Selasa, 12 Mei 2009

Cerpen


EPISODE MATI

Cinta dan duka itu tampak serupa tapi tak sama dan tak dapat dipisah. Ada yang bilang keduanya seperti kali dan sungai. Mungkin hal itu bisa dikatakan benar, arti relatif. Sebab cinta dan duka berasal dari sebuah noktah kecil yang tepatnya berada di pusat hati, lalu muncul apa yang dinamakan ´rasa´ dan menyebar ke seluruh tubuh makhluk yang bernyawa, yakni manusia. Tubuh pun merespon aliran itu hingga bereaksi. Sama halnya dengan energi gerak yang dapat mengahasilkan energi listrik seperti halnya dinamo pada sepeda pedal yang mampu menghidupkan lampunya. Mungkin (analogis) cinta dan duka pun seperti itu. Cinta bisa membuat seseorang meneteskan air mata. Duka pun demikian juga, sama meneteskan air mata.
Tapi mengapa, pernyataan di atas tidak berlaku bagi Iran. Anak desa yang tubuhnya dekil, perutnya buncit, dan kedua matanya buta—terpejam—semenjak dia keluar dari rahim ibunya. Pun, waktu lahir dia tak bisa meneteskan air mata. Berbeda halnya dengan bayi pada umumnya: menangis seraya menjerit-jerit seakan-akan bayi itu mengetahui betapa belakanya dunia ini. Atau tangisnya, mengisyaratkan pada fenomena dunia yang super komplek dan masih menjadi sebuah misteri. Namun, anehnya, Iran tak pernah menangis, semenjak dia dimuntahkan dari lubang sumur Ibunya. Apa karena dia buta mata jadi sulit menitikkan air mata!
Tentunya halayak tahu, orang buta pasti memiliki sahabat setia, yakni tongkat. Teman sehati Iran, saban hari, adalah sebuah tongkat yang berasal dari ranting pohon jati—yang katanya, konon, tongkat itu dicari tepat pada hari jum´at legi yang berselonjor ke arah barat dan timur serta, kepercayaan masyarakat setempat, mampu menjaga seseorang dari pelbagai bala´—. Tongkat itu didapat dari seseorang yang berasal dari luar desanya. Ada yang bilang: orang itu malaikat, orang itu sufi sebab ada tetangga Iran yang melihatnya, saat dia mencari kayu kering di hutan, berada di bawah pohon beringin selama berminggu, bertirakat. Entahlah, berita tentang orang misterius itu tetap menjadi simpang-siur. Tak ada yang tahu secara jelas darimana ia berasal.
Ironisnya lagi, Iran buta aksara. Tak bisa membaca dan menulis. Lagi pula, mana ada sich di desa terpencil itu, jauh dari perkotaan lagi, Sekolah Luar Biasa (SLB): tempat belajar siswa yang cacat. Jadi, kedua orang tuanya pun tak tak tahu bagaimana harus mengenalkan sebuah wawasan ilmu pengetahuan. Dan pemerintah setempat ´menafikkan´ itu. Di desa Iran saja hanya ada sekolah dasar—dan Iran pun sempat mendaftar, tetapi ia menolak lantaran buta—, dan tempatnya sangat mengenaskan. Genteng-gentengnya dikebaki bebolongan hingga kegiatan belajar-mengajar sering terganggu di saat musim hujan seperti tanaman tembakau di musim hujan—yang menanti nasib sialnya dan siap-siap untuk layu sebab daunnya tak tahan dengan tindihan kaki-kaki hujan, lalu kering dan mati. Dinding-dindingnya bukan dari gedung (tembok) melainkan gedhek1). Sudah banyak lelubangan, juga pasukan rayap suka bersemayam, di kala musim hujan. Mengenaskan. Parahnya, PemKot (Pemerintah Kota) setempat tak mau tahu dengan hal itu.
Apakah para punggawa PemKot setempat buta dan tuli dengan segala hal itu? Tapi itu tak mungkin, kalau mereka buta dan tuli tak mungkin mereka bisa mendapatkan jabatan sebagai para punggawa kota yang digaji oleh pemerintah, yang didapat dari hasil PBB (Pajak Bumi-Bangunan) dengan bersumber pada panghasilan rakyat jelata: yang bertaruh dengan peluh kuning serta berbalut sahaja. Atau karena desa Iran sulit dilalui kendaraan bermotor sebab dataran tingginya, jalan-jalannya berkerikil, serta tanahnya yang gambut.
Hari-hari Iran selalu dihabiskan di dalam rumah. Duduk di teras, menjadi aktifitas wajib baginya sambil menunggu rasa kantuk. Entahlah, apa yang terpikir di benak Iran! Dan tak satu pun yang mengetahui apa yang sebenarnya dipikir, termasuk Ibunya. Dia hanya bisa menjamah dunianya sendiri. Dunia yang suci dan bermuasal dari Ilahi. Bukannya, dunia yang dimilki oleh orang-orang yang mampu melihat alam dengan kedua bola matanya yang lembab; penuh tipu muslihat.
Dalam tidur Iran ada segumpal terdapat sebuah harapan bahwa dia dapat melihat—takkan buta lagi—isi semesta alam kelak, saat dia sudah beranjak dewasa,—seperti yang dikatakan ibunya semenjak Iran kecil, sebagai dongeng pengantar tidur. Hingga segumpal harapan itu menjelma sebuah cahaya ´keyakinan´. Yang mana, sebuah keyakinan merupakan kunci kearifan—individualitas dan sosial—bagi Tuhan, manusia, semesta. Iran yakin, itu sebuah patri, yakni cahaya putih. Cahaya yang selalu menerangi hatinya.
@@@
Tentunya, yang namanya mahkluk bernyawa pasti mengalami sebuah perubahan, fisik-psikis, seperti bunga yang mulai kuncup, lalu mekar dan akhirnya luruh ke tanah, semua itu mengalami proses dan perubahan. Mungkin itu yang dinamakan dengan siklus kehidupan, berjalan dari titik awal dan ujung-ujungnya menuju titik awal pula. Secara kodrati saja, manusia tercipta (bermuasal) dari tanah lalu mati, seperti dalam al-Kitab, tubuhnya disemayamkan dalam perut bumi kemudian hancur dan menjadi tanah lagi. Kembali ke asal.
Anehnya, Iran tak mengetahui hal itu—bahwa setiap materi yang ada di permuakaan bumi ini mengalami sebuah perubahan dan sifatnya tidak kekal—terkecuali ´energi´ yang memiliki sifat tak bisa dibuat bahkan dimusnahkan, memang eksis sejak dahulu—dalam putaran siklus kehidupan, pendapat ilmuwan. Dan Iran tetap saja tak menyadarinya itu.
Di saat Ayahnya lebih dulu menghadap Sang Tuhan sekalipun, dia tetap tenang, anteng. Tak ada rasa sedih, duka, ataupun kehilangan. Amat berbeda dari umumnya orang. Serasa hati Iran tercipta dari sebuah batu.
@@@
Saat matahari tepat berada di atas kepala, ibunya baru saja pulang dari pasar, sehabis belanja. Dengan keadaan pakaiannya yang kumal dan lusuh, dia tengah menangis tersedu-sedu. Mendengar itu, Iran bingung bercampur aneh. Ada apa dengan ibu, kata-katanya terganjal dalam bibir mulut kecil di hati. Akhirnya Iran memberanikan diri menghampirinya seraya berjalan pelan, mengibas-ibaskan tongkatnya ke arah muka supaya dia lebih mudah menuju ibunya, tanpa harus terhalang oleh benda apapun, yang berada di muka.
¨Bu, kenapa ibu menangis. Kata ibu nangis itu jelek, lalu kenapa Ibu menangis?¨ Tanya Iran heran, dengan nadanya yang serba lugu seperti anak yang masih berumur tujuh tahun padahal umurnya sudah menginjak dua puluh tahun.
Mendengar kata-kata anak semata wayangnya, dia terhentak. Aliran darahnya deras, makin deras bagai sungai musiman di musim hujan.
Ibunya naik pitam.
¨Kau ini… Apa katamu?¨ bentaknya.
Iran langsung kaget. Bingung. Tak sepertinya, Ibunya marah-marah begini. ¨Kau ini, anak tak tahu diuntung,¨ tambah Ibunya seraya menampar pipi kiri Iran. Plak…, kira-kira begitu bunyi tamparannya.
Iran tersungkur ke tanah. Dia amat kaget. ´Aduh´ hanya kata-kata itu yang tersembul dari mulutnya, mendadak. ¨Apa yang Ibu lakukan terhadapku,¨ sahutnya enteng. Tak sedikit pun dia menyadari.
Melihat anaknya tersungkur, jatuh di lantai, hati Ibunya langsung terpukul serasa ada godam yang menghantam ke dadanya. Matanya menatap kosong. Rasa penyesalan menyelubungi dirinya. Dia tak sadar dengan apa yang dilakukan terhadap anaknya, baru saja. Ibunya pun langsung bersimpuh di sisi Iran seraya memoponginya, membantu anaknya berdiri. Rasa penyesalan itu saja yang menggugah hati dan tubuhnya.
¨Apa yang Ibu lakukan terhadapku,¨ lirihnya.
Ibunya menangis sedih serasa ada sesuatu yang tergores di lubuk hatinya yang amat dalam. Rasanya pedih, pedih... Air matanya menyucur lebih deras tetapi mulutnya terkunci, yang ada hanya suara sesenggukan yang bisa di tangkap oleh kuping Iran. Kemudian Iran dibimbingnya duduk di atas kasur.
¨Nak, maafkan Ibu. Ibu hilaf. Ibu tak sengaja,¨ lirih Ibunya seraya mengelus-ngelus rambut kepala Iran dan menempelkan pada dadanya.
¨Bu, kenapa ibu menangis?¨ tanyanya lagi.
¨Nak ibu lagi ditimpa musibah besar. Ibu...¨ katanya terhenti seakan pita suara Ibunya terputus. Ia sulit untuk melanjutkan kalimat selanjutnya.
¨Ada apa bu?¨
Ibunya lebih memilih membisu sebab musibah yang ditimpanya merupakan sebuah aib, merupakan sesuatu yang amat berat, lebih berat dari gunung. Hatinya bimbang dan terguncang. Dia berat untuk berucap. Perasaannya tegang bercampur malu, apabila harus bercerita tentang musababnya menangis. Sebab tangisannya menyiratkan hati penyesalan bercampur kekesalan, atau bisa juga kegusaran bercampur pemberontakan atas apa yang menimpa. Dia menyesal bergelar janda apalagi dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Dia kesal terhadap lelaki yang telah tega memperkosanya dan gusar terhadap jalan hidupnya yang sering mengenaskan. Dia pun berontak terhadap Dzat yang menciptanya karena ketidakadilan.
¨Bu, kenapa baju ibu berbau kecut dan apek?¨ Tanya Iran, tiba-tiba, sampai ibunya merasa tersudutkan.
¨Oh...Ibu masih belum mandi ya, habis pulang dari pasar.¨ Tambahnya lugu.
Pikiran ibunya tambah kusut setelah mendengar kata-kata Iran. Dia tak tahu harus berkata apa. Dia tetap saja menangis. Air matanya selalu menetes tanpa disuruh. Tiba-tiba saja perempuan itu beranjak dari sisi Iran. Dia meninggalkan Iran sendiri di dalam kamar. Bukannya patedasan2) yang dia tuju, melainkan dapur, untuk mengambil sebilah pisau—yang permuakaan mengkarat sebab keseringan digunakan serta jarang diasah—sebagai pesan buta bagi “Raja” dari salah satu warganya.
“Iran maafkan, Ibu.”
“Ibu sudah tak sanggup.”
“Ibu sudah…”***
Lumajang, 2008

End-Note:
1). Dinding yang terbuat dari bambu. (Bhs. Jawa)

2). Tempat untuk mandi, dindingnya terbuat gedhek dan bak airnya dengan timba. (Bhs Madura)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar