Sabtu, 25 Desember 2010

Esai


Refleksi Hari Ibu ke-82 (22 Desember)
Ibu, Islam, Bangsa
Adi Winarto

Pernahkah membayangkan, seandainya Hawa tak membujuk Adam untuk memakan khuldi di surga? Tentu dunia mengalami absurditas. Tak ada dinamika dan harmonika alam semesta. Tentu tak ada kehidupan bangsa manusia dan seisinya. Namun, perlu diingat, aksi Hawa bukan ‘sebuah kejahatan’ dalam membujuk Adam, melainkan reifikasi[1] yakni membuat nyata sesuatu yang sebenarnya abstrak. Dalam arti, aksi Hawa bukanlah malapetaka, melainkan berkah dari Tuhan supaya mereka bisa menjalankan sisi kemanusiaanya di dunia (al insan al khatta’ wa al nisyan).  
Di sisi lain, Hawa (feminis) bukan biang keladi dari sebuah (muasal) kejahatan di muka bumi ini, seperti yang dititahkan para semitisme radikal atau konservatif. Bahwa perempuan merupakan biang fitnah atau pemantik ke liang neraka hingga akhirnya—kini, perempuan selalu mendiami kaum kelas 2, inferior, sesudah garis laki-laki (paternalis atau patriakh).
Padahal kalau ditelisik, bahkan dijuntai untuk menemukan pangkal sarinya, perempuan merupakan balancer dalam kehidupan kita. Adam yang diturunkan Tuhannya ke muka bumi ini mampu menemukan pangkal cahaya (al nur al tharaf) dalam menjaga keseimbangan dunia (rahmatan lil ‘alamin). Sehingga bumi bisa dikebaki manusia hingga kini.
Di samping itu, saat bangsa kita berada di ketiak kolonialisme para pemuda(di) juga turut serta dalam merebut kemerdekaan.  Pada  tanggal 28 Oktober 1928  digelorakan  dalam Kongres  Pemuda  Indonesia,  menggugah  semangat  para pimpinan  perkumpulan  kaum  perempuan  untuk  mempersatukan  diri dalam satu  kesatuan  wadah  mandiri.  Pada  saat itu sebagian besar perkumpulan masih merupakan bagian dari organisasi pemuda pejuang pergerakan bangsa. Selanjutnya, atas prakarsa pejuang pemudi pergerakan  kemerdekaan  pada tanggal 22-25 Desember  1928 diselenggarakan Kongres  Perempuan Indonesia  yang  pertama kali  di  Yogyakarta.  Salah  satu  keputusannya  adalah  di bentuknya satu  organisasi  federasi  yang  mandiri  dengan nama  Perikatan  Perkoempoelan  Perempoean  Indonesia (PPPI). Melalui PPPI semangat juang kaum perempuan untuk  secara  bersama-sama kaum  Laki-laki berjuang  meningkatkan  harkat  dan  martabat bangsa Indonesia  menjadi  bangsa  yang  merdeka, dan  berjuang bersama-sama  kaum  perempuan  untuk  meningkatkan  harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju.
Baru pada tahun 1929 Indonesia  (PPPI)  berganti  nama  menjadi  Perikatan Perkoempoelan  Istri  Indonesia  (PPII). Tahun  1935 diadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut, disamping  berhasil membentuk  Badan  Kongres Perempuan  Indonesia,  juga  menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan  mendidik  generasi  baru  yang  lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya. Akhirnya, pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai “Hari IBU.” Lalu dikukuhkan Pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari Nasional (baca: Hari IBU).
Ironisnya, Hari Ibu kini, hanya bergelut dalam seremoni semata (bahkan jarang menjadi acara seremonial). Tanpa ada pengejawentahkan makna Hari Ibu demi revitalisasi sosial demokrat dengan mengubah stigma/presepsi terhadap anasir-anasir struktural sosial; system patriakh, yang masih kaku. Tak ada investasi wacana feminisme—yang sering dianggap budaya barat—bagi kaum muda. Bahkan, sangat disayangkan sekali, saat generasi bangsa ini lupa (acuh tak acuh) terhadap nilai-nilai nasionalisme yang dibangun kaum perempuan dalam merebut kemerdekaan.
Dan satu hal lagi yang tak bisa terlupakan, bahwa perebutan kemerdekaan bangsa ini pun peran serta kaum perempuan. Termasuk peran pembangunan bangsa ini, pasca-kemerdekaan. Bangsa ini sering anesthesia terhadap sosok perempuan. Yang mana, perempuan sering mengalami underpressure dalam sruktural sosial. Perempuan sering menjadi korban kekerasan, pelecehan, dan justru diskrimantif dalam bidang pekerjaan. Semisal contoh kecilnya saja, pada kehidupan desa, perempuan selalu menempati kasta ter-bawah. Upah kaum pria buruh tani lebih besar daripada upah kaum perempuan buruh tani. Meskipun, realitas yang terjadi, buruh tani (kaum pria) memiliki peran yang cukup signifikan. Seperti membajak sawah yang pekerjaannya cukup berat, ketimbang menyiangi pupuk, menyabit rumput liar, dsb. Akan tetapi, ihwal tersebut bukanlah kendala dalam menyederajatkan status sosial antara pria dan perempuan. Seperti yang diujarkan Mujadid Islam Syaikh Muhammad Abduh[2] (1849-1905) dalam menyederajatkan kaum pria dan perempuan. Bahwa Islam pun mengakui keseteraan pria dan perempuan dalam hak dan kewajibannya. Allah berfirman: “Para perempuan memunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik.”[3] Maka dari itu, kemesraan ajaran agama apapun dengan ikatan kebangsaan, keerbukaan, dan kebebasan yang menjadi ciri khas bangsa, ormas-ormas agama di Indonesia sebelum kemerdekaan 1945 yang memunyai sumbangsih besar pula dalam melahirkan kemerdekaan RI. Pula, dengan rahim para perempuan (baca: ibu) bangsa ini mampu melahirkan muslim feminis[4] seperti M. Quraish Shihab (dalam bukunya; Rasionalitas Al-Quran: Studi Kritis atas Tafsir Mannar), Gus Dur (dalam bukunya sering menyebutnya dengan “Islam Progresif”), Mohamad Nasution (dalam bukunya; Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktzilah, Akal Wahyu dalam Islam) yang akan sering menggerus sistem patriakh yang telah sporadis hingga membuat kaum perempuan tak tertindas (inferioritas)—entah secara fisik maupun psikis—. Tambahnya, muslim feminis merupakan sosok pria (yang beragama islam) yang memiliki kepedulian terhadap , penghormatan, penghargaan terhadap perempuan.
Hemat kata, di Hari Ibu sekarang ini marilah kita menghormati, bahkan peduli, terhadap kaum perempuan, entah mereka seorang istri, teman/pacar, PSK, pengemis, kaum tunadaksa dsb, sehigganya merupakan sesosok ibu yang telah melahirkan kita. Dengan peduli, tentu ikut berperan serta, terhadap problema ke-perempuan-an, niscaya peradaban negeri ini bisa bermartabat dan beradab. Dan bangsa kita menjadi kokoh, menjadi bangsa yang besar—seperti yag dicita-citakan founding father bangsa ini—. Seperti pesan agung baginda Muhammad SAW: “al mar’atu ‘imadul bilad (perempuan tiang negara). Dengan menghargai ibu (sosok kaum perempuan) berarti kita telah menyongsong NKRI untuk lebih ideal dalam menegakkan negara demokrasi, dan menjungjung falsafah negara kita: Bhineka Tunggal Ika. Selamat Hari Ibu.***

 


[1] John G. Stackhouse, Jr dalam buku; Bisakah Tuhan Dipercaya, hal.35.

[2] Kitab/buku  Al Amal Al Kamilah, vol. 5, hal. 160
[3] QS. A-Baqarah (2): 228.
[4] Meminjam istilah M. Guntur Romli, dalam buku Muslim Feminis, hal 153.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar