Sabtu, 25 Desember 2010

Cerpen

NADA DI PELIPIS PRAHARA
Oleh; Adi Winarto dan Arief Rusli
#DO
Nada baru saja dimulai. Awal dari pengembaraan imaji. Satu persatu tersusun bagai molekul-molekul dalam bejana. Tumpang tindih seakan gundukan pasir. Mengikuti irama sepi. Hanya ada syair berbaris mengekori tangga nada: DO-RE-MI…
Di sini, aku masih sendiri. Memeluk gitar tua. Serasa kekasih di peraduan sebagai teman setia. Udara membisu. Bulan menggagu. Semua diam. Tak ada respon. Hati pun mulai merasakan getaran nada dalam jiwa. Terkuak melalui goa keramat. Sebagai penghibur untuk kesedihan.
Kopi menjadi teman setia, sebagai pendengar. Juga, sebatang rokok kretek sangat setia mendampingi. Lalu—
Di manakah peri mungilku bersemayam malam ini? Dengan siapa ia bergulung, melipat tubuhnya, di atas ranjang?
Gadisku—yang dulu sering kusebut peri mungil, berambut kelambu malam. Wajah bersinar bagai rembulan di tanggal lima-belas bulan Jawa. Bibir yang kuncup penuh isyarat misteri, bagai lirih angin menyibak kuping-kuping pohon. Sering meluncurkan pepatah di kotak kredo. Pula, gundukan-gundukan, di batang tubuhnya, sering memerangkapku terhadap kota hasrat; bermata benderang dan berhati batu karang. Walau kadang sering membuatku pikun: siapa aku dan kau…? Hingga aku—
“Jangan pernah tinggalkan aku,” ucapmu harap.
Saat kita masih sering bergumul dengan pasir putih di Papuma. Kadang, kaki-kaki kita hentakkan pada gemuruh ombak laut, sebagai pelepas rindu. Riang kegirangan. Kadang, kamu memaksaku bercumbu di balik punggung batu hitam besar hingga ludah terasa kering, dalam mulut goa kita. Kadang, kamu memaksa aku untuk membuat gundukan bukit kecil dari tumpukan pasir. Semua itu, kusuka.
Ucapmu itu tampak serupa dengan DO. Nada rendah. Bermakna penuh harapan di altar hasrat. Menuju labirin keyakinan/iman. Demi mimpi realis.
“Kasih, jangan khawatir. Hidup bukan permainan dadu. Aku berjanji, takkan meninggalkanmu…”
Janji yang akan membawaku terbang ke kota suci. Menguatkan tekad. Menerobos aral rintangan, di dunia yang penuh lumpur dosa.
Namun, kenapa mimpi tidak selalu menjadi kenyataan?
Tak ada satupun di antara kita yang menginginkan sebuah kepahitan dalam bahtera hidup. Semua pasti ingin bahagia. Anehnya, bahagia—menurutku—seperti sebuah ketukan nada DO. Rendah. Dan sulit diterka. Bagai kedipan mata. Amat sekejap. Mungkin begitu.
##RE
“Mengapa sesuatu itu sangat berharga, jikalau sesuatu itu lenyap dari genggaman?” Bisik hatiku.
Aku mematung. Malam menggantung. Suasana menjadi kosong. Hening. Menyelimuti diri. Di samping itu, udara malam tengah merayu lelubangan kecil di tubuh. Sedikit demi sedikit. Menyelusup. Lalu menusuk jantung. Perih. Serasa luka tersiram air garam. Air bening yang berkubang dalam mutiara tertumpah. Merayapi pipi, dagu, dan jatuh di perut gitar usang.
Detik berlalu menuju menit. Menit hengkang berganti jam. Waktu terus bergilir. Perasaanku pun menjadi hambar.
Rasa masih tetap bertengger dalam dada, masih asyik bersemayam. Memaksa otak untuk terus berputar. Tak sanggup membendung air mata. Sampai-sampai aku ingat: “mas, jangan bersedih…! Semua ini adalah takdir…?” Pinta kekasih, di pertemuan terakhir kita.
Kata-kata itu masih menjadi mantra, bagiku. Seperti puisi Sutardji Calzoum Bachri: yang mengembalikan kata pada awal mulanya kata, yakni mantra. Kata-kata itu masih melekat, melamat, dalam benak. Sebagai tulisan rajah. Keramat.
Pernah kucoba untuk menghapus semua itu, bahkan melenyapkan. Namun sia-sia. Kodratinya, manusia masih memunyai memori yang cukup kuat untuk mengingat masa lalu. Ada betulnya juga, masa lalu adalah harta karun yang sangat berharga; ujar teman sepermainan-ku poker.
Tapi, bagiku, masa lalu adalah kubangan hitam yang mengambangkan tubuh mungilku. Tidak telentang, tapi telungkup, di permuakaan air dalam ember.
Aku telungkup pada ketiak kelelakianku: dengan tertawa terbahak-bahak. Aku ini lelaki. Simboliknya tidak cengeng ataupun merengek-rengek. Terkecuali malam tiba. Saat bersenandung kesunyian dan saat memeluk gitar dengan mesra. Seperti malam, kini.


###MI
Kamu adalah wanita. Tentu telah menjadi seorang istri, dari suami yang menikahimu. Kamu bukanlah bayangan hitamku lagi. Yang setia menamaniku saat melangkah di bawah sinar atau cahaya. Tapi, kamu adalah wanita yang sudah memiliki bintang. Bintang yang akan membimbingmu pada kota ke-bahagia-an; meraih mimpi indah di atas hubungan halal. Apa mungkin kamu masih ragu dengan bintangmu? Atau bintangmu masih tertutup awan hitam?
“Jangan peluk aku sangat erat.” Sanggahku.
Tubuhku mengelak. Terhempas. Melepas. Tapi aku tak lari.
“Kamu tahu aku, malam ini. Aku bukan milikmu lagi. Kamu juga bukan milikku lagi.” Tambahku.
Tahun lalu, kamu memanggilku dengan pera. Waktu itu, kita sering bercanda. Melempar kata-kata indah dengan angin. Bahkan mengejar debu yang beterbangan, di pinggir sungai. Aku suka. Di kota ini, matahari sudah membuatmu lebih putih. Dibandingkan kini. Wajahmu tampak hitam. Redup. Mungkin karena kita lama tak berjumpa. Atau—
Aku sering melihat wajahmu dari bilik matahari, saat kamu kekasihku. Wajah biru yang terpatri, lantaran kamu adalah laut. Laut yang sering menenggelamkan tubuhku di gelombang hasrat. Berharap melepas kerinduan yang menggunung. Aku amat takjub. Karena kamu adalah gadis yang mampu membaca aku.
“Mas, mengapa kau mengelak pelukanku?” Tanyamu heran.
Aku hanya tercenung. Tanpa gerak sedikitpun.
Tapi, malam ini, mengapa matamu berkata tak bahagia? Kamu seperti martir yang mengorbankan tubuh untuk jiwa. Jiwamu akan meranggas, bagai dedaunan jati di musim kemarau. Aku tak sanggup melihat jiwamu yang meranggas. Bila jiwamu meranggas, pastilah tubuhmu kering. Sengsara. Salahkah jika aku mentahbiskan diri sebagai iblis penggoda? Kuyakin, aku adalah nikmat yang terlarang yang selalu kamu impikan. Dan aku menginginkanmu. Berapapun usiamu dan bagaimanapun tubuhmu: aku akan tetap menyayangimu, selamanya.
Malam ini, saat bulan bersembunyi di punggung awan, kamu malah memberikan jawaban grambyang atas pertanyaan raguku. Mulai A sampai Z. Lengkap. “Aku sudah isteri orang,” tegasmu. Aku menatapmu kosong. Tak mengerti dengan apa yang kamu mengerti. Kamu mulai menunjukkan sifatmu yang asli. Yakni sifat air. Di mana pun kamu berpijak: kamu tetaplah air bagiku. Lalu kamu bilang: “Jangan larang aku untuk selalu menyayangimu.”
Aku kaget. Terpaku. Terseret ke pelukanmu. Terasa ada yang memaksa. Pelukan erat. Serasa nada MI; nada yang harus lebih tinggi daripada DO dan RE.***

Bondowoso-Jember 2010

Adi Winarto, penggiat sastra, mantan Koord. Kajian Pojok NJIC serta mahasiswa FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi Univesitas Muhammadiyah Jember.
Arief Rusli, pelukis, mantan Ketua Umum UKM PALAPA (2007-2008), mahasiswa F-MIPA Jurusan  Fisika Universitas Jember.  

Posted at Radar Jember (Jawa Pos Group)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar