Senin, 23 Agustus 2010

Esai


BUTIR-BUTIR PEMIKIRAN TENTANG
KELANGSUNGAN HIDUP BUDAYA PERANCIS DAN BUDAYA MADURA DALAM PERSPEKTIF KOMPARATIF (Perancis-Madura)1

Oleh: Jean Couteau

[Amatlah sulit membandingkan situasi—dan tantangan-tantangan—yang dihadapi masing-masing kebudayaan Perancis dan kebudayaan Madura]
Kebudayaan Perancis telah lama didukung oleh suatu negara yang merupakan salah satu induk dari kebudayaan Eropa, bersusulan atau bersamaan dengan Yunani, Italia, dan kemudian Jerman dan Inggris. Bahkan boleh dikata bahwa dari akhir abad 17 sampai dengan awal abad ke-20 kebudayaan Perancis merupakan kebudayaan dominan di Eropa dan hadir mengemuka di dalam semua bidang kegiatan kultural: sastra, teater, balet, seni rupa dan filsafat. Bahkan hingga kini pemikir-pemikir Perancis menempati posisi yang utama di dalam sirkulasi ide-ide dan fashion-fashion internasional. Posmodernisme misalnya lahir di Perancis; orang-orang seperti Foucault, Baudrillard, Lyotard, Derrida dan Bourdieu adalah orang yang menulis dalam bahasa Perancis.

Situasi kebudayaan Perancis ini adalah akibat (tidak langsung) dari hegemoni Perancis di daratan Eropa pada abad-abad tersebut dan dimungkinkan oleh posisi Perancis sebagai ‘penampung’ banyak pemikir-pemikir asing yang pindah atau berlindung di situ. Antara abad ke-17 di bawah raja Louis ke-14 dan awal abad ke-20 bahasa Perancis menjadi bahasa utama kaum intelektual Eropa.
Posisi kultural dominan Perancis menyusul posisi Itali dari abad 15 sampai abad ke-17. Pada abad awal ke-17 pengaruh Belanda dan pada akhir abad ke-17 pengaruh Inggris mulai mengemuka, sedangkan pengaruh Jerman merebak melalui filsuf-filsufnya (Leibnitz, Kant, Hegel, Marx, Nietsche), sepanjang periode antara paruh kedua abad ke-18 dan awal abad ke-20. Tetapi mungkin Perancis yang selama itu paling “komplit” sumbangan kulturalnya dalam menggabungkan sastra, teater, seni rupa dan filsafat, serta filem, dalam suatu keutuhan yang unik.
Kini posisi Perancis merosot cukup drastis, terutama dari sudut linguistik. Bahasa Perancis bukan lagi bahasa diplomatik utama, dan sastra serta serta seni rupa Perancis tidak lagi merupakan kiblat dunia. Sejak akhir Perang Dunia Kedua, posisi dominan di dalam bidang kultur ditempati oleh Amerika, yang juga merupakan kekuatan ekonomi utama dunia.
Lantas apa yang menjadi penyebab dari keunggulan kultural Perancis selama berabad-abad:
 Posisi geografisnya antara dunia Mediteranea dan Dunia Eropa Utara (Lautan Utara); hal ini menjadikannya tempat pertemuan budaya, antara budaya Jermanik di Utara dan dunia Latin serta Mediteranea di Selatan. Posisi tersebut hingga kini menjadikan Perancis—bersama Jerman—negara kunci dari Uni Eropa yang tengah dibentuk ini. Tanpa Perancis, mungkin tidak ada Eropa.
 Adanya suatu kesatuan politik yang kokoh sejak kurang lebih 1000 tahun. Budaya Perancis adalah hasil dari sentralisasi politik yang telah berlangsung lama sekali, dan dibangun atas dasar hukum dan dasar kultural Latin (Roma) dan Kristen yang lebih kuno lagi.
 Adanya suatu kebijakan kultural sentralistis yang menyebarluaskan penggunaan bahasa Perancis tengah (di daerah Loire dan Paris) hingga seluruh pelosok negeri. Kebijakan kultural sentralistis itu telah sejak lama (abad ke-17) didukung oleh lembaga-lembaga resmi (Akademi Perancis) yang bertugas menstandarkan tata bahasa dan pembendaharan kata bahasa Perancis.
 Adanya suatu taraf kemajuan ekonomi yang senantiasa menempatkan Perancis di dalam kelompok negara/wilayah kaya zamannya. Julius Caesar menaklukan Gallia (Perancis) pada abad ke-1 sebelum Masehi karena kekayaan pertaniannya, dan meskipun Itali Utara (pada abad 15-16), wilayah Flams/Belanda pada abad 13 dan abad ke-16-ke-17, atau Inggris pada akhir abad ke-18, terbilang lebih maju pada waktu itu, Perancis senantiasa berada, bahkan hingga kini, di kelompok negara maju zamannya.
 Universalisme yang dianut Perancis sejak masa ‘Revolusi’ akhir abad ke-18—di dalam Deklarasi HAMnya menghapuskan segala perbedaan hukum antara kelompok, ras dan agama—telah menjadikan Perancis kiblat kaum “progressif” sedunia, terutama sepanjang abad 19 dan awal abad 20. Tak terbilang banyaknya, konon ¼ dari penduduk, pengungsi dari Polandia, Russia, Yahudi/Jerman, Eropa Tengah dan kini Timur Tengah dan Afrika, yang keturunannya, kini bermukim di Perancis. Presiden Sarkozy sendiri berayah seorang pengungsi dari Hungaria.
 Tak kurang penting, dan apapun masalah yang dihadapi Perancis, kini jaringan ekonomi sudah sedemikian padat sehingga menjamin dengan sendirinya keberlangsungan dari negara, tanpa perlu adanya seruan simbolis nasionalistis dan lain-lain.

Lalu bagaimana posisi Madura bila dibandingkan dengan Perancis:
 Madura menempati di Nusantara suatu posisi geografis yang marjinal, di pinggir pulau Jawa, pula di luar jaringan utama perdagangan, baik tradisional maupun modern.
 Wilayahnya miskin, tidak memproduksi komoditas perdagangan utama apapun selain tembako.
 Untuk mendapatkan pekerjaan, masyarakatnya terpaksa beremigrasi, ke Jawa atau ke pulau-pulau di pinggiran Nusantara.
 Sudah sangat lama—sejak zaman Trunojoyo 300 tahun yang lalu—tidak menjadi pusat pengambilan keputusan politik apapun.
Jadi, selain isolasi secara geografis yang marjinal, tidak terdapat suatu faktor pendukung apapun bagi perkembangan kebudayaan Madura sebagai kebudayaan yang kokoh di kancah nasional modern Indonesia. Justru sebaliknya, Madura tidak mempunyai resistensi apapun terhadap upaya sentralisasi yang berasal dari luar Madura; kegiatan ekonomi utama berada di luar Madura, pusat keputusan politik berada di Surabaya (Jawa Timur), Jakarta dsb sehingga masyarakat Madura transmigrasi ke luar terus-menerus dan ihwal ini yang memperlemah sumber daya manusia lokal Madura.
Sesungguhnya Posisi Madura tidak berbeda dengan posisi daerah-daerah Perancis hingga abad ke-20, yang harus berhadapan dengan pemerintahan yang sentralistis dalam segala bidang: politik, ekonomi dan kultural. Pemerintah Perancis, sedini zaman Louis ke-14 dan lebih-lebih sesudah Revolusi Perancis, menerapkan kebijakan Jacobin, yaitu memusatkan semua proses keputusan politik, ekonomi dan kultural ke dalam tangan pemerintah pusat. Akibatnya, kebudayaan-kebudayaan daerah (Breton, Occitan, Korsika, Flams dan Basque) telah merosot secara drastis sepanjang abad-abad ke19 dan ke-20, sehingga (kini) hanya tinggal sisa-sisanya dan amat sulit untuk direvitalisasikan.
Sikap pemerintah Indonesia tidak berbeda dengan sikap pemerintah Perancis. Meskipun bersemboyan lebih plural dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” itu, tak tersangkal bahwa sentralisme politik, ekonomi dan kultural telah melandasi semua proses keputusan politik, ekonomi dan sosial Indonesia selama puluhan tahun. Kebhinnekaan relatif dipertahankan, tetapi hanya berkaitan dengan agama, bukan dengan kultur (budaya).
Sentralisme politik dan kultural itu akibat (tidak langsung) situasi pasca-proklamasi, ketika Republik RI yang baru diumumkan itu terancam desintegrasi, yang merupakan manipulasi Belanda. Ideologi sentralis dan sentralisasi terkait telah berlaku mutlak hingga akhir periode Orde Baru pada tahun 1998. Namun kebijakan Orde Baru pada akhirnya menimbulkan reaksi yang tidak terelakan, pula memaksakan sentralisasi politik dan melakukan manipulasi ideologis yang “memaksakan” “kesatuan” bangsa, dan sebaliknya kebijakan ekonominya—represif—cenderung menimbulkan reaksi “separatis” atau etno-sentris di seluruh Nusantara, terutama di wilayah-wilayah pinggirnya: Aceh, Papua, Timtim (separatis), Bali, Kalimantan, Minangkabau, Bali (etno-sentris) dll.
Maka kini resim Reformasi berhadapan dengan situasi dilematis: demi menjaga “persatuan” negara, ia harus menyerahkan sebagian dari kedaulatan politik, ekonomi, dan kultural kepada aneka daerah dan masyarakat yang membentuk Nusantara, tetapi ia harus malakukan hal ini TANPA membiarkan penyerahan kedaulatan itu berkembang “out of control” (tak terkendali) dan mengancam persatuan bangsa. Pendeknya, kini pemerintah dan kekuatan sosial lainnya harus mengimbangi ekses-ekses dari sentralisasi masa lalu; harus membentuk suatu Nusantara yang lebih “Bhinneka” dari pada “Tunggal”, yakni “bersatu” daripada “menyatu”—sebagaimana diupayakan pada waktu Orde Baru. Dan justru hal ini harus dilakukan demi menjaga keutuhan jangka panjang negara dan bangsa Indonesia.
Di tengah perkembangan ini, Madura menempati posisi tersendiri: kedaulatan politik tertentu telah dipulihkan dalam rangka kebijakan desentralisasi, tetapi desentralisasi belum memungkinkan masyarakat Madura untuk sepenuhnya mendapatkan otonomi kulturalnya. Karena Pulau Madura adalah bagian dari Jawa Timur dimana dia masyarakatnya tetap merupakan suatu minoritas. Jadi alat yang dimilikinya untuk menjalankan kebijakan kultural yang pro-Madura terbatas. Berbeda dengan wilayah dimana daerah administratif provinsi bersifat mono-etnis dan identik dengan wilayah geografis yang jelas–seperti misalnya di Bali.
Di dalam situasi seperti ini, hanya inisiatif-inisiatif pribadi yang dapat diharapkan menjadi efektif. Perbandingannya dengan Perancis di dalam hal ini tidak tepat, karena di Perancis Negara merupakan pendukung utama dari kegiatan kultural, melalui aneka jenis subsidi kepada asosiasi, kota, sekolah, museum teater dan lain-lain. Tetapi di masa lalu, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di seluruh negeri muncul cendekiawan yang secara sistematis melalukan inventarisasi dari sisa kebudayaaan-kebudayaan daerah yang masih survive.
Terkait itu semua, Madura membutuhkan tindakan serupa, yang mampu melestarikan dan memperkuat memori lokal. Dan janganlah terbatas pada bahasa saja. Hendaknya melingkupi ruang kultural yang seluas-luasnya. Kini, kita mempunyai teknik memorisasi digital yang murah dan mudah dipakai. Jadi, kontruksi tersebut hendaknya dilakukan, dengan alat digital; sebagai media inventarisasi sistematis ataupun dengan perekaman terkait, maka semua jenis kegiatan kultural yang masih hidup—sudah hampir punah, di wilayah hunian Madura: seperti dalang, tarian-tarian, musik, puisi tradisional, cerita rakyat, masih bisa diselamatkan.***

Catatan Kaki; 1. Artikel tersebut disajikan dalam acara Seminar Budaya Internasional (10/08/2010) di Islamic Center, Pamekasan. Pula, artikel tersebut telah disempurnakan (edit) oleh Adi Winarto atas persetujuan Jean Couteau dan tak sedikitpun mengubah originlitas (esensi) teks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar