Sabtu, 09 Juni 2012

Esai


Menikah Itu Dosa


Satu malam hening serta bisikan angin dingin, teman-teman akrab saya bertutur kisah tentang pernikahannya. Katanya, menikah itu pahala, anugerah, dsb. Tak pelak dari mereka menunjukkan suatu raut yang amat bahagia bahkan bangga, bahwa menikah adalah proses pen-dewasa-an diri terhadap lingkungan. Pula, sebaliknya bagi orang yang belum menikah terklasifikasi sebagai “bocah” {batokne pecah (falsafah jawa): pikirannya pecah}.
Berbicara bocah tentu akan menuai bias makna. Kata bocah dianggapnya masih kanak. Di mana pada fase tersebut ia masih belum menemukan jati-dirinya, eksistensialisme. Ia hanya suka bereksplorasi bahkan mengeksploitasi atas diri dan tubuhnya. Ia berani coba-coba terhadap sesuatu yang bahaya pada dirinya karena ia masih belum berpikir jernih. Maka dari itu, di fase tersebut peran orang-tua sangat berarti dalam kehidupannya, sebagai stimulasi atas diri dan kehidupannya.
Di sisi lain, indikasi bocah menurut falsafah jawa hanya menitik-beratkan pada usia anak-anak hingga remaja bahkan—bisa pula—bagi anda yang belum menikah akan terklasifikasi dalam “bocah,” inklusif falsafah jawa. Padahal kalau ditelisik lebih lanjut, menurut psikologi, masa anak-anak, remaja, dan dewasa memunyai evaluasi yang cukup signifikan. Mulai dari segi umur, organ-organ tubuh, serta prilakunya. 
Namun ada suatu hal yang perlu diingat bahwa menikah ataupun tidak adalah pilihan tiap individu. Jadi menikah bukan jalan satu-satunya untuk mencapai kebahagian maupun kedewasaan melainkan sebatas asumsi normatif. Hal ini terkait dengan faktor sejarah manusia. Apalagi jejak sejarah tragedi sodom-gomora menjadi momok bagi umumnya hingga masa kini. Tragedi itu seakan membawa manusia ke jurang kehancuran. Dan naif—rasanya—jika di antara kita yang masih belum menikah, secara diktum konvensional.
Memang pernikahan itu adalah salah satu jalan untuk meneruskan sejarah manusia. Tak pelak prosesi pernikahan selalu bersifat sakral bagi halayak. Mulai dari proses ta’aruf (tunangan) hingga ‘akdatun nikah (akad pernikahan). Tapi ada yang terlupa bahwa pernikahan itu bukan semata-mata untuk menggapai pahala (religiusitas), bahagia bahkan pen-dewasa-an (status sosial). Melainkan sebagai jalur eksistensial atas diri dan lingkungan. Perihal ini bersifat kondisional dan tak dipungkiri hanya teorisasi sosial peradaban manusia. Idealnya, status sosial manusia dinilai dari status ber-keluarga. Siapapun anda dan apapun jabatan anda halayak akan tetap menafikkan eksistensi anda, apabila anda masih belum nikah. Maka dari itu me-nikah itu pahala tapi dosa besar bagi pasangan yang tak membahagiakannya.*** 


http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/05/27/menikah-itu-dosa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar