Senin, 09 November 2009

Esai

MEULAH JUBUR SIGA JALAN
Oleh; Adi Winarto (De Nawar)


Kini, setiap kita menyalakan televisi maka kita aka menemukan banyak acara-acara yang mengulas masalah pribadi. Semisal infotainment yang mengabarkan perceraian pesohor, acara ‘Reality Show’ yang sering membeberkan perselingkuhan dan konflik rumah tangga. ‘Talk Show’ lepas tengah malam membahas urusan tempat tidur seperti acara ‘Masihkah Kau Mencintaiku’ bahkan peserta acara tersebut, berani buka-bukaan masalah (pribadi) keluarganya di muka ke-dua orang tuanya dan penonton. Hebohnya lagi, adalah ajang percarian jodoh atau yang lebih kita kenal dengan acara ‘Take Me/Him Out Indonesia. Dan program tersebut banyak digemari oleh pemirsa ketimbang acara-acara lain.
Dalam hal ini acara-acara itu merupakan sebuah fenomena yang janggal dalam kehidupan kita. Seperti kita tahu, yang namanya urusan pribadi merupakan kunci dari jati diri kita. Pada zaman kakek-nenek kita dahulu, yang bernama aib (negatif) wajib dijaga betul oleh setiap pribadi sebab hal itu merupakan sesuatu yang tak pantas diberitahukan kepada orang lain, bahkan harus disimpan dengan baik dan benar. Berbeda dengan zaman modern sekarang, urusan pribadi bukanlah hal yang bersifat sakral lagi. Dalam arti, secara konotasi, bukan sampah melainkan telah menjadi camilan bagi siapa saja. Terbukti dengan berita gosip, isu, rumor telah menjejali pelbagai macam media.
Terkait dengan itu, banyak orang yang menganggapnya sudah menjadi tak tabu. Dan tentunya banyak orang yang menginginkan pembangunan citra yang positif di tengah lingkungannya. Lantas pertanyaannya, perlukan pembangunan citra yang positif harus berindung dari citra yang bernilai negatif (seperti program TV tersebut)?
Seperti ungkapan M. Heideger, bahwa impersonalitas membangun motif-motif pada seseorang untuk selalu melakukan sesuatu seturut dengan harapan orang lain demi kesan diri yang positif. Kita mungkin bisa mengambil contoh perilaku peserta “Take Him/Me Out Indonesia” yang mencari muka supaya mendapatkan pasanganan jodoh. Dan tak bisa dipungkiri juga, bahwa pencarian (pasangan) jodoh tersebut merupakan hakikat kebutuhan manusia, secara intuisi. Maslow pun menyatakan dalam teori kebutuhan fisiologik (physiological needs); yang salah satunya adalah bahwa manusia membutuhkan seks dan ini merupakan kebutuhan primer manusia disamping makan, minum, dan istirahat.
Di sisi lain, program-program TV tersebut sangat berbenturan dengan budaya Sunda, dengan ungkapan meulah jubur siga jalan. Yang berarti membuka aib kepada halayak secara terang-terang, tidak kondsisonal (unconditional). Dan tak hanya budaya Sunda, yang mengajarkan istilah tersebut, budaya Madura dan Jawa pun mengenal istilah itu serta budaya-budaya lain di nusantara ini, tapi pengungkapannya hanya berbeda dalam penyebutan bahasa. Diakui ataupun tidak nilai-nilai yang diajarkan budaya tersebut sebenarnya memiliki esensi adiluhung. Yang mana, mengajarkan tentang etika (adab) dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kita harus mampu mengkontempasikan diri dengan lingkungan sekitar bukan sebaliknya.
Coba bayangkan, ketika masyarakat kita banyak yang menonton—bahkan menjadi partisipan dalam acara tersebut—program-program TV tersebut, apa jadinya! Tentunya, masyarakat digiring dengan sesuatu yang dangkal. Mungkin, kelak, akan menyebabkan masyarakat kita bebal. Sedangkan peran media elektronik yang menyiarkan program tersebut sudah mengikis fungsi media itu sendiri, dengan mengotoritaskan pada aspek komoditi. Di luar itu semua, peran media (cetak-elektronik) harus pandai-pandai dalam menayangkan acara-acaranya sehingga tak hanya meraup laba belaka saja, dari para sponsor yang mendukungnya. Tentunya, media harus lebih kritis dalam menaggapi fenomena tersebut, sebab dalam hal ini bukan cuma masyarakat kita yang dijadikan negatif objek (sebagai penonton/pemirsa) tetapi mereka akan mengalami kemunduruan dalam berpikir dan bertindak. Terbukti pendaftar 150 orang mendaftar untuk audisi acara Take Me/Him Out Indonesia dan acara itu juga ditonton rata-rata 30 persen pemirsa televisi (Kompas, 11/10/2009). Berbeda dengan di negeri adikuasa (USA) yang sudah menayangkan dahulu program sekuel “Take Me/Him Out Indonesia” yang dengan latar-belakang masyarakatnya sudah berpendidikan serta dengan budaya liberalis.
Ya, seyogianya masyarakat harus mampu mendedah program-program itu dengan berpikir kritis dan berupaya untuk selalu merefleksikan fenomena janggal itu sehingga kita menjadi masyarakat berdadab dan bermartabat. Hemat kata penulis, seharusnya masyarakat mampu menakar perubahan budaya tersebut, sehingga tidak berdampak negatif bagi regenerasi kita selanjutnya.***

1 komentar:

  1. Pa Adi aku mau ikutan cerpen tapi gak tau gimana caranya
    Trus bikin cerita kayak apa?
    Aku bingung

    BalasHapus