terjadi demoralisatif; sikap-aksi. Misal di Pasuruan terjadi pemerkosaan (fidopelia), sehabis menonton goyangan ngebor Inul. Tambahnya lagi para gadis di kota kembang (julukan Bandung) banyak yang tidak perawan serta kejadian-kejadian immoral—koherensif seksual—lainnya.
Barulah di penghujung tahun 2006, ’Raja Dangdut’ mulai mengutarakan pendapatnya lagi di depan parlemen sehingga RUU Pornografi lahir, sebagai draf hukum (RUU). Dan barulah di tahun 2008 UU Pornografi mulai ”unjuk gigi,” sampai-sampai parlemen mengesahkan UU tersebut. Sekarang, tinggal menunggu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani UU Pornografi yang disahkan DPR (30/10) untuk mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Lebih dari itu, sejatinya, Presiden SBY patut mengambil kebijakan yang positif-afirmasi, dengan berdasar ideologi NKRI; Pancasila dan UUD ’45, yang berefleksi terhadap tuntutan sektor riil yakni demografis sosial, dalam merepresentasikan UU pornografi terhadap semua warga. Sehingga tidak dikhawatirkan terjadinya konflik horisontal yang rawan akan disintegritas internal. Analoginya, hukum dan masyarakat ibarat jiwa dan raga, masyarakat adalah raga sedangkan ruh adalah jiwanya (volkgeeist), seperti penyataan Karl Von Savigny Dan Puchta.
Hakikinya, sebuah perundangan (hukum) dibuat berasaskan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab atau lebih tepatnya meminjam pernyataan Protagoras (wakil kaum Sofis 500-an SM) hukum dibuat sebagai buah logos (bukan produk nafsu). Entah secara politis atau popularis. Akan tetapi, terkait dengan pengesahan UU Pornografi yang terkesan grasa-grusu dalam penciptaan hukum secara rule, kronologis UU Pornografi di atas, namun tak membias pada ’keadilan sosial’ sebagai konsepsi hukum yang patut diagungkan.
Justru dalam pengesahan RUU Pornografi nampak abstrak (kabur) yang berdampak konflik horizontal yang rawan disintegrasi berbangsa-bernegara. Dengan faktor tersebut, seyogianya UU Pornografi (wajib) dipertimbangkan kembali—khususnya bagi Presiden dan MK—sehingga tidak berdampak pada pola kesenjangan sosial melainkan penetrasi sosial, persatuan-kesatuan, di bawah naungan NKRI dan mampu mengakselerasikan tujuan (hukum) perundang-undangan yakni kemanfaatan halayak.
Seperti yang tersebar di media massa (cetak-elektronik), Provinsi Bali seratus-persen menolak RUU Pornografi, juga Sulawesi Utara dan Papua. Tentunya devidensi (pro-kontra) ini—jangan dianggap—semisal angin yang ngampung lewat melainkan angin shinkansen yang mampu merubuhkan segalanya. Keretakan bangsa (nation train) dalam kehidupan bernegara, disintegrasisme. Dan RUU tersebut sudah menyulut sebagian warga negara yang saling kontradiksi dan (siapa tahu) akan berujung kepada otoritas personal, berimplikasi sebagai otoritas sosial—dissolusif—.
Tak pelak RUU Pornografi mengalami absurditas apabila dibenturkan dengan seni, budaya, bahkan jurnalisme. Lantas ada apa dengan sikap parlemen yang dengan mudah mengesahkannya?
Yang ada hanya “pendeskritkan nilai-nilai NKRI” apabila dibenturkan dengan seni, budaya dan jurnalisme—. Bisa pula, sebagai tindakan manuver politik buta (blindness will) parlemen yang mampu membuyarkan semangat ideologi bangsa Indonesia yang tercantum dalam batang tubuh UUD’45. Contoh kecilnya, Pasal 4 ayat 1, berbunyi: setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjual-belikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang kekerasan seksual, masturbasi dan onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak. Namun pada penjelasan frase “membuat” mengecualikan larangan jika digunakan untuk kepentingan sendiri. Berarti semua ini bisa memiliki materi pornografi anak jika untuk kepentingan sendiri. Apalagi pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 48 yang memerintahkan semua pemilik materi pornografi mengembalikannya kepada Negara.
Ironisnya lagi, dalam pasal 1 ayat 1 UU Pornografi, jelas tertulis; pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Dan hal ini yang mampu mendifraksi makna sehingga menimbulkan masalah, khususnya orang yang berkecimpung pada seni, budaya, jurnalis. Serta masih banyak pasal-pasal yang saling kontradiktif satu sama lain dan pengakaburan makna (dimness meaning). Kemudian coba bayangkan, apa jadinya apabila UU Pornografi menjadi hukum legal? Jawabnya hanya dua pilihan: konflik yang tak kunjung selesai sebab menghadirkan multitafsir atau hukum menjamin penguasa yang berkepentingan, injustice sense.
Hemat kata, apapun hasil, kemudian, dari pengesahan UU Pornografi yang akan Presiden-MK putuskan bagi seluruh warga haruslah disikapi dengan kedewasaan intelektual oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan pihak yang bertanggung jawab atas pengesahan RUU Pornografi—Presiden-MK—haruslah lebih mengutamakan terbentuknya aturan responsif hukum (responsive law) sehingga halayak bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis hingga terciptanya negara democracy bukan democrazy: demokrasi atau dominasi (para penguasa). Terakhir, Presiden dan MK—saya kira—lebih mengetahui; bijak dan tepatnya dalam mengesahkan RUU Pornografi, sebagai legitimasi hukum. Demi terciptanya aspirasi sosialisme mapan, perluasan peran dan fungsi kewarganegaraan, pendalaman demokrasi, pula penegakan daulat kebangsaan ataupun solidaritas regional yang mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar