Rabu, 31 Desember 2008

Esai


Koherensi Teologis: Idul Adha dan Natal Yang Berdekatan

Dilihat dari hitungan hari, Idul Adha dan Natal jatuh pada waktu yang relatif berdekatan: kurang lebih enam belas hari. Sebagai tradisi ritual suci, kedekatan Idul Adha dan Natal, seyogianya patut untuk kita renungkan. Dalam pada itu, kedekatan hari besar keduanya syarat memiliki misi yang mirip, antara tradisi Muslim dan Kristiani, yakni penyemaian kasih-sayang (Illah) tak terbatas yang terkandung pada kedua agama. Lebihnya, ritual tersebut merupakan momen penting bagi Muslim dan Kristiani dalam merefleksikannya, pula manifestasi entitas spiritual di dalam ritual tersebut.
Idul Adha, bagi Muslim, bukan hanya sebatas ritual penyembelihan hewan kurban saja, melainkan sebuah kaca atau representasi (falsafati) bagi umat muslim dalam mengurbankan rasa hewaniahnya yang liar/buas (baca: tamak) seperti pendapat Ibn Qayyimal al-Jauziah bahwa manusia terdiri dari jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah). Dan momen Idul Adha kali ini (1429 H/2008 M) patut dijadikan refleksi.
Terkait dengan itu, peristiwa Ibrahim yang diperintahkan Ilahi untuk melakukan ritual penyembelihan Ismail, putranya. Dan ihwal demikian menjadi syariat amaliyah dalam perayaan kurban (Idul Adha), yang dilakukan di bulan Dzulhijjah (Lihat QS. as-Shaffat: 107). Peristiwa tersebut meninggalkan pesan tentang kepatuhan, ketulusan, keikhlasan dan spirit untuk berkurban yang berefleksi terhadap sesosok Ibrahim as.
Disamping itu, Natal bagi Kristiani bukan sekedar memperingati kelahiran Yesus Kristus, melainkan sebuah panggilan suci (rohani) terhadapnya supaya mereka membalik arah di dalam hidupnya, dalam menempuh kebajikan. Inilah pengharapan yang sesungguhnya dalam memaknai Natal tahun ini, bukannya sekadar sibuk memasang pohon cemara, bukan sekedar liburan wisata, bukan pula sekadar membeli atau memberi hadiah. Namun lebih dari itu, ada esensi “Terang” yang bersinar—yang tersirat. Yakni sebuah panggilan dari-Nya. Yesus lahir memberi sinar “Terang” bagi semesta dan umat manusia (Kristiani), yang mengarahkan kehidupannya, kembali di jalan-Nya. Pula sebagai “Juru Penyelamat atau Almasih” bagi Kristiani.
Dari kedua hal di atas kita bisa menarik benang merah bahwa ritual keagamaan Idul Adha dan Natal masing-masing memunyai kemiripan “misi agung,” yang mampu mengarahkan atau memandu manusia mencapai kebahagian dan kesehjateraan umat manusia dan semesta, baik secara vertikal maupun horisontal. Tanpa harus ada lagi ketidakadilan, kekerasan dan pembunuhan atas nama agama; yang memunyai sifat isolasionis, konfrontasionis, dan kebencian. (David Lochead: 1988)

Ritual Bermisi Agung
Kita sering melihat atau menonton ketidakadilan, kekerasan, peperangan yang mengatasnamakan agama, entah itu melalui media cetak ataupun elektronik, seperti yang terjadi dua pekan lalu di Mumbai India (27-11-2008). Penyerangan dan pemboman yang dilancarkan oleh Deccan Mujahid terhadap warga sipil di beberapa daerah India, dianggapnya sebuah jihad (ritual suci). Juga para lakon “Trio Bom Bali” yang bulan kemarin baru saja dieksekusi mati dielu-elukan sebagai mujahidin—yang dianggap mati syahid atau (mungkin saja) martir—. Padahal aksi itu meninggalkan ratapan (nestapa) bagi orang-orang yang memiliki tali persaudaraan, pertemanan, dan perasaan (ke)manusia(an)? Astaghfirullah.
Lantas pertanyaanya, kenapa umat beragama (theis) sering bertindak buas/liar seperti sifat naturalis hewani hingga sebuah ajaran dalam agama menyisakan duka, lara, nestapa bagi masyarakat—pemeluk agama lain? Apa mungkin (kebanyakan) umat beragama sebatas berpedoman (berpaham) dengan taklid buta, yang percaya begitu saja terhadap sebuah ajaran agama atau sebatas menghafal ajaran-ajarannya, tanpa harus mengerti hakikatnya? Untuk menjawab itu semua di saat inilah, tepatnya, ritual keagamaan (Idul Adha dan Natal) patut dijadikan sebuah pelita yang terang-benderang bagi para pemeluknya sehingga mampu menerangi setiap individual maupun sosial, khususnya. Dan membuat semesta raya menjadi cerah dengan kedamaian dan kesejahteraan. Pula, sebagai khasanah pluralitas agama di nusantara dan seluruh dunia demi memupuk rasa integritas dan solidaritas antar suku, ras dan bangsa, serta menjunjung tinggi nilai toleran dalam perbedaan keyakinan dan kepercayaan.
Hakikatnya, tradisi Idul Adha dan Natal memiliki pesan moral utilitarisme secara koherensi teologis. Yakni dual-dogmatis: panggilan suci dan (ke)sukacita(an). Pertama, panggilan suci: yang bersifat ruhiyah (spiritualis), yang berarti, merupakan asas pokok dalam pencitraan manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini. Diakui ataupun tidak yang namanya sesosok pemimpin harus mampu mencitrakan kepemimpinannya dalam melakukan berbagai hal.
Terkait dengan itu, Ibrahim yang saat itu menjadi publik figur pada masanya dengan rela dan ikhlas harus memenuhi panggilan Tuhan-Nya untuk membunuh (baca: mengurbankan) Ismail, walaupun ini sangat memberatkan baginya. Namun dibalik kepatuhan (dibaca: ketaqwaan) beliau, Tuhan berkehendak lain dan menguji keimanan utusan-Nya (Ibrahim) di luar logikanya, dengan menggantikan Ismail (sebagai kurban) dengan seekor kambing. Dia adalah cahaya, petunjuk (penuntun) dan selalu memberikan (jalan) yang terbaik pada umat-Nya. Apa yang dikandungnya adalah benar.
Sedangkan Natal, perspektif umat Kristiani, dihormati sebagai “Sang Penebus Dosa.” Umat Kristiani juga melihat pentingnya momen kelahiran Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus lahir di sebuah kandang. Orang tuanya, Maria dan Yusuf, termasuk kalangan rakyat jelata dan hidup sederhana (Injil Lukas, 2: 4-7). Di sini, makna Natal tersirat sebagai suatu ajakan untuk hidup bersahaja dan rasa solidaritas tinggi terhadap kaum miskin dan lemah; terutama dalam rangka berbuat-baik, tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil, serta tidak memberi ruang pada kebencian dan berani berkurban demi nilai humanisme. Yesus pun menyerukan kepada Kristiani; “Di dalam kemah-Nya, aku akan mempersembahkan kurban dengan sukaria.” (Mazmur 27: 6)
Mengingat semua dari itu, panggilan suci tersebut menyiratkan ‘muatan mulia’ bagi Muslim dan Kristiani juga untuk menaggalkan (baca: melenyapkan) sifat hewani—segera—yang bersemayam dalam tubuh manusia dengan merealisasikan makna ritual (Idul Adha dan Natal) dengan merekontruks sikap-perilaku dalam tataran kehidupan pluralis, secara horizontal dan indikatif vertikal, yang beradab dan beretika sehingga mampu menihilkan ketamakan (individualistis), materialis (kapitalis), dan anarkis.
Kedua, (ke)sukacita(an), seyogianya termanifestasikan, ditumbuhkan dan disemaikan dalam tingkah laku setiap hari, tanpa harus mengenal (waktu-ruang) dimana, kapan, dan untuk apa dan siapa. Terpenting, suka-cita terdorong oleh rasa kesadaran yang bersemayam dalam tubuh manusia. Sebab kesadaran merupakan sense yang dimiliki manusia dalam mengaplikasikan sukacita, bahkan memunculkan ke permukaan, bukan milik ciptaan-Nya yang lain. Hingga sebuah (peng)harapan kasih-sayang merupakan buahnya dan terwujud tanpa memandang ras, suku, bangsa dan—wa bilkhusus—pemeluk agama-kepercayaan lain. Dengan kesadaran, sebagai kunci integritas, maka peran eksistensi manusia dalam memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi terhadap realitas, dalam mewujudkan sukacita dengan refleksi Ibrahim dan Yesus. Supaya ritual Idul Adha-Natal memberikan epistemologi bagi yang melaksanakan dan mengejawentahkan. Sebagaimana Ibrahim sadar dengan kwalitas-kwantitas (eksisntensial) yang terbatas, sebagai makhluk-Nya, pula Yesus. Mereka rela (ikhlas) dalam menjalankan amanat (baca: firman) dari-Nya.
Jadi sukacita tidak akan (hanya) tampak ketika kita, sebagai manusia, mendapat kebahagian, pada momen tertentu saja. Misalnya, kita lulus ujian CPNS, menikah, melahirkan seorang anak, ulang tahun dan—sayangnya—merayakan tradisi ritual keagamaan di momen tertentu saja. Tapi bagaimana (ke)sukacita(an) dijadikan élan vital, seperti tarikh Ibrahim dengan putranya juga kelahiran Yesus di sebuah kandang hewan, demi terwujudnya transformasi sebuah peradaban manusia progresif dan dengan “Cinta(lah)” sebagai ajaran primer dalam agama-keyakinan, menuju dan menjunjung kemaslahatan umat, dimana humanistik menjadi prioritas utama. Inilah ajaran sejati dari keduanya—Ibrahim sebagai pencetus ritual “Hari Raya Kurban” dan Yesus asal-muasal ritual “Hari Natal”—.
Lain daripada itu, dalam pandangan Islam sesosok Yesus adalah Nabi Isa as, yang merupakan nabi ke-24, hidup sebelum Nabi Muhammad saw lahir. Dan apabila umat Muslim tidak meyakininya maka tak sepantasnya ia disebut “Muslim Sejati.” Karena mengimani Yesus merupakan salah satu pilar iman fundamentalis. Dan di sinilah peran koherensi teologis yang semuanya berasal dari Ibrahim—buyutnya para nabi—sebagai pioner agama samawi: Yahudi, Kristen dan Islam, sehingga ajarannya tersebar ke seluruh penjuru dunia dan ajaran utamanya adalah cinta, kasih, sayang bagi semuanya. Mengutip sedikit syair Abul Ala dalam A Sufi Message of Spritual Liberty (1914): Ka’bah, gereja, ataupun candi // Qur’an, injil bahkan serat kitab kuno sekalipun // Semua ini, kumaklumi sepenuh hati // Karena agamaku, sekarang, adalah (agama) cinta.
Jadi apapun wujud (form) dari sebuah keyakinan (iman) terhadap sesuatu agama takkan menghalangi kita untuk menebarkan rasa cinta sesama. Tentunya penulis—sebagai Muslim—tidak akan segan-segan untuk mengucap “Selamat Hari Raya Natal” bagi umat Kristiani. Sebab cinta puncak segala rahmat yang bermuasal dari Tuhan agama samawi, Illah. Apalagi al-Qur’an telah memberi selamat pada tiga momen: saat kelahiran, wafat dan kebangkitan kembali. “Dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku (Isa: Yesus Kristus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku akan meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (QS Maryam:33). Maka dari itu, bagi umat Muslim yang telah melaksanakan ritual Idul Adha harus berkesadaran sebagai ciptaan-Nya dan mampu membunuh rasa hewaniyahnya, dan—pastinya—takkan segan-segan mengucap “Selamat Hari Raya Natal” bagi saudara kita, tetangga kita, dan masyarakat yang beragama Kristen/Nasrani supaya esensi Idul Adha (hari Raya Kurban) tidaklah sia-sia di ma’rifat-Nya. Yang berorientasi toleransif aktif. Hematnya, membangun bumi Tuhan yang indah nan elok haruslah dengan “Cinta” serta tak harus ada penghujatan atas nama agama-keyakinan, tak harus ada lagi darah yang menghiasi kulit bumi dan tulang-belulang atau mayat-mayat berserakan yang tak dikenal identitasnya. Amin. Allahu a’lam.***

Sajak


DuaPuluhDua Tahun
—Niswha
kau telah menjejak tanpa sadar seperti roda menjejal di pasir, menceruk, di mana langkah bertingkah pada angin, hasrat memeluk kabut dan cinta bersenggama dengan awan. adik, pernahkah terbayang dalam benakmu; angin-kabut-awan, untuk dijepit pada batangmu? supaya kau sadar dengan jejakmu yang sudah melampaui batas, melintasi kota tak bertuan, kian lama. pula batangmu rapuh dimakan waktu hingga daun-daunnya meluruh… ataukah langkahmu sebatas pelangi yang melintas sejingkat kepada kelopak.
hayo, adikku—tersayang—lihatlah kegelapan!
inilah saat melihat batu cerlang
hayo, bersamaku…!
di dunia tanpa koma—titik, dan tanggalkan semua…
Kisah Belaka
pada malam, elang datang
membawa sebuah pesan
—bungkusan hitam—
isinya kosong
kecuali aroma patma
menyengat, menusuk,
lubang tulang
huuuzzz…
ia hilang dengan cepat
tanpa pesan
tanpa salam
hilangngng…

Pesan Belum Selesai
sebelum matahari menyepuh dengan keji
pada kedua matamu
izinkan ia mengumbar umpatan suci
biar perih-pedih tak kembali

ô manusia berbaju tahta
tundukkan kepalamu dengan paksa
lihat bumi sudah memerah—berdarah—amarah
tak ada lagi cinta yang patut dipuja
tak ada lagi kasih yang diberi
tak ada lagi sayang yang patut diperjuangkan
dan tak ada…

ō manusia berhati serigala
pendamkan emas pada dada lapang
simpanlah amanat di raga sekarat
camkan…

Perbedaan Bulan
dahulu bulan sering digambarkan
dengan sesosok idaman
yang bergangsing di hati
dan takkan pernah berhenti
bagai kincir tertiup angin

sekarang bulan selalu menjadi kata magis
yang mampu melucuti jiwa manusia
dengan impian meruah
melekat dalam dada, bertabur bangga
hingga akhirnya lupa…

Cicak Dalam Sajak
dalam sajak selalu ada cicak
merayap tanpa jejak
berkeliaran tanpa sekat

cicak-cicak di dinding
diam-diam bergunjing:
nyamuk-nyamuk nakal
tinggalnya di gedung-gedung
saling menggonggong
dan mendengung…

Do’a
siluet cahaya melintas amat cepat
jiwa pun terasa sekarat
bagai izrael siap menjemput

cahaya, benarkah engkau cahaya
biar mataku tertutup
sinarmu menyilaukan jiwaku
cahaya, aku ingin cahaya
sinarilah tanpa jedah
jangan sisakan petang duka

mata, mulut sudah tak ada dalam raga
kecuali secercah cerlang
—yang tak tahu harus kesebut apa—

Memori Sebuah Epitaph
namamu sebatas cakrawala yang menghias pada senja
bila malam pun tiba maka hilang jalan satu-satunya
ingin rasanya aku ingat engkau di setiap waktu
selama aku belum menyusul engkau

kata-katamu hanya menjadi hiasan pikiranku belaka
sulit dilamat namun masih melekat, itu pun hanya sekejap
mungkin benar apa kata orang:
sebuah nama hanyalah identitas personal
tapi sebuah jasa merupakan manusia—hakikatnya—
walaupun (harus) bersisa cela…

izinkanlah daku memelukmu…
jikalau tanah harus berbalur tubuh
bagai cacing yang setia,
tak perlu air mata menyumbat duka
yang terpenting menyusul, biar kau dan aku bersatu…

Sang Misteri…
kubuka kitab-kitab daun, sehelai demi sehelai
berharap (rangkaian) mahda menjelma mantera
yang mampu membungbungkan jiwa ini mencapai
puncak bahagia

bilamana gundah terusir, lalu tenang tiba
wahai pujaanku, izinkan aku bersanding denganmu
biar-pun sejingakat waktu…
aku sangat membutuhkanmu, agar kokoh tonggakku
dalam kalbu, memasak relung amat dalam
pula rumahmu di dalamnya menjadi istana
yang takkan pernah runtuh menjadi puing-puing abu

oi…cintaku…
malam-datang, malam-tenang, malam-gelap
siang-pulang, siang beramai, siang-terang
sayang…

Sepenggal Cerita dari Jembatan

/1/
di bawah jembatan ini
kau tuang anggur suci
kepada cawan putih-bening
sebagai hadiah dari peri
di malam suci

dimana daun memerah
darah menderas
jantung bergetar
dan akal terbang

aku dan kau mulai mengawang
meniti tangga langit yang amat panjang
dibalik tirai angan dan bayang

/2/
kasih
jembatan itu tak ada lagi
semenjak kau pergi bersama peri

aku sedih
kenapa para punggawa di negeri ini lupa diri
yang dipikirkan hanya upeti
sampai jembatan itu menjelma istana putih

Niwata

Ô niwata…
kenapa kau tampak segar
ketika pria menatap
seperti mawar yang riang atas kehadiran kumbang

Ô niwata…
kenapa ronamu menyiratkan perahu
di tengah samudera, yang menampung pria sejagad
lalu mengolengkannya
tak cukupkah kau berseteru dengan deru ombak
yang bias mengkaramkan kita
mungkin kau senang melihatnya
tidur di dasar laut dan terjaga dengan pucat-pasi
seperti ikan terbius karena racun

Ô niwata…
aku-kau adalah sebatang pohon
yang sengaja dicipta olehNya
untuk mengebaki dunia agar bahagia
bukannya seperti minyak dan air
yang telah menyatu namun tak bisa bersetubuh

Ô niii…waaa…taa…
kau masih manusia

Celoteh

sore ini, apa yang bisa aku tulis?

menulis surat cinta lagi untukmu
sudah tak berguna, karena kata-kata
telah kau musnahkan bersama
pepohonan terbakar

pula puisi rindu telah kau bunuh
dengan rentetan nafsu liarmu…
seperti pemburu membunuh
hewan-hewan lugu di dalam rimba

mungkin saja aku harus membunuhmu
tapi aku tak…
biarlah kenangan kita yang mengebaki
buku-buku tak berhalaman
dan biarkan rasa kita menjelma
kunang-kunang liar di malam kelam
supaya kelak aku bisa mati tenang…

CerPen


Apa Mungkin, Ibu Tikus?

Kutenggelamkan tubuhmu di tanah yang berlumpur, becek, karena hujan. Apa mungkin hujan ini sebuah isyarat, sebagai episode tangis. Entahlah. Pula air yang tersirat di dalam tanah ini—siapa tahu—iba atas kepergianmu jadi bukan cuma langit yang menangis duka, untuk selamanya. Lalu aku baringkan kau dalam perut bumi ini laiknya manusia di mana kafan menjadi gaun megahmu menghadap Sang Tuhan sebab kau akan tinggal bersama di negeri-Nya, kemaharajaan1).
Mungkin hal yang kulakukan ini tidaklah wajar, aneh, persepsi orang lain. Karena kau makhluk yang menjijikkan. Kau hanyalah seekor tikus betina yang secara kodrati hanya mengemban tugas melahirkan dan merawat anak, sebaik-baiknya. Tapi bagiku ‘tidak’. Di mataku kau adalah makhluk yang amat mulia daripada orang-orang desa itu, yang tahunya menjilat terhadap atasan karena takut melarat dan mengerat sesama asalkan hidup dengan kejayaan.
Pun, kutahu warna bulumu, abu-abu kehitam-hitaman, yang amat menggelikan mata-mata orang, bahkan aroma tubuhmu mampu menusuk hidung mereka sehingga yang menangkapmu menyumbat hidungnya, serasa aroma yang keluar dari tubuhmu adalah bau busuk mayat. Padahal kita, sebagai manusia, makhluk yang memiliki ‘cinta tak terbatas’ dan hal tersebut sangatlah kontraditif.
@@@
Adalah sebuah desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa (KaDes), bernsma Juki. Dia orang terkaya di desa kami. Terpandang. Pula sebagai anjungan. Seakan-akan dia dewa. Tak satu pun di antara masyarakat yang berani membantah titahnya. Membantahnya berarati pintu kehancuran terbuka. Titah-titah itu (sangatlah) salah dan merugikan bagi masyarakat di mana demokrasi telah basi, adil menjadi kendil2), bijaksana menjadi terumpah3).
Wajahnya seperti Dewa Kali. Hitam pekat. Kumisnya semisal lekukan pegunungan terjal yang menyiratkan kesuraman. Matanya tajam apabila memandang bagai macan yang mengintai buruannya dari balik semak. Diamnya seperti telaga tak beriak namun bisa menghanyutkan siapa saja yang berada di dalamnya. Lagi pula, kekayaan yang dimilikinya melimpah ruah dan mampu merubah segalanya menjadi apa yang dikehendakinya.
Pernah sesekali, yang kutahu, dia memimpin beberapa orang untuk melakukan pengrusakan terhadap rumah Pak Sodiq, yang menurutnya adalah orang yang yang memiliki ilmu santet, bisa membunuh orang amat kejam. Genting-genting rumahnya banyak dihiasi dengan bebolongan karena batu yang menghantam. Kaca-kaca yang bertengger pada bingkai jendela, kusen, pintu, semuanya hancur, berserakan. Tinggallah sangau mungil yang menjadi tempat mengaji itu tidak di amuk oleh massa. Tetap utuh.
Saat itu, memang, salah seorang tetanggaku mati sangat mengenaskan. Matanya terbelalak, melotot, dengan bulu matanya enggan beradu serasa mayyit tengah melihat pesan dari langit. Tubuhnya hangus hitam bak terbakar si jago merah. Bibirnya banyak mengeluarkan busa seperti over-dosis, sebab narkoba. Entahlah. Kenapa dia mati amat mengenaskan. Atau mungkin takdir matinya seperti itu. Bingung. Yang terpenting bagiku mati itu tidak diundang tetapi datang kepada setiap insan dan menjadi suatu kewajiban bagi makhluk yang bernyawa. Bisa juga menjadi hukum alam bagi seluruh ciptaan-Nya.
Kemudian Pak Sodiq diarak dan diamuk oleh massa kampung seperti celeng yang menjadi bulan-bulanan di kampung muslim. Setelah massa itu puas dengan keadaan yang dialami Pak Sodiq; tubuhnya luka memar dengan wajah yang tampak aneh. Mereka mengusirnya. Melihat itu, tubuhku terasa bergetar bercampur kaku. Tak bisa bergerak. Mengerikan. Apalah daya diri ini bertindak ketika kekerasan mengatasnamakan kemanusiaan. Padahal kemanusiaan itu menjunjung tinggi nilai-nilai kecintaan terhadap sesama bukan anarkis yang menjadi sebuah prinsip. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Untung saja dia masih bernafas. Coba saja kalau mati siapa yang hendak bertanggung jawab.
Aku heran dengan aksi yang dipimpin Pak Kades. Masa’ gara-gara ada tetangga yang mati dengan tak wajar itu dijadikan alasan untuk mengobrak-abrik rumah Pak Sodiq, sebagai penyebab kematiaannya. Kenapa mereka, berani-beraninya, mengklaim Pak Sodiq sebagai tukang santet.
Sepengetahuanku, Pak Sodiq itu adalah orang yang jujur, sabar, tulus, dan beradab (sopan-santun). Sebab dia adalah guru ngajiku waktu kecil. Dia tak pernah memarahi atau memukuli santri-santri ngajinya. Sabar. Hidupnya pas-pasan. Kerjanya hanya menjual sayur-sayuran di pasar pagi. Sore harinya dia mengajar santri-santrinya mengaji. Itupun gratis bagi mereka. Sebab ilmunya bukan untuk diperjual-belikan—kata beliau saat mengajariku, sewaktu kecil dulu. Bukan seperti ustadz-ustadz yang berada di perkotaan.
@@@
Suatu siang kala pasukan burung pipit menari-nari di awang, aku tengah menyandarkan pundakku pada sebatang pohon kedondong yang menjadi tempat berteduh ketika mengembalakan kambing-kambing, merumput di lahan sawah kosong yang masih belum digarap oleh si empunya. Angin sepoi waktu itu mengundang kesejukannya, hingga mataku tak bisa ditahan lagi, saking ademnya, tertidur di bawah pohon itu.
Tiba-tiba aku terhentak dengan jeritan parau seseorang yang memanggil-manggil namaku dari jauh: Yusuf, Yusuf, Yusuf… Daun telingaku serasa dicucuk olehnya. Jantung terasa berdebar lebih keras. Kaget. Mata langsung tertuju pada orang yang memanggilku. Dia mendekat. Ternyata Pak Samin, tetangga sebelahku.
“Nak Yusuf, rumahmu terbakar,” kata Pak Samin dengan nafas tersengal-sengal, yang menghampiriku.
Menangkap kata-katanya tempurung otak menjadi kosong. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari, pulang. Kambing-kambingku yang merumput tak kuhiraukan pula Pak Samin. Aku berlari. Hanya wajah ibuku yang menempel dalam benak, berharap ibu tak terperangkap dalam kobaran api itu, tak terbakar.
Aku berlari menuju rumah seperti kijang yang tengah diburu oleh pemburu, cepat. Barangkali rasa ‘takut’ itu yang menjadi pemburu saat itu. Namun sesampainya di rumah, aku tak melihat ibuku sama sekali. Hanya kerumunan orang yang tengah menonton lidah-lidah api yang menghanguskan rumahku, dengan asyiknya. Mereka tak beraksi, memadamkannya. “Tolong saudara-saudara padamkan apinya,” ajakku segera kepada para penduduk, dengan menjerit. Sampai kali ketiga, ajakanku, mereka tetap anteng (tenang-tenang) melihatnya. Apa mungkin para penduduk sudah tuli semua hingga jeritanku tak terdengar mereka. Atau jangan-jangan…
Pikiranku galau. Lalu aku menanyakan tentang ibu pada mereka seraya menerobos kerumunan masyarakat dengan memasang mata dan telingaku baik-baik. Di mana ibu? Apakah dari kalian melihat ibuku? Apakah ada dari kalian yang telah menyelematkannya? Rupanya pertanyaanku sia-sia belaka. Atau mungkin mereka tuli, bagai sapi yang sering menggeleng kepala. Bisa pula mereka dungu semua seperti keledai. Rasanya penduduk kampung serasa menjelma patung dan hatinya membatu. Aku heran dengan mereka semua. Di manakah rasa kasih-sayang mereka? Atau mungkin hati mereka menjadi batu kristal, yang bisanya dijual kepada para kapital.
Disamping itu, kobaran api itu kian lama kian menjadi-jadi. Api kejam itu melalap seluruh rumahku, satu-satunya peninggalan ayahku, musnah. Aku hanya bisa termangu melihatnya seperti pemahat menekuri karyanya yang hancur, berserakan di setiap sudut lantai.
Mata pun berlinang. Sedih. Karena aku tak menemukan beliau. Ibu sudah tua. Seluruh kulitnya rada-rada bersisik dan keriput, ketuaan. Umurnya sudah 100 tahun lebih. Apalagi rambutnya sudah uban seperti sarang bangau. Jalannya saja tertatih-tatih sebab tulang-tulangnya sudah keropos termakan usia. Ironisnya lagi beliau rabun. Dia hanya bisa mengenali seseorang dengan suara yang mengajaknya bicara. Dengan ihwal itulah perasaanku seperti dipukul gada milik Bima sampai-sampai dadaku sesak dan berakibat air mata bening meluncur dari kedua kelopak mataku, tanpa disadari. Aku tak mampu membendungnya.
Saking putus asa, aku duduk di tanah seraya kedua lutut ini aku jadikan penopang dagu. Pikiranku tetap saja berkecamuk bagai ombak yang menghantam batu karang, karena aku belum bertemu dengan ibu, serta debaran hati lebih keras seperti genderang yang ditabuh sebagai penanda perang akan dimulai. Dengan tetap, cucuran demi cucuran dari kedua mataku semakin deras, meluncur ke bawah melalui pipi, menyusuri betis dan akhirnya jatuh ke tanah.
Mataku masih tetap menatap lalapan api itu. Selang beberapa jam kemudian, gelegar guntur membahana bagai suara longsoran tanah. Bertanda hujan akan datang. Mungkin guntur-halilintar mengungkapkan kekesalannya juga di siang ini hingga matahari tertutup wajahnya, sebab awan dan angin proaktif, pula. Hingga datanglah sang hujan dengan menari-nari. Tarian yang menyiratkan seribu makna, semuanya pun terlarut dengannya. Termasuk lalapan api yang membakar rumahku tanpa menyisakan apa-apa. Sedikit demi sedikit tarian hujan membenamkan lalapan api.
Setelah kobaran api itu mulai berkurang, hampir padam, aku melihat seekor tikus keluar dari reruntuhan rumahku yang terbakar dengan terbirit-birit. Mungkin dia bingung atau panik sebab jilatan api yang sudah mengena tubuhnya. Kulit tikus itu gosong. Aku beranjak dari persemayamanku dan menghampiri tikus itu, yang sudah lemas dan terkulai. Ternyata dia tengah menunggu detik-detik terakhir hidupnya. Saat kutekurinya, kedua matanya meneteskan air bening, persis dengan air mata manusia, hingga mampu menyeret otakku menuju terowongan memori. Yang mana tangisan ibu melekat, tertempel, di permukaan otak. Tangis kasih-sayang. Kucoba lagi mataku menatapnya, melotot, ternyata cahaya terang terpatri di dalamnya bagai rembulan berkaca pada telaga. Mata yang sayu, seperti milik ibu, memendam ketenangan yang amat dalam. Pula bulu mata yang jentik bagai air terjun di pegunungan dengan lengkungan alis yang sempurna bak pelangi.
Apa mungkin, ibu tikus? ***
Kamar Niswha, 2008

Foot-Notes:
1) Dinukil dari puisi karya Milton pada “Filsafat Kemanusiaan” Karl Britton (bab.II, hal.27), Ar-Ruzz 2002.
2) Alat untuk menanak nasi (Bhs. Madura).
3) Sejenis alas kaki yang terbuat dari kayu, biasanya banyak digunakan santri.

Senin, 29 Desember 2008

Lomba Untuk Guru

JAWA POS UNTUK GURU 2009
LOMBA PENULISAN ARTIKEL

Syarat:
1. Peserta adalah Guru TK, SD, SMP, SMA sederajat
2. Dicari 180 artikel terbaik bertema pendidikan, panjang 3000-3500 karakter ( 2 page, spasi 1,5 )
3. di bawah judul harus ada resume 1 paragraf ( maksimal 7 kalimat )
4. Kirim email: artikelguru@jawapos.co.id
Paling lambat 15/01/2009, sertakan foto diri dan no.rekening bank
5. Disediakan rubrik untuk artikel guru 2 bulan penuh
6. Setiap artikel dimuat mendapatkan honor
7. Tidak ada honor resume yang akan di on-linekan
8. Sertifikat CEO Jawa Pos-Kadinas P&K Jatim artikel yang dimuat.
Informasi lebih lanjut hubungi: Mbak Deny 031-8202259/8202230