Rabu, 31 Desember 2008

Esai


Koherensi Teologis: Idul Adha dan Natal Yang Berdekatan

Dilihat dari hitungan hari, Idul Adha dan Natal jatuh pada waktu yang relatif berdekatan: kurang lebih enam belas hari. Sebagai tradisi ritual suci, kedekatan Idul Adha dan Natal, seyogianya patut untuk kita renungkan. Dalam pada itu, kedekatan hari besar keduanya syarat memiliki misi yang mirip, antara tradisi Muslim dan Kristiani, yakni penyemaian kasih-sayang (Illah) tak terbatas yang terkandung pada kedua agama. Lebihnya, ritual tersebut merupakan momen penting bagi Muslim dan Kristiani dalam merefleksikannya, pula manifestasi entitas spiritual di dalam ritual tersebut.
Idul Adha, bagi Muslim, bukan hanya sebatas ritual penyembelihan hewan kurban saja, melainkan sebuah kaca atau representasi (falsafati) bagi umat muslim dalam mengurbankan rasa hewaniahnya yang liar/buas (baca: tamak) seperti pendapat Ibn Qayyimal al-Jauziah bahwa manusia terdiri dari jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah). Dan momen Idul Adha kali ini (1429 H/2008 M) patut dijadikan refleksi.
Terkait dengan itu, peristiwa Ibrahim yang diperintahkan Ilahi untuk melakukan ritual penyembelihan Ismail, putranya. Dan ihwal demikian menjadi syariat amaliyah dalam perayaan kurban (Idul Adha), yang dilakukan di bulan Dzulhijjah (Lihat QS. as-Shaffat: 107). Peristiwa tersebut meninggalkan pesan tentang kepatuhan, ketulusan, keikhlasan dan spirit untuk berkurban yang berefleksi terhadap sesosok Ibrahim as.
Disamping itu, Natal bagi Kristiani bukan sekedar memperingati kelahiran Yesus Kristus, melainkan sebuah panggilan suci (rohani) terhadapnya supaya mereka membalik arah di dalam hidupnya, dalam menempuh kebajikan. Inilah pengharapan yang sesungguhnya dalam memaknai Natal tahun ini, bukannya sekadar sibuk memasang pohon cemara, bukan sekedar liburan wisata, bukan pula sekadar membeli atau memberi hadiah. Namun lebih dari itu, ada esensi “Terang” yang bersinar—yang tersirat. Yakni sebuah panggilan dari-Nya. Yesus lahir memberi sinar “Terang” bagi semesta dan umat manusia (Kristiani), yang mengarahkan kehidupannya, kembali di jalan-Nya. Pula sebagai “Juru Penyelamat atau Almasih” bagi Kristiani.
Dari kedua hal di atas kita bisa menarik benang merah bahwa ritual keagamaan Idul Adha dan Natal masing-masing memunyai kemiripan “misi agung,” yang mampu mengarahkan atau memandu manusia mencapai kebahagian dan kesehjateraan umat manusia dan semesta, baik secara vertikal maupun horisontal. Tanpa harus ada lagi ketidakadilan, kekerasan dan pembunuhan atas nama agama; yang memunyai sifat isolasionis, konfrontasionis, dan kebencian. (David Lochead: 1988)

Ritual Bermisi Agung
Kita sering melihat atau menonton ketidakadilan, kekerasan, peperangan yang mengatasnamakan agama, entah itu melalui media cetak ataupun elektronik, seperti yang terjadi dua pekan lalu di Mumbai India (27-11-2008). Penyerangan dan pemboman yang dilancarkan oleh Deccan Mujahid terhadap warga sipil di beberapa daerah India, dianggapnya sebuah jihad (ritual suci). Juga para lakon “Trio Bom Bali” yang bulan kemarin baru saja dieksekusi mati dielu-elukan sebagai mujahidin—yang dianggap mati syahid atau (mungkin saja) martir—. Padahal aksi itu meninggalkan ratapan (nestapa) bagi orang-orang yang memiliki tali persaudaraan, pertemanan, dan perasaan (ke)manusia(an)? Astaghfirullah.
Lantas pertanyaanya, kenapa umat beragama (theis) sering bertindak buas/liar seperti sifat naturalis hewani hingga sebuah ajaran dalam agama menyisakan duka, lara, nestapa bagi masyarakat—pemeluk agama lain? Apa mungkin (kebanyakan) umat beragama sebatas berpedoman (berpaham) dengan taklid buta, yang percaya begitu saja terhadap sebuah ajaran agama atau sebatas menghafal ajaran-ajarannya, tanpa harus mengerti hakikatnya? Untuk menjawab itu semua di saat inilah, tepatnya, ritual keagamaan (Idul Adha dan Natal) patut dijadikan sebuah pelita yang terang-benderang bagi para pemeluknya sehingga mampu menerangi setiap individual maupun sosial, khususnya. Dan membuat semesta raya menjadi cerah dengan kedamaian dan kesejahteraan. Pula, sebagai khasanah pluralitas agama di nusantara dan seluruh dunia demi memupuk rasa integritas dan solidaritas antar suku, ras dan bangsa, serta menjunjung tinggi nilai toleran dalam perbedaan keyakinan dan kepercayaan.
Hakikatnya, tradisi Idul Adha dan Natal memiliki pesan moral utilitarisme secara koherensi teologis. Yakni dual-dogmatis: panggilan suci dan (ke)sukacita(an). Pertama, panggilan suci: yang bersifat ruhiyah (spiritualis), yang berarti, merupakan asas pokok dalam pencitraan manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini. Diakui ataupun tidak yang namanya sesosok pemimpin harus mampu mencitrakan kepemimpinannya dalam melakukan berbagai hal.
Terkait dengan itu, Ibrahim yang saat itu menjadi publik figur pada masanya dengan rela dan ikhlas harus memenuhi panggilan Tuhan-Nya untuk membunuh (baca: mengurbankan) Ismail, walaupun ini sangat memberatkan baginya. Namun dibalik kepatuhan (dibaca: ketaqwaan) beliau, Tuhan berkehendak lain dan menguji keimanan utusan-Nya (Ibrahim) di luar logikanya, dengan menggantikan Ismail (sebagai kurban) dengan seekor kambing. Dia adalah cahaya, petunjuk (penuntun) dan selalu memberikan (jalan) yang terbaik pada umat-Nya. Apa yang dikandungnya adalah benar.
Sedangkan Natal, perspektif umat Kristiani, dihormati sebagai “Sang Penebus Dosa.” Umat Kristiani juga melihat pentingnya momen kelahiran Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus lahir di sebuah kandang. Orang tuanya, Maria dan Yusuf, termasuk kalangan rakyat jelata dan hidup sederhana (Injil Lukas, 2: 4-7). Di sini, makna Natal tersirat sebagai suatu ajakan untuk hidup bersahaja dan rasa solidaritas tinggi terhadap kaum miskin dan lemah; terutama dalam rangka berbuat-baik, tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil, serta tidak memberi ruang pada kebencian dan berani berkurban demi nilai humanisme. Yesus pun menyerukan kepada Kristiani; “Di dalam kemah-Nya, aku akan mempersembahkan kurban dengan sukaria.” (Mazmur 27: 6)
Mengingat semua dari itu, panggilan suci tersebut menyiratkan ‘muatan mulia’ bagi Muslim dan Kristiani juga untuk menaggalkan (baca: melenyapkan) sifat hewani—segera—yang bersemayam dalam tubuh manusia dengan merealisasikan makna ritual (Idul Adha dan Natal) dengan merekontruks sikap-perilaku dalam tataran kehidupan pluralis, secara horizontal dan indikatif vertikal, yang beradab dan beretika sehingga mampu menihilkan ketamakan (individualistis), materialis (kapitalis), dan anarkis.
Kedua, (ke)sukacita(an), seyogianya termanifestasikan, ditumbuhkan dan disemaikan dalam tingkah laku setiap hari, tanpa harus mengenal (waktu-ruang) dimana, kapan, dan untuk apa dan siapa. Terpenting, suka-cita terdorong oleh rasa kesadaran yang bersemayam dalam tubuh manusia. Sebab kesadaran merupakan sense yang dimiliki manusia dalam mengaplikasikan sukacita, bahkan memunculkan ke permukaan, bukan milik ciptaan-Nya yang lain. Hingga sebuah (peng)harapan kasih-sayang merupakan buahnya dan terwujud tanpa memandang ras, suku, bangsa dan—wa bilkhusus—pemeluk agama-kepercayaan lain. Dengan kesadaran, sebagai kunci integritas, maka peran eksistensi manusia dalam memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi terhadap realitas, dalam mewujudkan sukacita dengan refleksi Ibrahim dan Yesus. Supaya ritual Idul Adha-Natal memberikan epistemologi bagi yang melaksanakan dan mengejawentahkan. Sebagaimana Ibrahim sadar dengan kwalitas-kwantitas (eksisntensial) yang terbatas, sebagai makhluk-Nya, pula Yesus. Mereka rela (ikhlas) dalam menjalankan amanat (baca: firman) dari-Nya.
Jadi sukacita tidak akan (hanya) tampak ketika kita, sebagai manusia, mendapat kebahagian, pada momen tertentu saja. Misalnya, kita lulus ujian CPNS, menikah, melahirkan seorang anak, ulang tahun dan—sayangnya—merayakan tradisi ritual keagamaan di momen tertentu saja. Tapi bagaimana (ke)sukacita(an) dijadikan élan vital, seperti tarikh Ibrahim dengan putranya juga kelahiran Yesus di sebuah kandang hewan, demi terwujudnya transformasi sebuah peradaban manusia progresif dan dengan “Cinta(lah)” sebagai ajaran primer dalam agama-keyakinan, menuju dan menjunjung kemaslahatan umat, dimana humanistik menjadi prioritas utama. Inilah ajaran sejati dari keduanya—Ibrahim sebagai pencetus ritual “Hari Raya Kurban” dan Yesus asal-muasal ritual “Hari Natal”—.
Lain daripada itu, dalam pandangan Islam sesosok Yesus adalah Nabi Isa as, yang merupakan nabi ke-24, hidup sebelum Nabi Muhammad saw lahir. Dan apabila umat Muslim tidak meyakininya maka tak sepantasnya ia disebut “Muslim Sejati.” Karena mengimani Yesus merupakan salah satu pilar iman fundamentalis. Dan di sinilah peran koherensi teologis yang semuanya berasal dari Ibrahim—buyutnya para nabi—sebagai pioner agama samawi: Yahudi, Kristen dan Islam, sehingga ajarannya tersebar ke seluruh penjuru dunia dan ajaran utamanya adalah cinta, kasih, sayang bagi semuanya. Mengutip sedikit syair Abul Ala dalam A Sufi Message of Spritual Liberty (1914): Ka’bah, gereja, ataupun candi // Qur’an, injil bahkan serat kitab kuno sekalipun // Semua ini, kumaklumi sepenuh hati // Karena agamaku, sekarang, adalah (agama) cinta.
Jadi apapun wujud (form) dari sebuah keyakinan (iman) terhadap sesuatu agama takkan menghalangi kita untuk menebarkan rasa cinta sesama. Tentunya penulis—sebagai Muslim—tidak akan segan-segan untuk mengucap “Selamat Hari Raya Natal” bagi umat Kristiani. Sebab cinta puncak segala rahmat yang bermuasal dari Tuhan agama samawi, Illah. Apalagi al-Qur’an telah memberi selamat pada tiga momen: saat kelahiran, wafat dan kebangkitan kembali. “Dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku (Isa: Yesus Kristus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku akan meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (QS Maryam:33). Maka dari itu, bagi umat Muslim yang telah melaksanakan ritual Idul Adha harus berkesadaran sebagai ciptaan-Nya dan mampu membunuh rasa hewaniyahnya, dan—pastinya—takkan segan-segan mengucap “Selamat Hari Raya Natal” bagi saudara kita, tetangga kita, dan masyarakat yang beragama Kristen/Nasrani supaya esensi Idul Adha (hari Raya Kurban) tidaklah sia-sia di ma’rifat-Nya. Yang berorientasi toleransif aktif. Hematnya, membangun bumi Tuhan yang indah nan elok haruslah dengan “Cinta” serta tak harus ada penghujatan atas nama agama-keyakinan, tak harus ada lagi darah yang menghiasi kulit bumi dan tulang-belulang atau mayat-mayat berserakan yang tak dikenal identitasnya. Amin. Allahu a’lam.***

Sajak


DuaPuluhDua Tahun
—Niswha
kau telah menjejak tanpa sadar seperti roda menjejal di pasir, menceruk, di mana langkah bertingkah pada angin, hasrat memeluk kabut dan cinta bersenggama dengan awan. adik, pernahkah terbayang dalam benakmu; angin-kabut-awan, untuk dijepit pada batangmu? supaya kau sadar dengan jejakmu yang sudah melampaui batas, melintasi kota tak bertuan, kian lama. pula batangmu rapuh dimakan waktu hingga daun-daunnya meluruh… ataukah langkahmu sebatas pelangi yang melintas sejingkat kepada kelopak.
hayo, adikku—tersayang—lihatlah kegelapan!
inilah saat melihat batu cerlang
hayo, bersamaku…!
di dunia tanpa koma—titik, dan tanggalkan semua…
Kisah Belaka
pada malam, elang datang
membawa sebuah pesan
—bungkusan hitam—
isinya kosong
kecuali aroma patma
menyengat, menusuk,
lubang tulang
huuuzzz…
ia hilang dengan cepat
tanpa pesan
tanpa salam
hilangngng…

Pesan Belum Selesai
sebelum matahari menyepuh dengan keji
pada kedua matamu
izinkan ia mengumbar umpatan suci
biar perih-pedih tak kembali

ô manusia berbaju tahta
tundukkan kepalamu dengan paksa
lihat bumi sudah memerah—berdarah—amarah
tak ada lagi cinta yang patut dipuja
tak ada lagi kasih yang diberi
tak ada lagi sayang yang patut diperjuangkan
dan tak ada…

ō manusia berhati serigala
pendamkan emas pada dada lapang
simpanlah amanat di raga sekarat
camkan…

Perbedaan Bulan
dahulu bulan sering digambarkan
dengan sesosok idaman
yang bergangsing di hati
dan takkan pernah berhenti
bagai kincir tertiup angin

sekarang bulan selalu menjadi kata magis
yang mampu melucuti jiwa manusia
dengan impian meruah
melekat dalam dada, bertabur bangga
hingga akhirnya lupa…

Cicak Dalam Sajak
dalam sajak selalu ada cicak
merayap tanpa jejak
berkeliaran tanpa sekat

cicak-cicak di dinding
diam-diam bergunjing:
nyamuk-nyamuk nakal
tinggalnya di gedung-gedung
saling menggonggong
dan mendengung…

Do’a
siluet cahaya melintas amat cepat
jiwa pun terasa sekarat
bagai izrael siap menjemput

cahaya, benarkah engkau cahaya
biar mataku tertutup
sinarmu menyilaukan jiwaku
cahaya, aku ingin cahaya
sinarilah tanpa jedah
jangan sisakan petang duka

mata, mulut sudah tak ada dalam raga
kecuali secercah cerlang
—yang tak tahu harus kesebut apa—

Memori Sebuah Epitaph
namamu sebatas cakrawala yang menghias pada senja
bila malam pun tiba maka hilang jalan satu-satunya
ingin rasanya aku ingat engkau di setiap waktu
selama aku belum menyusul engkau

kata-katamu hanya menjadi hiasan pikiranku belaka
sulit dilamat namun masih melekat, itu pun hanya sekejap
mungkin benar apa kata orang:
sebuah nama hanyalah identitas personal
tapi sebuah jasa merupakan manusia—hakikatnya—
walaupun (harus) bersisa cela…

izinkanlah daku memelukmu…
jikalau tanah harus berbalur tubuh
bagai cacing yang setia,
tak perlu air mata menyumbat duka
yang terpenting menyusul, biar kau dan aku bersatu…

Sang Misteri…
kubuka kitab-kitab daun, sehelai demi sehelai
berharap (rangkaian) mahda menjelma mantera
yang mampu membungbungkan jiwa ini mencapai
puncak bahagia

bilamana gundah terusir, lalu tenang tiba
wahai pujaanku, izinkan aku bersanding denganmu
biar-pun sejingakat waktu…
aku sangat membutuhkanmu, agar kokoh tonggakku
dalam kalbu, memasak relung amat dalam
pula rumahmu di dalamnya menjadi istana
yang takkan pernah runtuh menjadi puing-puing abu

oi…cintaku…
malam-datang, malam-tenang, malam-gelap
siang-pulang, siang beramai, siang-terang
sayang…

Sepenggal Cerita dari Jembatan

/1/
di bawah jembatan ini
kau tuang anggur suci
kepada cawan putih-bening
sebagai hadiah dari peri
di malam suci

dimana daun memerah
darah menderas
jantung bergetar
dan akal terbang

aku dan kau mulai mengawang
meniti tangga langit yang amat panjang
dibalik tirai angan dan bayang

/2/
kasih
jembatan itu tak ada lagi
semenjak kau pergi bersama peri

aku sedih
kenapa para punggawa di negeri ini lupa diri
yang dipikirkan hanya upeti
sampai jembatan itu menjelma istana putih

Niwata

Ô niwata…
kenapa kau tampak segar
ketika pria menatap
seperti mawar yang riang atas kehadiran kumbang

Ô niwata…
kenapa ronamu menyiratkan perahu
di tengah samudera, yang menampung pria sejagad
lalu mengolengkannya
tak cukupkah kau berseteru dengan deru ombak
yang bias mengkaramkan kita
mungkin kau senang melihatnya
tidur di dasar laut dan terjaga dengan pucat-pasi
seperti ikan terbius karena racun

Ô niwata…
aku-kau adalah sebatang pohon
yang sengaja dicipta olehNya
untuk mengebaki dunia agar bahagia
bukannya seperti minyak dan air
yang telah menyatu namun tak bisa bersetubuh

Ô niii…waaa…taa…
kau masih manusia

Celoteh

sore ini, apa yang bisa aku tulis?

menulis surat cinta lagi untukmu
sudah tak berguna, karena kata-kata
telah kau musnahkan bersama
pepohonan terbakar

pula puisi rindu telah kau bunuh
dengan rentetan nafsu liarmu…
seperti pemburu membunuh
hewan-hewan lugu di dalam rimba

mungkin saja aku harus membunuhmu
tapi aku tak…
biarlah kenangan kita yang mengebaki
buku-buku tak berhalaman
dan biarkan rasa kita menjelma
kunang-kunang liar di malam kelam
supaya kelak aku bisa mati tenang…

CerPen


Apa Mungkin, Ibu Tikus?

Kutenggelamkan tubuhmu di tanah yang berlumpur, becek, karena hujan. Apa mungkin hujan ini sebuah isyarat, sebagai episode tangis. Entahlah. Pula air yang tersirat di dalam tanah ini—siapa tahu—iba atas kepergianmu jadi bukan cuma langit yang menangis duka, untuk selamanya. Lalu aku baringkan kau dalam perut bumi ini laiknya manusia di mana kafan menjadi gaun megahmu menghadap Sang Tuhan sebab kau akan tinggal bersama di negeri-Nya, kemaharajaan1).
Mungkin hal yang kulakukan ini tidaklah wajar, aneh, persepsi orang lain. Karena kau makhluk yang menjijikkan. Kau hanyalah seekor tikus betina yang secara kodrati hanya mengemban tugas melahirkan dan merawat anak, sebaik-baiknya. Tapi bagiku ‘tidak’. Di mataku kau adalah makhluk yang amat mulia daripada orang-orang desa itu, yang tahunya menjilat terhadap atasan karena takut melarat dan mengerat sesama asalkan hidup dengan kejayaan.
Pun, kutahu warna bulumu, abu-abu kehitam-hitaman, yang amat menggelikan mata-mata orang, bahkan aroma tubuhmu mampu menusuk hidung mereka sehingga yang menangkapmu menyumbat hidungnya, serasa aroma yang keluar dari tubuhmu adalah bau busuk mayat. Padahal kita, sebagai manusia, makhluk yang memiliki ‘cinta tak terbatas’ dan hal tersebut sangatlah kontraditif.
@@@
Adalah sebuah desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa (KaDes), bernsma Juki. Dia orang terkaya di desa kami. Terpandang. Pula sebagai anjungan. Seakan-akan dia dewa. Tak satu pun di antara masyarakat yang berani membantah titahnya. Membantahnya berarati pintu kehancuran terbuka. Titah-titah itu (sangatlah) salah dan merugikan bagi masyarakat di mana demokrasi telah basi, adil menjadi kendil2), bijaksana menjadi terumpah3).
Wajahnya seperti Dewa Kali. Hitam pekat. Kumisnya semisal lekukan pegunungan terjal yang menyiratkan kesuraman. Matanya tajam apabila memandang bagai macan yang mengintai buruannya dari balik semak. Diamnya seperti telaga tak beriak namun bisa menghanyutkan siapa saja yang berada di dalamnya. Lagi pula, kekayaan yang dimilikinya melimpah ruah dan mampu merubah segalanya menjadi apa yang dikehendakinya.
Pernah sesekali, yang kutahu, dia memimpin beberapa orang untuk melakukan pengrusakan terhadap rumah Pak Sodiq, yang menurutnya adalah orang yang yang memiliki ilmu santet, bisa membunuh orang amat kejam. Genting-genting rumahnya banyak dihiasi dengan bebolongan karena batu yang menghantam. Kaca-kaca yang bertengger pada bingkai jendela, kusen, pintu, semuanya hancur, berserakan. Tinggallah sangau mungil yang menjadi tempat mengaji itu tidak di amuk oleh massa. Tetap utuh.
Saat itu, memang, salah seorang tetanggaku mati sangat mengenaskan. Matanya terbelalak, melotot, dengan bulu matanya enggan beradu serasa mayyit tengah melihat pesan dari langit. Tubuhnya hangus hitam bak terbakar si jago merah. Bibirnya banyak mengeluarkan busa seperti over-dosis, sebab narkoba. Entahlah. Kenapa dia mati amat mengenaskan. Atau mungkin takdir matinya seperti itu. Bingung. Yang terpenting bagiku mati itu tidak diundang tetapi datang kepada setiap insan dan menjadi suatu kewajiban bagi makhluk yang bernyawa. Bisa juga menjadi hukum alam bagi seluruh ciptaan-Nya.
Kemudian Pak Sodiq diarak dan diamuk oleh massa kampung seperti celeng yang menjadi bulan-bulanan di kampung muslim. Setelah massa itu puas dengan keadaan yang dialami Pak Sodiq; tubuhnya luka memar dengan wajah yang tampak aneh. Mereka mengusirnya. Melihat itu, tubuhku terasa bergetar bercampur kaku. Tak bisa bergerak. Mengerikan. Apalah daya diri ini bertindak ketika kekerasan mengatasnamakan kemanusiaan. Padahal kemanusiaan itu menjunjung tinggi nilai-nilai kecintaan terhadap sesama bukan anarkis yang menjadi sebuah prinsip. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Untung saja dia masih bernafas. Coba saja kalau mati siapa yang hendak bertanggung jawab.
Aku heran dengan aksi yang dipimpin Pak Kades. Masa’ gara-gara ada tetangga yang mati dengan tak wajar itu dijadikan alasan untuk mengobrak-abrik rumah Pak Sodiq, sebagai penyebab kematiaannya. Kenapa mereka, berani-beraninya, mengklaim Pak Sodiq sebagai tukang santet.
Sepengetahuanku, Pak Sodiq itu adalah orang yang jujur, sabar, tulus, dan beradab (sopan-santun). Sebab dia adalah guru ngajiku waktu kecil. Dia tak pernah memarahi atau memukuli santri-santri ngajinya. Sabar. Hidupnya pas-pasan. Kerjanya hanya menjual sayur-sayuran di pasar pagi. Sore harinya dia mengajar santri-santrinya mengaji. Itupun gratis bagi mereka. Sebab ilmunya bukan untuk diperjual-belikan—kata beliau saat mengajariku, sewaktu kecil dulu. Bukan seperti ustadz-ustadz yang berada di perkotaan.
@@@
Suatu siang kala pasukan burung pipit menari-nari di awang, aku tengah menyandarkan pundakku pada sebatang pohon kedondong yang menjadi tempat berteduh ketika mengembalakan kambing-kambing, merumput di lahan sawah kosong yang masih belum digarap oleh si empunya. Angin sepoi waktu itu mengundang kesejukannya, hingga mataku tak bisa ditahan lagi, saking ademnya, tertidur di bawah pohon itu.
Tiba-tiba aku terhentak dengan jeritan parau seseorang yang memanggil-manggil namaku dari jauh: Yusuf, Yusuf, Yusuf… Daun telingaku serasa dicucuk olehnya. Jantung terasa berdebar lebih keras. Kaget. Mata langsung tertuju pada orang yang memanggilku. Dia mendekat. Ternyata Pak Samin, tetangga sebelahku.
“Nak Yusuf, rumahmu terbakar,” kata Pak Samin dengan nafas tersengal-sengal, yang menghampiriku.
Menangkap kata-katanya tempurung otak menjadi kosong. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari, pulang. Kambing-kambingku yang merumput tak kuhiraukan pula Pak Samin. Aku berlari. Hanya wajah ibuku yang menempel dalam benak, berharap ibu tak terperangkap dalam kobaran api itu, tak terbakar.
Aku berlari menuju rumah seperti kijang yang tengah diburu oleh pemburu, cepat. Barangkali rasa ‘takut’ itu yang menjadi pemburu saat itu. Namun sesampainya di rumah, aku tak melihat ibuku sama sekali. Hanya kerumunan orang yang tengah menonton lidah-lidah api yang menghanguskan rumahku, dengan asyiknya. Mereka tak beraksi, memadamkannya. “Tolong saudara-saudara padamkan apinya,” ajakku segera kepada para penduduk, dengan menjerit. Sampai kali ketiga, ajakanku, mereka tetap anteng (tenang-tenang) melihatnya. Apa mungkin para penduduk sudah tuli semua hingga jeritanku tak terdengar mereka. Atau jangan-jangan…
Pikiranku galau. Lalu aku menanyakan tentang ibu pada mereka seraya menerobos kerumunan masyarakat dengan memasang mata dan telingaku baik-baik. Di mana ibu? Apakah dari kalian melihat ibuku? Apakah ada dari kalian yang telah menyelematkannya? Rupanya pertanyaanku sia-sia belaka. Atau mungkin mereka tuli, bagai sapi yang sering menggeleng kepala. Bisa pula mereka dungu semua seperti keledai. Rasanya penduduk kampung serasa menjelma patung dan hatinya membatu. Aku heran dengan mereka semua. Di manakah rasa kasih-sayang mereka? Atau mungkin hati mereka menjadi batu kristal, yang bisanya dijual kepada para kapital.
Disamping itu, kobaran api itu kian lama kian menjadi-jadi. Api kejam itu melalap seluruh rumahku, satu-satunya peninggalan ayahku, musnah. Aku hanya bisa termangu melihatnya seperti pemahat menekuri karyanya yang hancur, berserakan di setiap sudut lantai.
Mata pun berlinang. Sedih. Karena aku tak menemukan beliau. Ibu sudah tua. Seluruh kulitnya rada-rada bersisik dan keriput, ketuaan. Umurnya sudah 100 tahun lebih. Apalagi rambutnya sudah uban seperti sarang bangau. Jalannya saja tertatih-tatih sebab tulang-tulangnya sudah keropos termakan usia. Ironisnya lagi beliau rabun. Dia hanya bisa mengenali seseorang dengan suara yang mengajaknya bicara. Dengan ihwal itulah perasaanku seperti dipukul gada milik Bima sampai-sampai dadaku sesak dan berakibat air mata bening meluncur dari kedua kelopak mataku, tanpa disadari. Aku tak mampu membendungnya.
Saking putus asa, aku duduk di tanah seraya kedua lutut ini aku jadikan penopang dagu. Pikiranku tetap saja berkecamuk bagai ombak yang menghantam batu karang, karena aku belum bertemu dengan ibu, serta debaran hati lebih keras seperti genderang yang ditabuh sebagai penanda perang akan dimulai. Dengan tetap, cucuran demi cucuran dari kedua mataku semakin deras, meluncur ke bawah melalui pipi, menyusuri betis dan akhirnya jatuh ke tanah.
Mataku masih tetap menatap lalapan api itu. Selang beberapa jam kemudian, gelegar guntur membahana bagai suara longsoran tanah. Bertanda hujan akan datang. Mungkin guntur-halilintar mengungkapkan kekesalannya juga di siang ini hingga matahari tertutup wajahnya, sebab awan dan angin proaktif, pula. Hingga datanglah sang hujan dengan menari-nari. Tarian yang menyiratkan seribu makna, semuanya pun terlarut dengannya. Termasuk lalapan api yang membakar rumahku tanpa menyisakan apa-apa. Sedikit demi sedikit tarian hujan membenamkan lalapan api.
Setelah kobaran api itu mulai berkurang, hampir padam, aku melihat seekor tikus keluar dari reruntuhan rumahku yang terbakar dengan terbirit-birit. Mungkin dia bingung atau panik sebab jilatan api yang sudah mengena tubuhnya. Kulit tikus itu gosong. Aku beranjak dari persemayamanku dan menghampiri tikus itu, yang sudah lemas dan terkulai. Ternyata dia tengah menunggu detik-detik terakhir hidupnya. Saat kutekurinya, kedua matanya meneteskan air bening, persis dengan air mata manusia, hingga mampu menyeret otakku menuju terowongan memori. Yang mana tangisan ibu melekat, tertempel, di permukaan otak. Tangis kasih-sayang. Kucoba lagi mataku menatapnya, melotot, ternyata cahaya terang terpatri di dalamnya bagai rembulan berkaca pada telaga. Mata yang sayu, seperti milik ibu, memendam ketenangan yang amat dalam. Pula bulu mata yang jentik bagai air terjun di pegunungan dengan lengkungan alis yang sempurna bak pelangi.
Apa mungkin, ibu tikus? ***
Kamar Niswha, 2008

Foot-Notes:
1) Dinukil dari puisi karya Milton pada “Filsafat Kemanusiaan” Karl Britton (bab.II, hal.27), Ar-Ruzz 2002.
2) Alat untuk menanak nasi (Bhs. Madura).
3) Sejenis alas kaki yang terbuat dari kayu, biasanya banyak digunakan santri.

Senin, 29 Desember 2008

Lomba Untuk Guru

JAWA POS UNTUK GURU 2009
LOMBA PENULISAN ARTIKEL

Syarat:
1. Peserta adalah Guru TK, SD, SMP, SMA sederajat
2. Dicari 180 artikel terbaik bertema pendidikan, panjang 3000-3500 karakter ( 2 page, spasi 1,5 )
3. di bawah judul harus ada resume 1 paragraf ( maksimal 7 kalimat )
4. Kirim email: artikelguru@jawapos.co.id
Paling lambat 15/01/2009, sertakan foto diri dan no.rekening bank
5. Disediakan rubrik untuk artikel guru 2 bulan penuh
6. Setiap artikel dimuat mendapatkan honor
7. Tidak ada honor resume yang akan di on-linekan
8. Sertifikat CEO Jawa Pos-Kadinas P&K Jatim artikel yang dimuat.
Informasi lebih lanjut hubungi: Mbak Deny 031-8202259/8202230

Jumat, 28 November 2008

Pornografi dan Demokrasi


Pengesahan UU Pornografi pada bulan kemarin (30/10/2008) menyisakan berbagai persoalan, internis dan eksternis, sosial. Terkait dengan seni-budaya di setiap daerah dan bentuk arbitrasif. Padahal kalau ditinjau lebih jauh, sebuah penciptaan hukum (rechtscheppend)—rule of law—harus berdasarkan dua faktor: filsafati dan sosiologi.
Syahdan, UU Pornografi—secara kronologis, terbentuk dari sebuah konflik kontroversi yang terjadi di tahun 2003, yang mana goyang ngebor si Inul Daratista menjadi pergunjingan (polemik) pelik. Ihwal tersebut bermula dari ‘Raja Dangdut’ yang menolak keras tentangnya: bahwa seni (dibaca: dangdut) merupakan budaya Indonesia—yang menitik-beratkan terhadap nilai-nilai luhur moral-etika bangsa. Dalam arti, goyang (ngebor) si Inul sudah meloncat lebih jauh dari moral-etika bangsa ini, pula dapat memicu seksualita—demoralisasi, dan menyangkut porno-aksi. Sampai-sampai MUI turut serta mengeluarkan maklumat larangan keras bagi Inul dalam beraksi; goyang ngebornya. Pun menyusul sederet Budayawan (diperbagai wilayah Indonesia); melarang aksi panggungnya, bahkan mengecamnya, serta orang-orang yang kontra dengannya—entah lantaran politis subjektif ataupun kecemburan sosial belaka (jelaousy of mere social) yang menitik pada materiil, lantaran popularitasnya melejit, melangkahi seniman sejawatnya bahkan seniornya atau (jangan-jangan) Inul-fobi.

Berhubungan dengan itu, di beberapa daerah terjadi demoralisatif; sikap-aksi. Misal di Pasuruan terjadi pemerkosaan (fidopelia), sehabis menonton goyangan ngebor Inul. Tambahnya lagi para gadis di kota kembang (julukan Bandung) banyak yang tidak perawan serta kejadian-kejadian immoral—koherensif seksual—lainnya.
Barulah di penghujung tahun 2006, ’Raja Dangdut’ mulai mengutarakan pendapatnya lagi di depan parlemen sehingga RUU Pornografi lahir, sebagai draf hukum (RUU). Dan barulah di tahun 2008 UU Pornografi mulai ”unjuk gigi,” sampai-sampai parlemen mengesahkan UU tersebut. Sekarang, tinggal menunggu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani UU Pornografi yang disahkan DPR (30/10) untuk mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Lebih dari itu, sejatinya, Presiden SBY patut mengambil kebijakan yang positif-afirmasi, dengan berdasar ideologi NKRI; Pancasila dan UUD ’45, yang berefleksi terhadap tuntutan sektor riil yakni demografis sosial, dalam merepresentasikan UU pornografi terhadap semua warga. Sehingga tidak dikhawatirkan terjadinya konflik horisontal yang rawan akan disintegritas internal. Analoginya, hukum dan masyarakat ibarat jiwa dan raga, masyarakat adalah raga sedangkan ruh adalah jiwanya (volkgeeist), seperti penyataan Karl Von Savigny Dan Puchta.
Hakikinya, sebuah perundangan (hukum) dibuat berasaskan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab atau lebih tepatnya meminjam pernyataan Protagoras (wakil kaum Sofis 500-an SM) hukum dibuat sebagai buah logos (bukan produk nafsu). Entah secara politis atau popularis. Akan tetapi, terkait dengan pengesahan UU Pornografi yang terkesan grasa-grusu dalam penciptaan hukum secara rule, kronologis UU Pornografi di atas, namun tak membias pada ’keadilan sosial’ sebagai konsepsi hukum yang patut diagungkan.
Justru dalam pengesahan RUU Pornografi nampak abstrak (kabur) yang berdampak konflik horizontal yang rawan disintegrasi berbangsa-bernegara. Dengan faktor tersebut, seyogianya UU Pornografi (wajib) dipertimbangkan kembali—khususnya bagi Presiden dan MK—sehingga tidak berdampak pada pola kesenjangan sosial melainkan penetrasi sosial, persatuan-kesatuan, di bawah naungan NKRI dan mampu mengakselerasikan tujuan (hukum) perundang-undangan yakni kemanfaatan halayak.
Seperti yang tersebar di media massa (cetak-elektronik), Provinsi Bali seratus-persen menolak RUU Pornografi, juga Sulawesi Utara dan Papua. Tentunya devidensi (pro-kontra) ini—jangan dianggap—semisal angin yang ngampung lewat melainkan angin shinkansen yang mampu merubuhkan segalanya. Keretakan bangsa (nation train) dalam kehidupan bernegara, disintegrasisme. Dan RUU tersebut sudah menyulut sebagian warga negara yang saling kontradiksi dan (siapa tahu) akan berujung kepada otoritas personal, berimplikasi sebagai otoritas sosial—dissolusif—.
Tak pelak RUU Pornografi mengalami absurditas apabila dibenturkan dengan seni, budaya, bahkan jurnalisme. Lantas ada apa dengan sikap parlemen yang dengan mudah mengesahkannya?
Yang ada hanya “pendeskritkan nilai-nilai NKRI” apabila dibenturkan dengan seni, budaya dan jurnalisme—. Bisa pula, sebagai tindakan manuver politik buta (blindness will) parlemen yang mampu membuyarkan semangat ideologi bangsa Indonesia yang tercantum dalam batang tubuh UUD’45. Contoh kecilnya, Pasal 4 ayat 1, berbunyi: setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjual-belikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang kekerasan seksual, masturbasi dan onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak. Namun pada penjelasan frase “membuat” mengecualikan larangan jika digunakan untuk kepentingan sendiri. Berarti semua ini bisa memiliki materi pornografi anak jika untuk kepentingan sendiri. Apalagi pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 48 yang memerintahkan semua pemilik materi pornografi mengembalikannya kepada Negara.
Ironisnya lagi, dalam pasal 1 ayat 1 UU Pornografi, jelas tertulis; pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Dan hal ini yang mampu mendifraksi makna sehingga menimbulkan masalah, khususnya orang yang berkecimpung pada seni, budaya, jurnalis. Serta masih banyak pasal-pasal yang saling kontradiktif satu sama lain dan pengakaburan makna (dimness meaning). Kemudian coba bayangkan, apa jadinya apabila UU Pornografi menjadi hukum legal? Jawabnya hanya dua pilihan: konflik yang tak kunjung selesai sebab menghadirkan multitafsir atau hukum menjamin penguasa yang berkepentingan, injustice sense.
Hemat kata, apapun hasil, kemudian, dari pengesahan UU Pornografi yang akan Presiden-MK putuskan bagi seluruh warga haruslah disikapi dengan kedewasaan intelektual oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan pihak yang bertanggung jawab atas pengesahan RUU Pornografi—Presiden-MK—haruslah lebih mengutamakan terbentuknya aturan responsif hukum (responsive law) sehingga halayak bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis hingga terciptanya negara democracy bukan democrazy: demokrasi atau dominasi (para penguasa). Terakhir, Presiden dan MK—saya kira—lebih mengetahui; bijak dan tepatnya dalam mengesahkan RUU Pornografi, sebagai legitimasi hukum. Demi terciptanya aspirasi sosialisme mapan, perluasan peran dan fungsi kewarganegaraan, pendalaman demokrasi, pula penegakan daulat kebangsaan ataupun solidaritas regional yang mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.***

ARYA MEN BRAYUT

Siang itu matahari begitu menyengat pori-pori tubuh, panas, semerbak wewangian dupa juga sering melindap-lindap pada sepasang goa kembar yang selalu menekur ke bawah, lubang hidung, hingga seisi ruangan harum dibuatnya. Lalu, bunyi tambur menyusul, bertanda pentas drama akan segera dimulai. “Arya Men Brayut,” tajuk drama tersebut. Sebuah drama dengan berdasar cerita tradisional, berlatar belakang mitologi Hindu dan sejarah Bali.
Drama tersebut menyiratkan sebuah makna tentang sebuah keluarga Men Brayut yang tak lepas dari konflik yang super-kompleks: Pan dan istrinya (Men Brayut) sering bertengkar dan berkelahi, anaknya sebanyak 18 orang dengan tipikal yang berbeda: 4 anak yang alim, 4 anak yang suka seni, 4 anak—kurang lebih—urakan, 4 anak yang berpikiran agak dewasa dan 2 anak masih kecil. Namun mereka, semuanya, tidak saling toleran sesama, hingga sering bertengkar.
Sementara itu kami yang duduk di kursi penonton, bersama warga masyarakat sekitar, sebagai tamu undangan dalam acara “Rembug Budaya Metropoli 2008 selama tiga hari (18-21 Oktober), yang dihelat di Dusun Tanah Lengis, Desa Ababi, Kec. Abang, Karangasem Bali.” Turut mengundang pula Yayasan Metropoli Indonesia (YMID), tak lain merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pengembangan kesenian dan kebudayaan untuk anak-anak. Kami sempat tercengang dengan atmosfer sekitar—yang begitu antusias melihat drama tersebut serta para lakon yang mementaskannya sampai-sampai salah satu dari kami berbisik; seandainya saja masyarakat Jember, khususnya anak-anak, memiliki semangat dalam melanggengkan kebudayaanya mungkin saja bangsa ini tidak akan mengalami degradasi moral. Di mana anak-anak Jember sudah mulai terjangkit dengan (salah satu) penyakit post-modernisme, demoralisasi, seperti yang diberitakan Radar Jember 11/08/2008, berjudul: “Mengintip Siswa Browsing Situs Porno”.

Contoh kecil tersebut merupakan salah satu pen-degradasi-an moral putra-putri bangsa, yang disebabkan post-modernisme. Lantas dimanakah proposisi peran orang tua dan masyarakat sekitar, demi mencapai negasi-demoralisasi yang kian menjamur. Seyogianya kita (sebagai orang tua) bisa mengambil langkah yang bijak dalam menanggulanginya. Misalnya membentuk kepribadian diri anak dengan kognitif-afektif (seperti teori Sartre dalam bukunya: Psikologi Imajinasi) dimana kesadaran/pengertian bersumber dari sebuah pengetahuan yang mana merupakan perasaan (suara hati) serta peran sebuah nafsu (amarah) akan terjungkal—jikalau perlu lenyap—dengannya.
Kalau boleh kami menyuguhi representasi-teoritis, demi negasi-demoralisasi bagai sais dan kereta kudanya. Metaforisnya, Ayah sebagai saisnya, anak sebagai kudanya, serta ibu sebagai keretanya. Terciptalah sebuah kesatuan yang kita namakan keluarga. Di sini ayah yang sebagai sais, seharusnya diketahui, tentang karakter anak dan ibu (dibaca: istrinya) sebab seorang laki-laki merupakan pemuka (pemimpin) bagi perempuan (istrinya), al rijalu qawwamuna ‘ala nisa’. Sedangkan ibu yang diumpakan sebagai kereta seharusnya mampu menyublimatif-afeksi terhadap anaknya: menimbulkan karakteristik yang trasedental imanen.
Secara fenomenologi, seorang sais yang akan menjalankan keretanya akan memakaikan kaca mata terhadap kudanya. Fungsinya, agar kedua mata kuda tersebut hanya memiliki satu ojek dan bertumpu dalam sebuah proyeksi, on focuss. Berakibat kuda yang dikendalikannya nurut atau manut, pun kereta yang dijalankan sampai pada tujuannya tanpa harus terganjal dengan aksi janggalnya. Padahal seekor kuda hanya memiliki insting (nalar kehewanan). Pertanyaannya, mengapa kuda tersebut menjadi manut terhadap empunya (baca: sais)?
Sejauh ini, berbicara akal/pikiran kuda tak memilikinya. Tetapi kalau nafsu (ke)liaranya tak usah ditanyakan atau pun diragukan, pastinya. Tentunya, ada sebuah peralihan (movement) yang berperan di balik semuanya, yakni sebuah proses: dari sifatnya yang liar, secara naturalistik, menjadi manut, secara eksentrik. Kronologisnya, si sais sering melatih kudanya untuk menjalankan kereta dan dibalik latihan tersebut, pastinya, ada aksi in-moral—menurut sufisme—yang mengakibatkan kuda sering menerima cambukan demi cambukan sebab instingnya yang liar, kemudian tercipta apa yang dinamakan “manut” pada kuda. Hal tersebut tentunya harus membeda secara mendasar. Anak memiliki akal/pikiran, juga nafsu dan perasan (sense of love) tetapi kuda tidak—hanya terdiri nafsu dan insting. Kuda saja yang liar bisa manut, terhadap kehendak sais, apalagi manusia yang memunyai akal/pikiran.
***
Singkat cerita, keluaga Pan dan istrinya bisa rukun kembali, serta semua anaknya menjadi akur. Semua ini, bermuasal dari 4 anaknya yang alim, taat akan ritual agamnya, dan 4 anaknya yang suka seni dimana mereka sering bertindak-tanduk/beraksi dengan nilai-nilai norma (etika)—yang bisa diambil faedahnya—yang sudah tersirat dalam ajaran agama dan (ke)budaya(an). Mungkin, adakalanya, cerita Arja Men Brayut dapat dapat dijadikan sebuah tinjauan ontologis untuk menegasi-demoralisasi tersebut. Dalam hal ini falsafah agama dan budaya mengajarkan makna kesadaran. Kesadaran mereka timbul dengan dua hal: diferensiasi dan integrasi walaupun kesadaran mereka berpusat pada tindak-tanduk ke-delepan anaknya: 4 anaknya yang alim dan 4 anaknya suka seni. Dan perlu ditegaskan kembali, kesadaran itu bersumber dari; sensansi (pengindraan), perseptual (pemahaman), dan konseptual (pengertian). (Lihat Kesadaran dan Imaji, Sartre hal: 431). Sehingga, indireks, etis-imanen yang mentransendental dalam tingkahnya.
Mengutip sedikit pendapat I Made Oka, salah satu keturunan Empu Tantular: penulis Kitab Sotasoma, tentang budaya dalam ceramahnya di acara “Rembug Budaya Metropoli 2008” bahwa di dalam (ke)budaya(an) tersirat ajaran falsafah tatakrama/etika (sitabhasita bodhisattvika)—disamping dogma itu sendiri, diajarkan—yang mengandung nilai utilitarianistik sehingga kepribadian anak menjadi tangguh/kokoh, bagai batu arca yang tak lekang dimakan zaman, dalam menghadapi pelbagai macam problematika sosial yang kian hari kian pelik. Ada pepatah: buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Bisa ditarik benang merah, konflik yang terjadi di dalam keluarga Men Brayut, semuanya, bermuasal dari tindak-tanduk orang tuanya.
Nah, di sinilah pentingnya ajaran moral/etika yang seharusnya diperkenalkan kebudayaan mulai sejak dini, sebagai orang tua, sehingga tidak terjadinya masyarakat yang hiper-modernisme kontemporer (teori Alen Tourine); di mana kehidupan sosial kini telah kehilangan nilai-nilainya dan tak lebih hanya hanyalah sebuah arus perubahan terus-menerus, yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan norma-norma yang ada, fungus-demoralisasi. Hemat kami, mengenalkan (dibaca: mengajarkan) (ke)budaya(an) berarti menyuapkan tentang etika mulia yang adiluhung dan berujung akan sebuah kesadaran—yang ada bagi (setiap) diri (etre pour soi)—akan eksistensi sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah komunitas difrensial, bernama NKRI, namun tetap memiliki kecintaan tak terbatas terhadap seluruh komponen sosial: keluarga dan masyarakat luas. Dus, kesadaran merupakan kunci menggapai masyarakat yang beradab dan bermatabat, juga datangnya kehidupan yang sejahtera bagi semua. Wallahu a’lamu bil sawab.***

Senin, 15 September 2008

Lomba Jurnalistik

PENGHARGAAN AJI-UNICEF UNTUK KARYA JURNALISTIK TERBAIK TENTANG ANAK

Tahun 2008, AJI-UNICEF kembali menyekenggarakan ‘ PENGHARGAAN AJI-UNICEF UNTUK KARYA JURNALIS TENTANG ANAK’. Penghargaan ini terbuka untuk jurnalis media cetak/online, radio dan televise. Total hadiah sebesar 66 juta.

Ketentuan:

  • Karya jurnalis (cetak/online, radio, TV) berupa feature tentang anak.
  • Setiap jurnalis media cetak/online, radio, TV di seluruh Indonesia dapat mengikuti perlombaan ini.
  • Karya harus pernah dipublikasikan atau disiarkan di media massa (bukan media internet).
  • Setiap peserta bisa mengajukan tiga karya.
  • Karya peserta harus pernah dipublikasikan pada media massa umum pada periode antara 26 September 2008 – 7 Oktober 2008.
  • Karya harus sudah diterima panitia paling lambat tanggal 9 Oktober 2008
  • Karya harus dilengkapi dengan pernyataan bahwa karya adalah karya orisinal. Jadi bukan saduran, terjemahan dan tidak termasuk advertorial komersial.
  • Ralat, jika ada, harus disertakan.
  • Karya belum memenangi lomba jurnalistik.
  • Karya yang sudah dikirim ke panitia tidak akan dikembalikan.
  • Keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.
  • Untuk karya media cetak, peserta harus mengirim kliping beserta soft-copy karya yang sudah dimuat. Untuk media on-line peserta harus mengirimkan karyanya berupa print-out yang sudah di copy langsung dari situs beritanya. Karya harus dilengkapi dengan surat keterangan dari redaktur media on-line yang menyatakan bahwa karya yang dikirimkan pernah dimuat di media tersebut.
  • Untuk karya media radio, peserta harus mengirim karyanya dalam bentuk CD (MP3 atau WAV). Karya harus dilengkapi dnegan surat keternagna dari pimpinan (PemRed) yang menyatakan bahwa karya yang dikirimkan pernah disiarkan di radio tersebut. Peserta diwajibkan mengirimkan naskahnya.
  • Untuk karya media TV peserta harus mengirimkan karyanya dalam bentuk CD/ DVD (MPEG atau AVI) dnegan mencantumkan nama dan asal media di kepingan VCD/DVD. Peserta diwajibkan mengirimkan naskahnya.
  • Sponsor hadiah oleh Mayora dnega total hadiah hadia sebesar Rp. 66 juta. Masing-masing sebesar 10 juta (pemenang 1 per kategori), 7 juta (pemenang II per kategori) dan 5 juta (pemenang III per kategori)
  • Kirimkan karya jurnalistik ke secretariat AJI Indonesia di: Jln. KEMBANG RAYA 6, KWITANG, JAKARTA PUSAT 10420 atau telp/fax: 021-3151214/021-3151261. Atau hubungi panitia ‘PENGHARGAAN AJI-UNICEF UNTUK KARYA JURNALISTIK TERBAIK TENTANG ANAK’ atau hubuungi 081330392480 (Alida) atau 08128572252 (Minda).

Senin, 25 Agustus 2008

Cerita-Cerita Timur

Kumpulan cerita pendek ini pada mulanya disajikan dalam bahasa Perancis dengan judul Nouvelles Orientales atau “Cerita-Cerita Timur” (Terj. Indonesia) oleh Marguerite “Yourcenar”—nama samarannya—. Sebenarnya ia memiliki nama yang cukup panjang; Marguerite de Cleenewerk de Crayencour. Lalu, di saat ia terjun ke dalam dunia penulis, ia memutarbalikkan nama Crayencour menjadi “Yourcenar”, supaya orang lebih mudah mengingatnya.
Buku kumpulan cerpen itu, ditulis dan dipersembahkan Marguerite Yourcenar untuk seorang sahabatnya, orang Yunani, Andre Embricos—seorang penyair dan psikonalis, temannya saat ia berkelana di Yunani—. Di dalam pada itu, buku itu berisi cerita-cerita fiksi yang pernah di tangkap oleh kupingnya, saat ia mengembarai daerah timur Prancis—tempat tinggalnya—seperti Balkan , Yunani, Cina dan Jepang, kemudian ia menceritakan kembali dalam bahasa yang ringkas, padat dan puitis. Analogisnya, nilai estetis dalam cerpen itu seperti angin sepoi yang membelai pengembala ketika siang menggerayanginya dengan panas. Kiranya, pembaca akan tenggelam dalam genangan imajinasi dan, tentunya, estetis yang tersirat dalam cerpennya mampu menggugah pikiran pembaca seakan-akan ia—pembaca—pernah hidup di masa silam, saat perang dunia ke-II bergejolak di negaranya, Perancis.

Dalam bukunya ada sepuluh judul yang semuanya memiliki cerita-koherensif satu sama lainnya. Maksudnya, komposisi-komposisi ceritanya bersifat simetris. Cerita pertama berpadanan dengan cerita kesepuluh. Cerita kedua dan kesembilan, cerita keempat dan cerita keenam, lebih jelas lagi berikat, karena ia mengisahkan tokoh yang sama. Bahkan, bisa dibilang, cerpen itu memiliki alur atau plot yang cepat walau cerpennya tersirat alegori dan puitik. Tidak seperti cerpen Indonesia— dalam kategori cerpen-puitik dan alegori—yang rada-rada lambat. Tentunya cerpen karya Marguerite Yourcenar “Cerita-Cerita Timur” patut ditaklid—oleh cerpenis Indonesia—namun tanpa harus memupuskan kulturalisme bangsa kita sendiri atau karaktersistik setiap penulis.
***
Menurut Himawijaya kreatifitas seorang sastrawan dalam mencipta sebuah karya memiliki dua hal yang mesti dilakukannya—dalam penciptaan karya—. Pertama, proses internalisasi, yakni bagaimana sebuah gagasan, ide, keinginan, ataupun penglihatan, pendengaran atas realitas (baik indrawi atau sejati) disublimasikan di dalam diri. Di sinilah letak penggalian inspirasi, tindak kontemplasi. Kedua, proses eksternalisasi, yakni bagaimana beragam endapan dan sublimasi diri ini diartikulasikan dalam bentuk karya, dibahasakan, dan diwujudkan.
Tentunya, kedua hal di atas merupakan proses yang disublimasikan pada diri Marguerite Yourcenar dalam bukunya. Sehingga karya itu memiliki unsur objektivitas dan subjektivitas dalam memaparkan sebuah karya, yang dibilang mempunyai nilai estetis yang patut disejajarkan dengan sederet karya penulis-penulis Perancis lainnya seperti; Julio Cartezar, Milan Kundera, E. M. Cioran dsb.
Hemat kata, buku kecil itu bisa dijadikan kaca bagi penikmat, pelaku, pengamat sastra dalam mengarungi dunia sastra Perancis. Siapa tahu, salah satu dari mereka bisa memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia.

Hermeneutika Tangis Spiritual

Pernahkah anda menangis?
Pertanyaan di atas bukanlah semacam pertanyaan yang iseng, jenaka, bodoh atau lelucon akan tetapi sebuah pertanyaan yang bisa dijadikan refleksi personal untuk menguak sebuah ‘tangis’ yang dialami kita, sebagai manusia. Setiap manusia, tentunya, pernah menangis, tanpa terkecuali. Lalu, apakah tangisan yang dialami kita memiliki sense positif atau negatif.
Dalam buku “Tangis Rindu Pada-Mu” karya Muhammad Muhyidin menguak misteri tangis, yang sering dialami manusia, sehingga anda diajak menyelami hakikat tangis dan seluk-beluk air mata, pula mengajak anda belajar menangis dan mengeluarkan air mata dengan tangisan dan air mata yang tidak sia-sia belaka. Dan menangis tidaklah menjadi momok lagi bagi kehidupan manusia.

Mungkin selama ini ketika ada seseorang yang menangis karena duka atau bahagia, dianggapnya tangisan itu adalah bahasa jiwa. Dalam artian, menangis merupakan luapan fisik atau psikis yang terkandung dalam personal—baik itu sadar maupun tidak sadar. Entah itu menangis karena luka yang dideritanya, entah itu ditinggal sang kekasih yang lebih dulu mati. Entah menangis karena lulus ujian negara sebagai PNS, dan banyak lagi faktor-faktor eksternal maupun internal yang menyebabkan manusia menangis.
Dalam bukunya penulis menyeret kita menyelami samudera tangis demi mencapai hakikat tangis yang sesungguhnya. Dari berenang terhadap air mata sampai menyelam pada sumber air mata itu sendiri, dengan kalimatnya yang datar menyodok pembaca untuk tenggelam pada samudera tangis yang bermanfaat bagi manusia, alam dan sang pencipta. Pun, dalil-dalil agama—al-Qur’an dan hadist—, psikologi, mengebakinya di dalam sebagai baju selam bagi pembaca (supaya tidak sia-sia) untuk sampai di dasar samudera tangis demi mendapatkan sebuah mutiara tangis yang tiada tara.
Dari proses penyelaman itu, tentunya, kita akan diajak kepada dunia yang sifatnya spiritual, invisible. Mengasah kepekaan rasa, meluluhkan hati yang seperti batu, dan memuncaratkan air mata dengan mudahnya demi menggapai mahligai kebahagiaan, dunia dan akhirat.
Tangisan Spiritualistik
Seorang pemeran lakon dalam pentas drama memuncratkan air matanya, sebagai akting, sangatlah mudah, atau si buaya darat merengek di depan sang pacar dengan mengharapkan balasan cinta darinya, dan masih banyak lagi macam tangisan seperti itu. Tetapi, semua itu, berbeda dengan menumpahkan air mata karena mengharapkan rahmat Allah SWT bahkan merindukan-Nya—yang spiritualistik. Yakni tangis yang keluar dari jiwa yang tercerahkan. Sebuah tangis yang menafikan humanisme melainkan spiritualisme. Tangis yang bermuasal dari hati nurani, bukan dari letupan emosi. Tangis yang menyelamatkan seorang dari keterpurukan atau jurang mudhorat.
Seperti kita tahu, menangis kadang sulit dilakukan terutama saat hati kita lagi lapang atau bahgia. Barulah, ketika ada bencana, musibah, ujian, mata bisa meneteskan air mata, setetes demi setetes, kalau pun perlu, menangis seraya meronta-ronta. Ataukah hati kita sudah membatu dan buta, lantaran selalu lupa dengan-Nya.
Lalu, bagaimana dengan tangisan orang-orang syi’ah (salah satu aliran islamisme)—menjerit-jerit, seraya mencambuk kulitnya dengan benda tajam sampai-sampai darah bercucuran, demi berharap barokah dari cucu Muhammad SAW—Husain yang dibunuh oleh kaum Quraish—di samping mengharap ridho Ilahi, tepatnya dilakukan di bulan as-syura (muharram). Apakah tangisan semacam itu tergolong tangisan spiritualistik atau tangisan awam yang tak berguna atau sia-sia belaka.
Dalam bukunya, penulis (M. Muhyidin) menafsirkan “tangisan kaum syi’ah” sebagai tangisan awam (tingkat tangisan terendah), tangisan yang tidak bermanfaat, baik psikis maupun fisik, dan lebih banyak mudhoratnya. Bayangkan, darah yang berceceran dari kulit kaum syi’ah dianggap darah suci yang bisa mengantarkannya ke surga, bagi kaum syi’ah.
Sungguh pun, kasus di atas merupakan upaya sebuah tangis yang berbeda, dalam kaca mata penulis (Muh. Muhyidin) yang beralirkan sunni. Di mana kaum syi’ah merupakan kaum yang dinafikan dipelbagai sektarian islamisme (aliran-aliran islam) bahkan sebagian para pemuka islam mengklaimnya kafir atau sesat. Menurutnya, tangisan itu memiliki banyak mudhorat (uselles).
Meminjam teroka Ibnu Sina (Avicenna) dalam konsep dualisme dalam menerangkan hakikat ruh dan tubuh yang dibenturkan terhadap realitas. Yakni, andaikan seorang dilahirkan dalam keadaan sudah dewasa dan dalam suatu ruang yang kosong, dan ia tidak dapat melihat, meraba, mencium dan mendengar. Andaikan selanjutnya, ia tidak dapat meraba atau melihat tubuhnya sendiri bahwa anggota-anggota tubuhnya tidak dapat saling sentuh. Orang itu, tentunya, tidak akan mampu memastikan dirinya. Apa yang dipastikan tidak mungkin serupa dengan apa yang tidak dipastikan. Jadi, kalau ditarik benang merahnya, tangisan kaum syi’ah itu belum tentu suatu aksi yang nonsense atau pun useless. Sebab si penulis, tentunya, menilai sebuah tangisan itu dengan kaca mata sunni, di mana menangis tidak perlu disertai sedu sedan dan suara yang menggerung seperti yang penulis (M. Muhyidin) kutip dari kitab Zad al-Maad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Lihat bab V). Analoginya, kita tidak akan tahu pedasnya cabai kalau kita tak mencobanya, bukannya bertanya pada seseorang yang telah memakannya atau mendengarnya. Seorang Imam Ghazalie pun mendukung seorang al-Hallaj—filsuf muslim yang didekrit kafir oleh para filsuf muslim sendiri dan pemerintah pada zamannya, hingga ia harus mati dibakar oleh pemerintah di zamannya gara-gara ia berbilang; Ana Al-Haq (aku ini yang Hakiki atau Allah)—dalam bukunya Mishkat al-Anwar. Perlu diketahui, opini, asumsi, teroka itu bersifat kebenaran subjektif akan tetapi bagaimana kebenaran subjektif itu membias pada kebenaran objektif (sejati), terkecuali karya Tuhan (Allah SWT) yang maha objektif dan sempurna.
Jadi jelas, teroka dualisme Ibnu Sina patut dijadikan sebuah mikroskop dalam menafsirkan sebuah ‘tangis’. Apalagi menyangkut aksi spiritualisme kaum syi’ah yang tak bisa diklarifikasikan dengan mudahnya, sebagai tangisan sia-sia, mungkin (saja) si penulis berkaca mata yang retak atau tidak patut dipakai. Karena hal ini menyangkut akal, jiwa, hati seseorang. Oleh karenanya si penulis haruslah memerhatikan sebuah teroka objektif, dedikatif, dan bijaksana.
Hemat kata, apapun kelemahan dalam buku itu seyogyanya patut dibaca oleh para muslim sebagai kompas hati-nurani, menguak hakikat “tangis spiritualisme” yang mampu menuntun kita merajut kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup. Sebab menangis itu bukanlah hal terburuk atau momok bagi manusia, selama manusia itu menangis demi Dzatillah atau sang pencipta yang menciptakan kita sebagai makhluk sempurna daripada makhluk lainnya, sebab dengan menangis karena rindu pada-Nya raga-jiwa kita lebih peka terhadap cipta, rasa, karsa yang bersemayam dalam tubuh, pula (bisa) menuntun langkah kita mencapai kebahagian dunia wal akhirat.***

Judul Buku : Tangis Rindu Pada-Mu
Karya : Muhammad Muhyidin
Penyunting : Yadi Saeful Hidayat
Cetakan : I, Januari 2008
Penerbit : PT. Mizan Pustaka, Bandung.
Tebal Buku : 270 halaman.

Rabu, 20 Agustus 2008

Lowongan

Pemilihan Bintang Film Televisi


Ayo buruan, jangan sampai telat, daftarkan diri anda untuk menjadi bintang film, bintang iklan, presenter ataupun model.
Ikuti pemilihan bintang film televisi yang diadakan oleh D’COLOR Management…
Syaratnya:
  • Anak-anak 4-11 tahunRemaja 12-16 tahun
  • Dewasa 17-21 tahun
  • Eksekutif Muda 22-30 tahun
Caranya gampang:
Kirimkan 2 lembar foto terbaru (close up dan seluruh badan) dengan biodata lengkap *(cantumkan juga nama dan pekerjaan orang tua) serta perangko balasan ke;
D’COLOR ARTIS MANAGEMENT
Jln. Pangeran Antasari No. 50 Cilandak-Jakarta 12430 Indonesia
Telp. 021-765 4724 – 021 9127 6933. Fax. 021-7654724
“Tulis JKT2C di Sudut Kiri Atas Amplop”
Paling Lambat 30 September 2008 Cap Pos



untuk keterengan lebih lanjut kunjungi www.colorinc.com
“KOTA DI MATA SISWA”
Lomba Mengarang Kompas 2008 untuk Siswa SMA/SAMK/Sederajat.

Herman Wilhem Daendels, si kutu buku itu ternyata ternyata terinspirasi Cursus Publicus, jasa pengiriman pos dan informasi militer di zaman Romawi Kuno.
Ketika Herman Wilhem Daendels menjadi Gubernur Jendral Wilayah Hindia Timur dan berkedudukan di Jawa pada kurun waktu 14 Januari 1808 hingga 16 Mei 1811, ia membuat kebijakan penting yang kelak menjadi titik tolak perkembangan infrastruktur di jawa hingga kini. Kedua Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) sepanjang kurang 1000 km yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Pulau Jawa.
Jalan Raya Pos (Jalan Raya Daendels) dan sering pula disebut Jalan Raya “94 Anjer-Panaroekan” 94 adalah rute jalan yang kemudian mendorong tetapi juga merongrong pertumbuhan tata kota, dan kultur kota-kota yang dilaluinya. Sisi gelap lainnya adalah sejarah penindasan yang bergelimang vduka derita penduduk karena dipaksa bekerja keras dengan bakal minim sekali.

Tema Lomba:
Dalam rangka mendukung ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya oleh Harian Kompas dan mengembangkan wawasan sejarah serta pemahaman siswa tentang pertumbuhan perkotaan dan perbagai masalahnnya. Harian Kompas menyelenggarakan Lopmba Mengarang untuk Siswa SMA/SMK dan sederajat bertema “Kota Di Mata Siswa”.
Bagaimanapun pertumbuhan sebuah kota, sejumlah kota, atau sebuah kawasan pada jalur Raya Pos atau jalan Anjer-Panaroekan tadi dalam demensi masa lalu, masa kini, dan masa depan menurut siswa SMA/SMK dan sederajat. Bagaiman pula kekecewaan, dambaan, dan jalan keluar yang ditawarkan siswa SMA/SMK dan sederajat atas problem sebuah kota, atau kawasan, pemilihan kota, kawasan yang akan menjadi kajian peserta lomba dibagi dalam 3 wilayah sesuai provinsi lokasi sekolah siswa peserta:
  1. Wilayah Prov. Banten/ Jawa Barat dan Jakarta.
  2. Wilayah Prov. Jawa Tengah.
  3. Wilayah Prov. Jawa Timur.

Bentuk dan Panjang Karangan
  1. Karangan berbentuk esai, merupakan tulisan asli, dan belum pernah dipublikasikan.
  2. Panjang karangan 4000-7000 karakter (belum termasuk halaman nama dan alamat sekolah peserta/bukti diri), spasi rangkap (ganda) dengan huruf Times New Roman dengan font 12.
  3. Karangan disertai nama pengarang, alamat lengkap sekolah dan rumah, serta nomor telepon (sekolah/rumah/handphone) yang mudah dihubungi.
  4. Dewan juri terdiri dari tiga orang wartawan Kompas. Dan keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
  5. Lima (5) karangan terbaik di tiga wilayah akan dipresentasikan di depan dewan juri tanggal 22 Agustus 2008 di Kantor Biro Kompas Jawa Barat (Bandung), tanggal 23 Agustus 2008 di Kantor Biro Kompas Jateng (Semarang) dan tanggal 24 Agustus 2008 di Kantor Biro Kompas Jatim (Surabaya). Kelima peserta terbaik dari tiga wilayah akan diundang ke kantor biro dan panitia akan mengganti ongkos transport.
Pengiriman Karangan
  1. Karangan dikirimkan ke alamat, atau dikirimkan langsung ke alamat Kantor Redaksi Biro Jakarta (Jln. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta), Kantor Redaksi Biro Jawa Barat (Jln. RE Martatadinata no. 46 Bandung), Kantor Redaksi Kompas Biro Jawa Tengah (Jln. Menteri Supeno 35 Semarang), Kantor Redaksi Kompas Biro Jawa Timur (Jln. Raya Jemursari no. 64 Surabaya).
  2. e-mail; anjerpanaroekan@kompas.co.id
  3. batas waktu (deadline) penerimaan karangan kepada Panitia Lomba;
  4. Wilayah I (Banten/Jabara/DKI Jakarta) tanggal 20 Agustus 2008
  5. Wilayah II (Jateng) tanggal 21 Agustus 2008
  6. Wilayah III (Jatim) tanggal 22 Agustus 2008

Pemenang dan Hadiah
Panitia akan menetapkan juara I, II, III di setiap wilayah.
Pengumuman pemenang akan diumumkan di harian Kompas pada tanggal 23 Agustus 2008, yang bertepatan dengan Penutupan Ekspedisi 200 tahun Jalan Pos.
Setiap karangan akan dipublikasikan di masing-masing daerah.
Lima (5) penulis terbaik akan memperoleh sertifikat, voucher belanja buku, dan penggantian uang transpor.
  • Juara I @Rp. 3.000.000
  • Juara II @Rp. 2.000.000
  • Juara III@Rp. 1.000.000
Juga memperoleh sertifikat, voucher belanja buku, masing-masing.
Hadiah bagi juara I, II, III bias diambil di kantor Kompas Biro Wilayah masing-masing.



Keterangan lebih lanjut hubungi;
021-5347710 ( Inge, Jakarta), 022-4234699 (Dewi, Bandung), 024-8454470 (Femi/Juni, Semarang), 031-8481919 (Riska, Surabaya).

Jumat, 15 Agustus 2008

Lomba Esai

L o m b a E s a i

Korean Literature Translation Instite (KLTI) dan Indonesia Culture Center Seoul (Pusat Budaya Indonesia, Seoul) bekerja sama dengan Program Studi Indoneisa dan Program Studi Korea, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan penerbit Gramedia Pustaka Utama menyelenggarakan Lomba Penulisan Esai yang membahas atau mengapresiasi buku antologi cerpen “Laut dan Kupu-Kupu” (terjemahan Koh Young Hun dan Tommy Christomi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Lomba bertema “ Mengenai Masyarakat dan Budaya Korea melalui Karya Sastra (CerPen)”.
Persyaratan:
  1. Lomba terbuka bagi WNI dengan usia tak lebih 40 tahun (dibuktikan dengan KTP)
  2. Naskah lomba belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun, ditulis dalam bahasa Indonesia yang kreatif dan merupakan karya asli. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah lomba. Panjang tulisan 4-10 halaman kuarto atau A4 dengan font Times New Roman 12, 1,5 spasi (2000-4000 kata).
  3. Dikirim kepada panitia sebanyak 5 kopi, maksimal tanggal 29 Agustus 2008 (stempel pos) ke alamat: Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univesitas Indonesia, Depok 16424.
  4. Keterangan lebih lanjut mengenai lomba ini, hubungi sdr. Prisilia Limbong, Program Studi Indonesia, telp; (021) 78881018, Fax. (021) 78881018, atau email: lombaesaikorea@yahoo.com.
  • Hadiah:
• Juara I Rp. 2.500.000
• Juara II Rp. 2.000.000
• Juara III Rp. 1.500.000
Juara I dan II akan mendapat kehormatan berkunjung ke Korea atas tanggungan panitia (tiket PP Jakarta-Seoul, Seoul-Jakarta, fiskal, akomodasi, konsumsi dan transportasi selama di Korea). Panitia tidak menaggung biaya pembuatan paspor dan visa. Dan 10 esai terbaik (di luar juara I, II, III) akan mendapat hadiah masing-masing @Rp. 1.000.000

Selasa, 12 Agustus 2008

Mantra Hidup (1)

Ketika kita berangkat tidur, sering akal pikiran kita berkeliaran, menuju alam—tak tahu namanya—yang penuh kebahagiaan yang terseret dalam pencapaian cita-cita yang kita impikan. Entah itu berupa klise sebuah kenangan ,impian, kerinduan bahkan duka yang selalu menjelma hantu.

Tentunya, saya dan anda mengalami hal tersebut…

Lantas, apa fungsi akal pikiran kita yang sering berkeliaran—entah menuju sebuah pencerahan atau pun kegelapan—dapat membantu dalam pengembangan psikis-diri, demi meraih impian yang cerah, esok hari. Bolehlah anda menilainya dengan akal sehat dan lempengan nurani yang selalu mematri, amat terang, pada raga-jiwa kita…

***

Mungkin selama ini kita tidak menyadari makna akal pikiran yangs sering berkeliaran adalah suatu yang bisa dibilang: “hanyalah membuang waktu.” Tapi bagi saya TIDAK. Hal tersebut merupakan biasan dari jiwa manusia yang ingin melakuakan sebuah perubahan dalam hidup. Mungkin kita sering terbayang—dalam benak—punya mobil mewah, uang ruah, serta pasangan hidup yang begitu wuah (cantik+setia) meskipun belum terealisasikan dalam hidup. Tak pelak sebagian orang asyik merebahkan tubuhnya di atas kasur untuk menggerakkan imajinasinya sebagai pemuas diri walaupun kenyataan itu masih sangat jauh. Tapi masih menjadi pemandu untuk selalu semangat dalam menempuh hidup… Sebab sang Tuhan mencipta sebuah akal bagi manusia untuk mengajak selalu berpikir tentang fenomena yang terjadi.

Di saat fenomena-fenomena yang terjadi sekeliling anda menerjang terus menerus, pelbagai perasaan akan sering mewarnai setiap insan. Entah itu ria atau duka. Tergantung pada manusianya. Apabila manusia itu siap dan memiliki hati-akal pikiran yang kokoh bagai akar beringin yang berpilih pada perut bumi, maka pencerahan dalam hidup akan tiba membawa pesan kebahagiaan. Misalnya; Muhammad, Yesus, Sidharta, tegar dan kokoh terserang fenomena-fenomena—yang amat kejam—hidup demi mencapai sebuah penghargaan istimewa di sisi Tuhannya. Lalu bagaimanakah dengan saya, engkau, dan kita semua. Bisakah kita tegar dalam menapaki hidup yang cukup susah, kian hari, bahkan mampet. Di tambah lagi harga BBM yang naik, sepekan lalu, sering menjadi fenomena yang amat menakutkan bagi setiap diri. Tak Dan tak perlu khawatir dengan kenaikan BBM itu (yang menjadi salah satu fenomena yang vitalis bagi kita), yang terpenting sampai dimanakah hati-akal pikran menangkap, mengevaluasi, serta bertindak (gigih) mengarungi hidup tanpa harus kesal-gusar terhadap kepuitusan pemerintah bahkan putus asa dan mengakhiri hidup. <kunjungi www.kayamuda.uni.cc> Belum lagi fenomena keyakinan (krisis) menjadi sebuah celurit untuk menghantam satu sama lain agar keyakinannya tidak diinjak-injak atau komunitas keyakinannya menjadi minim…dsb.

Untuk meminimalis fenomena-fenomena yang menyebabkan hati kita ciut, tak ada salahnya rohani kita diisi dengan pelbagai macam suplemen hidup; berdo’a dan bekerja. Sebab do’a adalah persembahan manusia untuk sang pencipta sedangkan bekerja (yang sifatnya baik-halal-legal) merupakan amanat dari-Nya demi menjaga sebuah peradaban manusia di dunia yang beresensikan; damai-sejahtera. ***

Minggu, 03 Agustus 2008

GOLPUT ITU HARAM

“Majelis Ulama Indonesia (MUI) Madura berkampanye agar masyarakat tidak menjadi golongan putih/golput (tidak menggunakan hak pilihnya) karena golput adalah perbutan haram.” (Koran Tempo Jawa-Bali, 15 Juli 2008).

Fatwa (kampanye) MUI Madura di atas merupakan sebuah dinamit—yang mampu membunuh psikis—terhadap kaum muslim, wa bil khusus muslim yang berada di pulau garam (Madura). Tentunya, kita tahu, perkataan/ucapan seorang kiai di tanah jawa ini bagai mantra yang mampu menyihir masyarakat (awam) walaupun fatwa MUI Madura (secara hakikat) itu tidaklah benar—dalam syar’i islam—. Apalagi fatwa itu tidaklah menyangkut syar’i lil ibadah melainkan hanya syar’i lil siyasi, kepentingan golongan tertentu atau poltik, dalam menyukseskan misinya yang terselubung. Sebab golput sendiri bukanlah urusan ta’abbudi ilallah, jadi larangan haramnya tidaklah sah. Bisa saja, aliran golput itu sudah muak dengan janji-janji manis para calon pemimpin yang sudah lazim dengan buaian gombalnya dalam berkampanye. Dalam sejarah islam saja, Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga pernah melakukan golput saat Sayyidina Umar bin Khattab menjadi khalifah (pemimpin). Jadi golput sudah eksis di zaman Khalifatur Rasyidin. Jadi golput bukanlah hal tabu, melainkan sikap kontradiksi terhadap sebuah kontruksi yang terangka dalam sebuah miniatur negara, yang tak lain politic-civilitation.

Dalam menelisik fatwa MUI Madura berdasar hadist nabi SAW dalam kitab Khusnul Hamidiyah karya Imam al-Mawardi (seperti yang diberitakan Koran Tempo) menyebutkan bahwa memilih pemimpin itu hukumnya wajib. Bisa saja MUI Madura “salah” dalam menafsirkan kalimat tersebut sebab pendapat Imam al-Ghazalie dalam menafsirkan, di kitabnya yang fenomenal (ihya’), hadist tersebut bahwa bukanlah memilih pemimpin dalam arti sebenarnya melainkan memilih untuk tidak melakukan hal-hal yang dilanggar agama. Jadi fatwa MUI itu dengan jelas tertolak/tidak sah seperti; hadist nabi SAW dari Siti Aisyah yang terdapat dalam kitab muttafuq-‘alaih bahwasanya beliau bersabda; barang-siapa yang mengada-ngada (ahdats) dalam urusan agama kami (islam) maka dengan sendirinya ajaran itu tertolak. Lantas permasalahanya adalah bagaimana fatwa MUI Madura dapat dibenarkan sebagai sebuah ajaran dalam islam!
Tapi satu hal yang perlu diingat golput bukanlah jalan untuk membangun bangsa yang demokrasi yang berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Panggung Politik dan Ulama
Sebentar lagi masyarakat wilayah Jawa Timur akan melaksanakan pemilihan gubernur dan bupati (hanya di bebarapa wil. Jatim), pastinya segelintir orang yang memunyai karismatik, publik figur, dan stake-holder dalam sebuah masyarakat sudah pernah bertatap muka dengan para calon pemimpin Jatim, tentunya, sebagai bentuk dari berkampanye.
Di wilayah Jatim sesosok orang yang memunyai karismatik, publik figur, ataupun stake-holder dalam masyarakat hanyalah sesosok kiai/ulama—entah itu memiliki lembaga pendidikan/pesantren ataupun tidak—yang terpenting label “kiai/ulama” yang melekat pada dirinya. Di sinilah, jabatan itu sering dibuat “klise” dimana sebuah jabatan yang mulia (kiai/ulama) sering menjadi pembalut politik—menahan kotoron-kotoran politik saja, terbukti dengan kampanye-kampanye yang mengatasnamakan (berjubel) ulama dan agama. Dan memang, tak bisa dihelak, ulama saat ini banyak aktif di panggung politik ketimbang pada masa orde baru (OrBa). Padahal, seharusnya, peran ulama itu sebagai penyeimbang (balancer) dalam ranah politik dimana politik Indonesia masih mengalami fase-fase degradasi moral hingga rakyat masih banyak mengalami kesulitan-kesulitan. Atau mungkin reformasi sudah menjadi hantu kentayangan bagi halayak sampai-sampai label “reformasi” sebatas pergantian masa (orde) dalam perjalanan bangsa ini.
MUI (Madura) “Salah Peran” dalam panggung Politik
Dalam fatwanya MUI—golput itu hukumnya haram, sudah menerapkan konsep kabilah spiritual (qabilah ruhiyah) dalam memerankan kepentingan politik (siyasi) demi tercapainya tujuan ekplisit maupun implisit. Alih-alih mereka menggunakan pedang akidah demi tercapainya sebuah tujuan (kepentingan) yang terselubung. Padahal peran ulama dalam berpolitik adalah mujtahid (pencerahan), mengejewantahkan penyimpangan-penyimpangan politisi, bukannya “pembebek”—meminjam istilah al-Jibri—(muqadllid) yang selalu nurut (arus) si empunya ke mana ia pergi. Ironinya lagi, peran yang dilakoninya tak lebih dari sekedar pelawak. Siapa sangka pemilik gudang ilmu (ulama) itu membakar dirinya sendiri demi kepentingan sepihak, bukan kemaslahatan umat. Bisa jadi, MUI (Madura) kehilangan otentik perannya; tergerus oleh gesekan-gesekan politik atau kepentingan subjektif yang sekan-akan tidak memunyai peran (kepribadian) hakiki. Lalu dimanakah posisi al-ulama wirasatul al-anbiya’ (ulama pewaris nabi) yang bermisi kemaslahatan umat bukannya “meresahkan umat” ?
Dan tak bisa dihelak, dalam akidah islam sesosok ulama dilazimkan (wenang) dalam berpanggung politik, sebaliknya bisa menjadi kewajiban ulama untuk memerjuangkan aspirasi umat apabila melihat kemungkaran yang dilakoni oleh para birokrat maupun politisi, seperti yang terjadi pada perpolitikan di Indonesia saat ini. Bukannya malah bermain api. Lagi pula, setiap manusia di muka bumi ini memiliki hak asasi dalam berpolitik seperti yang diatur UU HAM.
Hemat kata, seharusnya ulama haruslah mengambil sikap atau memberikan contoh utilitaristik dalam melakoninya sebab utilitaristik tersebut merupakan etika sukses (akhlakul karimah), dengan mendominasi tujuan-tujuan moral-agung tertentu, demi terbangunnya masyarakat sejahtera. Jazaakumullah.

Selasa, 03 Juni 2008

Tool Pemantau Rating Sebuah Website

* www. webstats4u.com

Kalau ingin melihat statistic situs Anda seperti beberapa pengunjung situs, halam diakses, dari mana saja pengunjunganya, mungkin Anda perlu yang satu ini. Webstats4u merupakan salah satu pencatat statistic situs paling popular karena selain grafis, fiturnya cukup bagus dan komplit, plit, plit…

* www. submitexpress.com & www. freewebsubmission.com

Kalau anda ingin agar situs anda dikenal oleh netter dan masuk dalam daftar teratas mesin search engine, Anda perlu kedua situs di atas. Keduanya akan membantu secara otomatis meregister situs ke 40 search engine seperti google, yahoo, msn, astalavista atau lainnya dan juga masuk directory search engine tersebut. Situs ini juga banyak menyajikan informasi yang berguna untuk membantu menaikkan trating situs Anda.

* www. elexa.com

Situs ini dapat mapu melihat rating memantau trafik, dan ranking situs. Situs ini mencata trafik dari masing-masing situs dan dibuat rankingnya berdasarkan banyaknya netter yang masuk ke situs. Selain menawarkan nhosting, sertifikasi SSI , transfer domain, situs ini memuat beberapa informasi yang berguna untuk netter dalam mengecek situs.

Disadur dari Koran Surya Minggu, 25/05/2008.

Siapa Beranak Pertama…?

Sejak kapan ada peristiwa persalinan? Selama ini para ilmuwan meyakini bahwa bangsa reptile adalah pertama yang menerapkan strategi reproduksi denganj cara beranak itu di masa Mesozoik (248-65 juta tahun lalu). Lebih tua dari itu, mereka tidak yakin ada praktek persalinan, yang ada hanya teknik membesarkan dan memberi kehidupan kepada embrionya dalam perlindungan cangkang telur.

Namun temuan fosil dari Australia telah mengoreksi keyakinan itu. Setelah diteliti, terungkap bahwa specimen ikan berusia380 juta tahun itu terawetkan lengkap bersama embrionya yang masih terikat di tali pusar. Walhasil rekor praktek persalinan tertua mundur sejauh 200 juta tahun.

“Ini bukan hanya pertama kali bahwa sebuah fosil embrio ditemukan lengkap dnegan tali pusarnya, tapi ini adalah juga tertua yang diketahui dari makhluk hidup yang melahirkan anaknya lewat fertilasi internal atau seks” ujar John Long, ketua tim peneliti dari Museum Victoria.

Fosil juga menegaskan bahwa jenis-jenis ikan “placoderm” – jenis ikan yang sangat beraneka ragam dan vertebrata berahng paling primitif – menunjukan system biologi reproduktif yang maju, sama seperti iakn-ikan hiu dan cucut modern. Ikan jenis “placoderm” ini pernah mendominasi lautan, sungai, dan danau menembus masa Devonian (420-360 juta tahun lalu).

Spesimen “placoderm” terbaru temuan Long dkk di Gogo, Australia Barat, tiga tahun lalu, memiliki panjang tubuh 25 sentimeter. “Ketika melihat specimen itu, mulut saya langsung ternganga. Saya katakana, ini adalah temuan besar,” kata professor John Lane dari Musuem Victoria.

Tim peneliti sepakat menamakan temuannya itu “materpiscis attenboroughi” untuk menghormati naturalis sir David Attenborough, sebagi orang pertama yang memperkenalkan Gogo sebagai situs fosil ikan pada tahun 1970-an.

Disadur dari Koran Tempo Jawa Timur & Bali, 30/05/2008.

Sayang, Boleh Aku Lihat Milikmu?

Manusia dikenal sebagai umat yang gemar meramal. Perkembangan ilmu ramal-meramal pun dipercaya sama tuanya dengan usia peradaban manusia. Ada ilmu biasa-biasa saja ada juga yang unik dan lucu. Salah satu yang unik meramal watak dan perjuangan dalam bentuk wajah dan tubuh (Fisiognomi) khususnya untuk wanita. Objeknya bisa pusar bisa juga payudara. Lelaki yang sedang mencari jodoh boleh juga mengintip artikel ini.
Ramalan melalui pasar dikenal luas dikalangan Tiongkok dan India Purba. Di mata pakar Fisiognomi menganalisis pusar dipandang sama ampuhnya dengan menganalisis garis tangan dan metode peramalan lainnya. Pusar merupakan bagian yang tidak mudah dilihat dari luar sehingga dianggap mampu menginformasikan sesuatu yang tidak diperoleh lewat palmistry, fisiognomi, frenologi dsb.

Bahkan dulu, melihat pusar seorang wanita menjadi bagian dari tugas para tetua atau sesepuh. Gan Gie Sian, pakar membaca tubuh dijaman kuno menuturkan : pusar seorang wanita banyak mempunyai arti karena memberikan informasi tentang tabiat, sifat dan peruntungan. Begitu juga bangsa Suriah di Asia Barat. Warisan mereka bahkan masih lestari hingga kini (Pengatahoean Mengenal Nona-Nona, Ho Kim Yoe, 1950).
Menurut kepercayaan Tiongkok seorang wanita yang baik harus mempunyai pusar yang dalam dan lebar. Pusar dalam menandakan tubuhnya kuat dan pusar lebar menandakan pikirannya tajam. Pusar yang bagus juga harus menghadap ke atas. Selain mengenal berbudi pekerti luas, pemiliknya dipercaya berharapan besar dan berkemauan tinggi. Mungkin saja dia akan menjadi nyonya besar dan mulia.
Sebaliknya, kalau kecil dan hamper rata dengan perut maka pikirannya pendek, tidak tahan kerja berat, otaknya kurang cemerlang dan hidupnya penuh rintangan.
Bentuk pusar yang kurang disukai agak keluar karena wanita dengan pusar seperti itu jarang mendapatkan kedudukan baik. Begitu pula yang mencong dianggap suka dengan percintaan dan sering melamun. Atau yang tumbuh rambut karena dianggap suka bergaul dengan pria dan pandai merayu.
Bagi masyarakat Suriah pusar agak rata dan hampir sama dengan perut mengindikasikan wanita yang gampang diberi pengertian. Pusar yang dalam menandakan ingatan tajam sedangkan pusar keluar berarti suka dengan percintaan meski ia tetap bisa menjadi ibu yang baik.
Di India masalah pusar wanita banyak disinggung dalam kitab-kitab kuno jaman Hindu. Dikatakan bila menyebar, berdaging dalam, dan lipatan bagian dalamnya berputar searah jarum jam, hal ini merupakan pertanda baik atau menguntungkan. Wanita demikian akan hidup bahagia dan sejahtera. Sebaliknya kalau lipatan dari kulit bagian dalam pusar berlawanan dengan arah jarum jam atau kalau pusar tidak dalam – ditambah mata pusar kelihatan – berarti ada tanda ketidak beruntungan.
Sementara versi fisiognomi barat pusar besar dan bulat pertanda murah hati dan kaya. Bila dalam dan tebal akan mendapatkan kedudukan yang bagus tapi apabila kecil dan tidak datar pertanda miskin dan moral kurang bagus serta bila menaik disisi kanan akan mendapatkan kedudukan dan kehidupan yang menyenangkan.
Mata Tukang Serong
Turun sedikit dari pusar, bokong pun kerap menjadi sarana ramal-meramal. Bagi wanita bokong berhubungan dengan kecantikan dan tabiat. Bokong yang baik harus setimpal dengan kedudukan badan, tidak boleh terlalu besar atau terlalu kecil. Bentuknya sedang dan bundar.
Masyarakat kuno percaya, bokong besar identik dengan sikap malas, suka uring-uringan, sekali waktu bisa beringas dan rewel. Bila ukurannya sedang dan tidak menonjol keluar, dia berhati putih. Bila menonjol, dia suka pada percintaan dan senang bergaul dengan pria. Begitu pula bila keluar dan tajam. Selain menyukai percintaan dan senang bergaul dengan pria, dia suka melamun.
Di zaman India kuno, bokong yang baik harus berbentuk bundar, lembut, besar, padat, berdaging dan tanpa lipatan kulit. Wanita yang memiliki bokong seperti itu memiliki keberuntungan yang baik sekaligus memberikan banyak kenikmatan di atas ranjang.
Penting pula diperhatikan sikap berjalan. Menurut fisiognomi Yunani bila seorang wanita berjalan dengan angkat kepala dan pentang dada maka dia berpikiran besar, suka ngambek dan keras kemauannya. Sementara bila berjalan sambil menundukkan kepala hingga tulang belakangnya ikut melengkung maka dia berpikiran sempit dan selalu memikirkan soal percintaan.
Menurut bangsa Arab kuno, wanita yang berpotongan wajah panjang, pipi kaku dan merah, serta leher panjang adalah pemboros dan suka serong. Wanita berperawakan kecil, rambut hitam gelap dan panjang, potongan wajah seperti telur angsa, dan kuku tangan panjang adalah wanita yang besar rezekinya dan baik hati. Lain lagi yang berperawakan tinggi lurus rambut kasar dan kulat muka agak merah masuk kategori judes. Ramalan selengkapnya bisa dilihat di kitab Ramalan dan Ilmu Pirasat Manusia (Tan Khoen Swie, 1951).
Nah, bagaimana mengetahui seorang wanita itu suci atau nakal? Menurut fisiognomi Korea Selatan lihatlah bagian dari ujung mata hingga tulang pipi di bawah mata (disebut buntut ikan). Konon kalau suatu saat wanita jenis ini mendustai suaminya maka bagian buntut ikan dan bawah matanya akan berwarna merah esok harinya.
Belasan Tipe Payudara
Gan Gie Sian (GGS), pakar fisiognomi dari zaman Tiongkok pada abad pertengahan menuturkan, payudara menyimpan informasi tentang tabiat, sifat dan peruntungan seorang wanita. Diperkirakan metode ini sama tuanya dengan Palmistri dan Numerologi. Menurut GGS, pakar Tiongkok kuno membagi payudara menjadi 5 bentuk yakni :
1. Bundar trepes.
2. Bundar ada isinya.
3. Sedikit panjang seperti terong.
4. Besar dan bundar.
5. Seperti buah jeruk bundar dan kencang.
Bentuk ke-4 dan ke-5 adalah paling bagus. Konon wanita yang memiliki bentuk payudara demikian apabila air susunya cukup akan mempunyai anak sehat. Untuk ke-3 juga masuk kategori baik dan anak-anaknya banyak yang sehat. Sebaliknya kalau payudara tidak berisi dan lemah kesehatan pemiliknya akan kurang tidak tahan kerja berat dan gampang bingung.
Pakar lainnya, Chao Hsiu Chen (CHC) menyebutkan, karena payudara memberikan kehidupan dan nafsu maka keberadaannya menjadi tidak biasa. Payudara yang bagus – menurut CHC – bukanlah yang penuh, besar, dan seksi tetapi apakah bentuknya sesuai dengan bagian tubuh lain hingga bisa menciptakan Feng Shui yang positif.
Berbeda dengan GGS, CHC membagi payudara atas 12 bentuk utama. Setiap bentuk payudara diyakini sudah mewakili sifat dan karakter masing-masing orang dari sononya, sejak manusia dilahirkan.
Ke-12 bentuk payudara itu adalah “mangkuk nasi” (mencuat seperti tonjolan di atas tulang iga, penuh dan tidak terlalu besar) melambangkan ketegasan, bertanggung jawab akan uang, dan kehidupan cintanya bebas masalah. Tetapi, jika payudaranya lembut, dia cenderung memboroskan uang dan gairah seksualnya rendah. Positifnya dia akan menjadi pasangan dan ibu menyenangkan. Ada pula bentuk “piring giok” bentuknya menonjol sedikit dari tulang iga. Kepribadiannya mulia dan tenang. Pemalu dan kuno tetapi penuh pemikiran dan memiliki kecenderungan erotis.
Selanjutnya “mangkuk nasi keluarga” mirip mangkuk nasi hanya mencuat lebih tinggi. Kehidupan cintanya sangat sehat dan akan melahirkan anak-anak sehat pula. Namun negativnya dia bukan tipe ibu yang baik karena sering egois. Tipe lain “pagoda” bentuknya tajam dengan putil mengarah ke atas. Dia sangat atletis dan memiliki selera seksual besar, tapi sombong, sensitive dan hubungan dengan anak-anak tidak terlalu akrab. Untungnya dia sangat pemurah pada pasangannya.
Bentuk “papaya” agak penuh dan berat sehingga menggantung ke bawah. Dia sering melahirkan anak-anak yang sehat, pengurus rumah dan ibu yang baik. Dia juga dapat bertahan dalam keadaan sulit tanpa mengeluh. Sementara tipe “timbangan bambu” hampir sama seperti “pagoda” hanya agak menggantung. Dia tidak mengharapkan kemewahan hidup tetapi memiliki sedikit masalah pada kesehatannya. Dia juga penuh pengertian, pemaaf, dan tidak akan menelantarkan anak.
Berikutnya “bel kuil” bentuknya besar dan penuh, mengarah agak ke bawah. Naluri keibuannya kuat, sangat lembut, dan menghormati ketertiban social. Selain sangat sentimental dia juga tidak hawatir terhadap uang. Sedangkan “Melon Madu” (berbentuk bundar sempurna) diyakini mudah bergaul, sangat menarik dan luwes. Dia menikmati kehidupan di dapur, menikmati cinta dan dicintai.
Tipe “mangga” bentuknya oval, menonjol sedikit dari tulang iga dan bagian bawahnya lebih berdaging daripada bagian atas. Percaya diri dan kasar seperti pria. Keuangannya seimbang, suka kesunyian dan tidak memiliki naluri keibuan. Sangat focus dalam usaha sehingga karirnya sukses. Beda dengan tipe “mandarin” (lebih kecil daripada melon madu) yang memiliki kehidupan cinta yang menarik, sabar dan berhasil mencapai tujuan jangka panjang. Sayang, uang tidak pernah aman di tangannya.
Tipe “koin” bentuknya sangat datar dengan tonjolan sangat kecil. Punya dua ciri yang berlawanan, kadang seperti pria dewasa, kadang bagaikan gadis kecil. Blak-blakan dan tidak mempunyai pikiran jangka panjang. Dia selalu memerlukan bantuan dari luar agar sukses. Terakhir “kuntum bunga” menyerupai lengkungan datar, bagai payudara gadis di awal pubertas. Wataknya seimbang, tapi kondisi fisiknya agak lemah (body feng shui, 2003i)
Waspadai Tahi Lalat
Pengetahuan tentang payudara juga sudah lama dikenal di India. Sebagian besar terdokumentasi dalam kitab BHAVISHYA PURANA dan SKANDA PURANA. Dikatakan wanita yang diberkahi adalah wanita yang mempunyai payudara besar dengan ukuran yang sama, tinggi, mempunyai banyak daging, kenyal, berbentuk bulat, halus dan snigda (mengilap dan enak untuk disentuh). Selain itu bagian dasarnya bundar dan putingnya berwarna kemerah-merahan.
Di India, banyak wanita, walaupun buta huruf bisa membuat perkiraan yang tepat terhadap jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan. Kuncinya adalah melihat payudara bagian mana yang lebih berkembang. Kalau yang kanan berarti akan melahirkan banyak anak pria. Sebaliknya kalau yang kiri akan melahirkan banyak anak wanita.
Lain lagi menurut situs berbahasa melayu www.serena-powers .com. Di situ dikatakan payudara kecil memperlihatkan suka keragaman dan sangat bertenaga diatas ranjang, bila montok dia bertenaga dan suka main-main, bila besar suka berterus terang tetapi emosional, serta bila agak datar suka pembaruan dan suka mengembara. Yang harus diwaspadai adalah bila diputing terdapat tahi lalat. Itu pertanda wanita yang tidak tetap hati dan tidak setia pada kasih.
Sasha Fenton (1995) menyebut tahi lalat yang lumayan baik bukan terdapat di puting tetapi di payudara. Wanita demikian akan memiliki kehidupan yang cukup, tidak kaya dan juga tidak miskin. Bila tahi lalat terdapat di bawah payudara kiri menunjukkan bahwa dia akan melahirkan anak tanpa kesulitan. Bila terdapat di payudara kanan pertanda baik hati, pendiam, penyabar, dan setia. Sementara bila di payudara kiri banyak kawan, setia pada pasangan, pemilih, pencemburu, pemalas.
Jadi jangan marah jika sewaktu-waktu teman pria anda bilang, “sayang, boleh aku lihat milikmu?” dia mungkin tidak bermaksud “porno” tapi sekedar mencoba mengukur hoki anda.***
Disadur dari majalah INTISARI oleh Djulianto Susantio (Pemerhati Fisiognomi, di Jakarta), Mei 2008