Rabu, 31 Desember 2008

CerPen


Apa Mungkin, Ibu Tikus?

Kutenggelamkan tubuhmu di tanah yang berlumpur, becek, karena hujan. Apa mungkin hujan ini sebuah isyarat, sebagai episode tangis. Entahlah. Pula air yang tersirat di dalam tanah ini—siapa tahu—iba atas kepergianmu jadi bukan cuma langit yang menangis duka, untuk selamanya. Lalu aku baringkan kau dalam perut bumi ini laiknya manusia di mana kafan menjadi gaun megahmu menghadap Sang Tuhan sebab kau akan tinggal bersama di negeri-Nya, kemaharajaan1).
Mungkin hal yang kulakukan ini tidaklah wajar, aneh, persepsi orang lain. Karena kau makhluk yang menjijikkan. Kau hanyalah seekor tikus betina yang secara kodrati hanya mengemban tugas melahirkan dan merawat anak, sebaik-baiknya. Tapi bagiku ‘tidak’. Di mataku kau adalah makhluk yang amat mulia daripada orang-orang desa itu, yang tahunya menjilat terhadap atasan karena takut melarat dan mengerat sesama asalkan hidup dengan kejayaan.
Pun, kutahu warna bulumu, abu-abu kehitam-hitaman, yang amat menggelikan mata-mata orang, bahkan aroma tubuhmu mampu menusuk hidung mereka sehingga yang menangkapmu menyumbat hidungnya, serasa aroma yang keluar dari tubuhmu adalah bau busuk mayat. Padahal kita, sebagai manusia, makhluk yang memiliki ‘cinta tak terbatas’ dan hal tersebut sangatlah kontraditif.
@@@
Adalah sebuah desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa (KaDes), bernsma Juki. Dia orang terkaya di desa kami. Terpandang. Pula sebagai anjungan. Seakan-akan dia dewa. Tak satu pun di antara masyarakat yang berani membantah titahnya. Membantahnya berarati pintu kehancuran terbuka. Titah-titah itu (sangatlah) salah dan merugikan bagi masyarakat di mana demokrasi telah basi, adil menjadi kendil2), bijaksana menjadi terumpah3).
Wajahnya seperti Dewa Kali. Hitam pekat. Kumisnya semisal lekukan pegunungan terjal yang menyiratkan kesuraman. Matanya tajam apabila memandang bagai macan yang mengintai buruannya dari balik semak. Diamnya seperti telaga tak beriak namun bisa menghanyutkan siapa saja yang berada di dalamnya. Lagi pula, kekayaan yang dimilikinya melimpah ruah dan mampu merubah segalanya menjadi apa yang dikehendakinya.
Pernah sesekali, yang kutahu, dia memimpin beberapa orang untuk melakukan pengrusakan terhadap rumah Pak Sodiq, yang menurutnya adalah orang yang yang memiliki ilmu santet, bisa membunuh orang amat kejam. Genting-genting rumahnya banyak dihiasi dengan bebolongan karena batu yang menghantam. Kaca-kaca yang bertengger pada bingkai jendela, kusen, pintu, semuanya hancur, berserakan. Tinggallah sangau mungil yang menjadi tempat mengaji itu tidak di amuk oleh massa. Tetap utuh.
Saat itu, memang, salah seorang tetanggaku mati sangat mengenaskan. Matanya terbelalak, melotot, dengan bulu matanya enggan beradu serasa mayyit tengah melihat pesan dari langit. Tubuhnya hangus hitam bak terbakar si jago merah. Bibirnya banyak mengeluarkan busa seperti over-dosis, sebab narkoba. Entahlah. Kenapa dia mati amat mengenaskan. Atau mungkin takdir matinya seperti itu. Bingung. Yang terpenting bagiku mati itu tidak diundang tetapi datang kepada setiap insan dan menjadi suatu kewajiban bagi makhluk yang bernyawa. Bisa juga menjadi hukum alam bagi seluruh ciptaan-Nya.
Kemudian Pak Sodiq diarak dan diamuk oleh massa kampung seperti celeng yang menjadi bulan-bulanan di kampung muslim. Setelah massa itu puas dengan keadaan yang dialami Pak Sodiq; tubuhnya luka memar dengan wajah yang tampak aneh. Mereka mengusirnya. Melihat itu, tubuhku terasa bergetar bercampur kaku. Tak bisa bergerak. Mengerikan. Apalah daya diri ini bertindak ketika kekerasan mengatasnamakan kemanusiaan. Padahal kemanusiaan itu menjunjung tinggi nilai-nilai kecintaan terhadap sesama bukan anarkis yang menjadi sebuah prinsip. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Untung saja dia masih bernafas. Coba saja kalau mati siapa yang hendak bertanggung jawab.
Aku heran dengan aksi yang dipimpin Pak Kades. Masa’ gara-gara ada tetangga yang mati dengan tak wajar itu dijadikan alasan untuk mengobrak-abrik rumah Pak Sodiq, sebagai penyebab kematiaannya. Kenapa mereka, berani-beraninya, mengklaim Pak Sodiq sebagai tukang santet.
Sepengetahuanku, Pak Sodiq itu adalah orang yang jujur, sabar, tulus, dan beradab (sopan-santun). Sebab dia adalah guru ngajiku waktu kecil. Dia tak pernah memarahi atau memukuli santri-santri ngajinya. Sabar. Hidupnya pas-pasan. Kerjanya hanya menjual sayur-sayuran di pasar pagi. Sore harinya dia mengajar santri-santrinya mengaji. Itupun gratis bagi mereka. Sebab ilmunya bukan untuk diperjual-belikan—kata beliau saat mengajariku, sewaktu kecil dulu. Bukan seperti ustadz-ustadz yang berada di perkotaan.
@@@
Suatu siang kala pasukan burung pipit menari-nari di awang, aku tengah menyandarkan pundakku pada sebatang pohon kedondong yang menjadi tempat berteduh ketika mengembalakan kambing-kambing, merumput di lahan sawah kosong yang masih belum digarap oleh si empunya. Angin sepoi waktu itu mengundang kesejukannya, hingga mataku tak bisa ditahan lagi, saking ademnya, tertidur di bawah pohon itu.
Tiba-tiba aku terhentak dengan jeritan parau seseorang yang memanggil-manggil namaku dari jauh: Yusuf, Yusuf, Yusuf… Daun telingaku serasa dicucuk olehnya. Jantung terasa berdebar lebih keras. Kaget. Mata langsung tertuju pada orang yang memanggilku. Dia mendekat. Ternyata Pak Samin, tetangga sebelahku.
“Nak Yusuf, rumahmu terbakar,” kata Pak Samin dengan nafas tersengal-sengal, yang menghampiriku.
Menangkap kata-katanya tempurung otak menjadi kosong. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari, pulang. Kambing-kambingku yang merumput tak kuhiraukan pula Pak Samin. Aku berlari. Hanya wajah ibuku yang menempel dalam benak, berharap ibu tak terperangkap dalam kobaran api itu, tak terbakar.
Aku berlari menuju rumah seperti kijang yang tengah diburu oleh pemburu, cepat. Barangkali rasa ‘takut’ itu yang menjadi pemburu saat itu. Namun sesampainya di rumah, aku tak melihat ibuku sama sekali. Hanya kerumunan orang yang tengah menonton lidah-lidah api yang menghanguskan rumahku, dengan asyiknya. Mereka tak beraksi, memadamkannya. “Tolong saudara-saudara padamkan apinya,” ajakku segera kepada para penduduk, dengan menjerit. Sampai kali ketiga, ajakanku, mereka tetap anteng (tenang-tenang) melihatnya. Apa mungkin para penduduk sudah tuli semua hingga jeritanku tak terdengar mereka. Atau jangan-jangan…
Pikiranku galau. Lalu aku menanyakan tentang ibu pada mereka seraya menerobos kerumunan masyarakat dengan memasang mata dan telingaku baik-baik. Di mana ibu? Apakah dari kalian melihat ibuku? Apakah ada dari kalian yang telah menyelematkannya? Rupanya pertanyaanku sia-sia belaka. Atau mungkin mereka tuli, bagai sapi yang sering menggeleng kepala. Bisa pula mereka dungu semua seperti keledai. Rasanya penduduk kampung serasa menjelma patung dan hatinya membatu. Aku heran dengan mereka semua. Di manakah rasa kasih-sayang mereka? Atau mungkin hati mereka menjadi batu kristal, yang bisanya dijual kepada para kapital.
Disamping itu, kobaran api itu kian lama kian menjadi-jadi. Api kejam itu melalap seluruh rumahku, satu-satunya peninggalan ayahku, musnah. Aku hanya bisa termangu melihatnya seperti pemahat menekuri karyanya yang hancur, berserakan di setiap sudut lantai.
Mata pun berlinang. Sedih. Karena aku tak menemukan beliau. Ibu sudah tua. Seluruh kulitnya rada-rada bersisik dan keriput, ketuaan. Umurnya sudah 100 tahun lebih. Apalagi rambutnya sudah uban seperti sarang bangau. Jalannya saja tertatih-tatih sebab tulang-tulangnya sudah keropos termakan usia. Ironisnya lagi beliau rabun. Dia hanya bisa mengenali seseorang dengan suara yang mengajaknya bicara. Dengan ihwal itulah perasaanku seperti dipukul gada milik Bima sampai-sampai dadaku sesak dan berakibat air mata bening meluncur dari kedua kelopak mataku, tanpa disadari. Aku tak mampu membendungnya.
Saking putus asa, aku duduk di tanah seraya kedua lutut ini aku jadikan penopang dagu. Pikiranku tetap saja berkecamuk bagai ombak yang menghantam batu karang, karena aku belum bertemu dengan ibu, serta debaran hati lebih keras seperti genderang yang ditabuh sebagai penanda perang akan dimulai. Dengan tetap, cucuran demi cucuran dari kedua mataku semakin deras, meluncur ke bawah melalui pipi, menyusuri betis dan akhirnya jatuh ke tanah.
Mataku masih tetap menatap lalapan api itu. Selang beberapa jam kemudian, gelegar guntur membahana bagai suara longsoran tanah. Bertanda hujan akan datang. Mungkin guntur-halilintar mengungkapkan kekesalannya juga di siang ini hingga matahari tertutup wajahnya, sebab awan dan angin proaktif, pula. Hingga datanglah sang hujan dengan menari-nari. Tarian yang menyiratkan seribu makna, semuanya pun terlarut dengannya. Termasuk lalapan api yang membakar rumahku tanpa menyisakan apa-apa. Sedikit demi sedikit tarian hujan membenamkan lalapan api.
Setelah kobaran api itu mulai berkurang, hampir padam, aku melihat seekor tikus keluar dari reruntuhan rumahku yang terbakar dengan terbirit-birit. Mungkin dia bingung atau panik sebab jilatan api yang sudah mengena tubuhnya. Kulit tikus itu gosong. Aku beranjak dari persemayamanku dan menghampiri tikus itu, yang sudah lemas dan terkulai. Ternyata dia tengah menunggu detik-detik terakhir hidupnya. Saat kutekurinya, kedua matanya meneteskan air bening, persis dengan air mata manusia, hingga mampu menyeret otakku menuju terowongan memori. Yang mana tangisan ibu melekat, tertempel, di permukaan otak. Tangis kasih-sayang. Kucoba lagi mataku menatapnya, melotot, ternyata cahaya terang terpatri di dalamnya bagai rembulan berkaca pada telaga. Mata yang sayu, seperti milik ibu, memendam ketenangan yang amat dalam. Pula bulu mata yang jentik bagai air terjun di pegunungan dengan lengkungan alis yang sempurna bak pelangi.
Apa mungkin, ibu tikus? ***
Kamar Niswha, 2008

Foot-Notes:
1) Dinukil dari puisi karya Milton pada “Filsafat Kemanusiaan” Karl Britton (bab.II, hal.27), Ar-Ruzz 2002.
2) Alat untuk menanak nasi (Bhs. Madura).
3) Sejenis alas kaki yang terbuat dari kayu, biasanya banyak digunakan santri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar