Sabtu, 09 Juni 2012

Esai


Menikah Itu Dosa


Satu malam hening serta bisikan angin dingin, teman-teman akrab saya bertutur kisah tentang pernikahannya. Katanya, menikah itu pahala, anugerah, dsb. Tak pelak dari mereka menunjukkan suatu raut yang amat bahagia bahkan bangga, bahwa menikah adalah proses pen-dewasa-an diri terhadap lingkungan. Pula, sebaliknya bagi orang yang belum menikah terklasifikasi sebagai “bocah” {batokne pecah (falsafah jawa): pikirannya pecah}.
Berbicara bocah tentu akan menuai bias makna. Kata bocah dianggapnya masih kanak. Di mana pada fase tersebut ia masih belum menemukan jati-dirinya, eksistensialisme. Ia hanya suka bereksplorasi bahkan mengeksploitasi atas diri dan tubuhnya. Ia berani coba-coba terhadap sesuatu yang bahaya pada dirinya karena ia masih belum berpikir jernih. Maka dari itu, di fase tersebut peran orang-tua sangat berarti dalam kehidupannya, sebagai stimulasi atas diri dan kehidupannya.

Selasa, 15 Mei 2012

Anak, Muara Bahagia

Gambar ini diunduh dari http://www.family.ghiboo.com
Cukup menarik membaca warta; “Belanda Juara Dunia Mendidik Anak” di  Radio Nederland Wereldomroep (21/03/2012). Yang mana peran orangtua telah memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan anak dalam menyalurkan cipta-rasa-karsanya. Seperti laporan utamanya, peran orangtua bukan lagi sebagai hakim di mata anak. Ia tak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Justru ia lebih arif-bijaksana dalam berkomunikasi. Sengaja menyejajarkan statusnya. Anak diajak berkomunikasi dalam memecahkan segala problema yang dialaminya. Dalam menanamkan nilai kesadaran dalam tiap perilakunya. Menumbuhkan refleksi dan kontemplasi atas perilakunya. Bahkan dalam warta itu, Ido Weijers, Pedagog dan Guru Besar Perlindungan Anak, melihat perubahan besar dalam mendidik anak. Tak ada lagi otoriter maupun radikal bahkan menjustifikasi. 

Sabtu, 18 Februari 2012

Esai

KURBAN DAN CINTA 

Dongeng suci Penyembeihan Ismail menjadi muara inspriasi dalam menuaikan ibadah suci kurban (Id Adha). Hari raya besar kedua bagi muslim setelah Id Fitri. Kurban merupakan prosesi suci dalam mengimplementasikan eksistensialisme, baik vertikal maupun horizontal, pula memiliki nilai simbolik reliji.
Di samping itu, prosesi kurban bagi muslim memunyai nilai etis dalam pemotongan hewan kurban. Alhasil hewan kurban yang hendak disembelih haruslah sehat/tidak sakit, gemuk, dan tentu tak memiliki cacat secara fisik. Perihal ini berkaitan dengan adab/etika dalam penyembelihan. Lantas keterkaitan dengan romantisme. Apa perlu pengorbanan atau sekaligus menyuguhkan ku(o)rban dalam menjalin romantisme! Dari prosesi Id Adha kini kita bisa memetik pelajaran bagaimana seharusnya kita berkurban untuk seorang yang kita cintai.   

Senin, 29 Agustus 2011

Esai

STIMULI IDUL FITRI
 oleh: Adi Winarto
“Penyesuaian diri terhadap harmonisasi ilahi merupakan penyebab adanya dunia. Tidaklah benar jika dikatakan bahwa dunia aktual menampakkan adanya keteraturan secara kebetulan. Dunia aktual ini ada, justru karena keteraturan (keseimbangan).”[1]
Pernyataan di atas, merupakan konsepsi Ilahiyah bagi alam semesta. Tak terkecuali. Dan tak bisa dipungkiri, momen Idul Fitri, kali ini, adalah jembatan keteraturan bagi umat muslim di Indonesia dalam memupuk integritas kebangsaan. Sedangkan puasa dan zakat fitrah adalah ritual induksi dalam menyambut hari raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Menang secara lahir dan batin setelah berjuang (dedikasi) dalam menahan lapar, haus, gejolak syahwat serta aksi yang mendorong kemungkaran dan menimbulkan kemudaratan sosial. Di sini, hari kemenangan bukan hanya milik umat Islam melainkan kemenangan sosial. Yang mana,  hari fitri, kali ini, bertepatan dengan bulan Agustus yang menjadi tonggak sejarah dalam kemerdekaan bangsa ini.  Pada bulan ini seluruh masyarakat Indonesia telah merayakan HUT RI 66 serta hari kemenangan umat Muslim.

Senin, 06 Juni 2011

Esai

Revelasi Estetik




Judul Buku: Nabi Tanpa Wahyu
Penulis: Hudan Hidayat
Cetakan: Januari 2008
Penerbit: Pustaka Pujangga (PuJa)
Tebal Buku: xii+218

 
 








Oleh: Adi Winarto
 
Mengakrabi kata-kata butuh proses-waktu. Bukan sekedar tahu fungsi-makna; etimologis maupun epistemologis. Bukan sekedar menyomot dari KBBI untuk digunakan, pula tak hanya menilai/mengevalusinya sebagai bentuk interpretasi atau pretensi saja.  Tak pelak pembaca, bisa juga penulis sering terperangkap, bahkan terjerembap, dalam penjara makna sehingga makna membias seperti bayang-bayang hitam di permukaan air, yang sering memantul dan pembiasan.
            Perihal ini yang menjadi kacamata pembesar bagi Hudan Hidayat (HH) dalam mendeskripsikan karya sastra yang terkumpul dalam buku “Nabi Tanpa Wahyu”, yang merupakan kumpulan esainya, yang ditulis semenjak kurun 2001-2007. Dalam buku tersebut terdapat 26 esai (judul), yang menjadi evaluasi HH dalam mengikuti perjalanan sastra tanah air. Mulai dari antologi cerpen, kliping koran hari minggu dan novel yang menjadi ‘alat-alat operasi’ dalam mendedah karya sastra, bahkan komunitas kesenian dan kebudayaan (TUK) juga ikut terpaut dalam menerangkan hasil karya sastra yang dianggapnya luar biasa (hal. 29).         Serunya lagi, esai-esai yang dijuruskan HH membabi buta terhadap orang-orang yang anti(pati) terhadap teori dan karyanya. Semisal menggugat opini Taufik Ismail yang menyorongkan ‘sastra madzab selangkangan (SMS), fiksi alat kelamin (FAK), dsb yang dianggap strategi politik (sastra) dalam menjatuhkan musuh-musuhnya semisal Lekra menyebut musuhnya; Manikebu (hal. 7). Sepertinya HH melayangkan jurus mabuk bagi orang-orang sekelilingnya—antipati, terhadap karya-karya sastra berbau lendir putih dan beraroma gairah/syahwat.