Rabu, 31 Desember 2008

Sajak


DuaPuluhDua Tahun
—Niswha
kau telah menjejak tanpa sadar seperti roda menjejal di pasir, menceruk, di mana langkah bertingkah pada angin, hasrat memeluk kabut dan cinta bersenggama dengan awan. adik, pernahkah terbayang dalam benakmu; angin-kabut-awan, untuk dijepit pada batangmu? supaya kau sadar dengan jejakmu yang sudah melampaui batas, melintasi kota tak bertuan, kian lama. pula batangmu rapuh dimakan waktu hingga daun-daunnya meluruh… ataukah langkahmu sebatas pelangi yang melintas sejingkat kepada kelopak.
hayo, adikku—tersayang—lihatlah kegelapan!
inilah saat melihat batu cerlang
hayo, bersamaku…!
di dunia tanpa koma—titik, dan tanggalkan semua…
Kisah Belaka
pada malam, elang datang
membawa sebuah pesan
—bungkusan hitam—
isinya kosong
kecuali aroma patma
menyengat, menusuk,
lubang tulang
huuuzzz…
ia hilang dengan cepat
tanpa pesan
tanpa salam
hilangngng…

Pesan Belum Selesai
sebelum matahari menyepuh dengan keji
pada kedua matamu
izinkan ia mengumbar umpatan suci
biar perih-pedih tak kembali

ô manusia berbaju tahta
tundukkan kepalamu dengan paksa
lihat bumi sudah memerah—berdarah—amarah
tak ada lagi cinta yang patut dipuja
tak ada lagi kasih yang diberi
tak ada lagi sayang yang patut diperjuangkan
dan tak ada…

ō manusia berhati serigala
pendamkan emas pada dada lapang
simpanlah amanat di raga sekarat
camkan…

Perbedaan Bulan
dahulu bulan sering digambarkan
dengan sesosok idaman
yang bergangsing di hati
dan takkan pernah berhenti
bagai kincir tertiup angin

sekarang bulan selalu menjadi kata magis
yang mampu melucuti jiwa manusia
dengan impian meruah
melekat dalam dada, bertabur bangga
hingga akhirnya lupa…

Cicak Dalam Sajak
dalam sajak selalu ada cicak
merayap tanpa jejak
berkeliaran tanpa sekat

cicak-cicak di dinding
diam-diam bergunjing:
nyamuk-nyamuk nakal
tinggalnya di gedung-gedung
saling menggonggong
dan mendengung…

Do’a
siluet cahaya melintas amat cepat
jiwa pun terasa sekarat
bagai izrael siap menjemput

cahaya, benarkah engkau cahaya
biar mataku tertutup
sinarmu menyilaukan jiwaku
cahaya, aku ingin cahaya
sinarilah tanpa jedah
jangan sisakan petang duka

mata, mulut sudah tak ada dalam raga
kecuali secercah cerlang
—yang tak tahu harus kesebut apa—

Memori Sebuah Epitaph
namamu sebatas cakrawala yang menghias pada senja
bila malam pun tiba maka hilang jalan satu-satunya
ingin rasanya aku ingat engkau di setiap waktu
selama aku belum menyusul engkau

kata-katamu hanya menjadi hiasan pikiranku belaka
sulit dilamat namun masih melekat, itu pun hanya sekejap
mungkin benar apa kata orang:
sebuah nama hanyalah identitas personal
tapi sebuah jasa merupakan manusia—hakikatnya—
walaupun (harus) bersisa cela…

izinkanlah daku memelukmu…
jikalau tanah harus berbalur tubuh
bagai cacing yang setia,
tak perlu air mata menyumbat duka
yang terpenting menyusul, biar kau dan aku bersatu…

Sang Misteri…
kubuka kitab-kitab daun, sehelai demi sehelai
berharap (rangkaian) mahda menjelma mantera
yang mampu membungbungkan jiwa ini mencapai
puncak bahagia

bilamana gundah terusir, lalu tenang tiba
wahai pujaanku, izinkan aku bersanding denganmu
biar-pun sejingakat waktu…
aku sangat membutuhkanmu, agar kokoh tonggakku
dalam kalbu, memasak relung amat dalam
pula rumahmu di dalamnya menjadi istana
yang takkan pernah runtuh menjadi puing-puing abu

oi…cintaku…
malam-datang, malam-tenang, malam-gelap
siang-pulang, siang beramai, siang-terang
sayang…

Sepenggal Cerita dari Jembatan

/1/
di bawah jembatan ini
kau tuang anggur suci
kepada cawan putih-bening
sebagai hadiah dari peri
di malam suci

dimana daun memerah
darah menderas
jantung bergetar
dan akal terbang

aku dan kau mulai mengawang
meniti tangga langit yang amat panjang
dibalik tirai angan dan bayang

/2/
kasih
jembatan itu tak ada lagi
semenjak kau pergi bersama peri

aku sedih
kenapa para punggawa di negeri ini lupa diri
yang dipikirkan hanya upeti
sampai jembatan itu menjelma istana putih

Niwata

Ô niwata…
kenapa kau tampak segar
ketika pria menatap
seperti mawar yang riang atas kehadiran kumbang

Ô niwata…
kenapa ronamu menyiratkan perahu
di tengah samudera, yang menampung pria sejagad
lalu mengolengkannya
tak cukupkah kau berseteru dengan deru ombak
yang bias mengkaramkan kita
mungkin kau senang melihatnya
tidur di dasar laut dan terjaga dengan pucat-pasi
seperti ikan terbius karena racun

Ô niwata…
aku-kau adalah sebatang pohon
yang sengaja dicipta olehNya
untuk mengebaki dunia agar bahagia
bukannya seperti minyak dan air
yang telah menyatu namun tak bisa bersetubuh

Ô niii…waaa…taa…
kau masih manusia

Celoteh

sore ini, apa yang bisa aku tulis?

menulis surat cinta lagi untukmu
sudah tak berguna, karena kata-kata
telah kau musnahkan bersama
pepohonan terbakar

pula puisi rindu telah kau bunuh
dengan rentetan nafsu liarmu…
seperti pemburu membunuh
hewan-hewan lugu di dalam rimba

mungkin saja aku harus membunuhmu
tapi aku tak…
biarlah kenangan kita yang mengebaki
buku-buku tak berhalaman
dan biarkan rasa kita menjelma
kunang-kunang liar di malam kelam
supaya kelak aku bisa mati tenang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar