Selasa, 15 Mei 2012

Anak, Muara Bahagia

Gambar ini diunduh dari http://www.family.ghiboo.com
Cukup menarik membaca warta; “Belanda Juara Dunia Mendidik Anak” di  Radio Nederland Wereldomroep (21/03/2012). Yang mana peran orangtua telah memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan anak dalam menyalurkan cipta-rasa-karsanya. Seperti laporan utamanya, peran orangtua bukan lagi sebagai hakim di mata anak. Ia tak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Justru ia lebih arif-bijaksana dalam berkomunikasi. Sengaja menyejajarkan statusnya. Anak diajak berkomunikasi dalam memecahkan segala problema yang dialaminya. Dalam menanamkan nilai kesadaran dalam tiap perilakunya. Menumbuhkan refleksi dan kontemplasi atas perilakunya. Bahkan dalam warta itu, Ido Weijers, Pedagog dan Guru Besar Perlindungan Anak, melihat perubahan besar dalam mendidik anak. Tak ada lagi otoriter maupun radikal bahkan menjustifikasi. 

Dunia anak adalah dunia eksplorasi. Alias suka mencoba-coba dalam segala hal. Mencoba mengenali sesuatu yang tak diketahuinya. Dalam falsafah jawa ‘anak’ dikenal dengan istilah “bocah:” batokne pecah (pikirannya masih pecah/semrawut). Pantas saja fase ini lebih mendorong anak pada perilaku agresif sebab ia tak tahu akibat atau resiko perilakunya. Semisal berbohong atas perilaku negatif yang dilakukannya, suka berkelahi dengan temannya, bahkan mencuri dsb. Dan tak bisa dipungkiri, anak berhak dihukum dengan sewajarnya, tanpa berlebihan. Semisal tak mendapatkan hadiah di ulang tahunnya dsb, sebagai ganjaran atas perilakunya yang negatif.
Di sini peran orangtua sangat vital dalam mencermati perilaku anak hingga ia dewasa kelak. Selama ini kebanyakan orangtua—dengan mudah—menghukum anak-anaknya atas perilakunya tanpa memberitahu alasan lebih dahulu hingga mereka paranoia. Pula bisa mengerdilkan dirinya lalu berujung tak percaya diri atas eksistensi dirinya. Sebab bagaimanapun konsep diri sangatlah penting dalam mendidik anak. Perihal inilah yang harus dijadikan patokan bagi para ibu maupun pengasuh anak (baby sitter) dalam mendidik. Sebab fase men-didik pada anak merupakan faktor utama dalam membangun eksistensinya. Yang mana semua itu hanya bisa diraih dengan kemampuan kreatifitasnya. Menurut Maslow (Schultz, 1991) bahwa kreativitas disamakan dengan daya cipta-daya khayal naif yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang tidak berprasangka, dan langsung melihat kepada hal-hal atau bersikap asertif. Kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seorang anak dari pengaktualisasian dirinya.
Perihal ini yang harus menjadi pemantik orangtua, khususunya para ibu, dalam mengembangkan aktualisasi anak-anaknya. Tak penting ia wanita karir maupun ibu rumah tangga. Terbukti ibu-ibu di Belanda yang rata-rata perempuan karir (lihat Dutch Daily News, 11/01/2012), bisa mendukung anak-anaknya dalam berprestasi. Dan menurut Ido Weijers dalam penelitiannya; waktu yang diluangkan orangtua untuk perawatan dan pendidikan anak, berlipat ganda. Pun Weijers menegaskan, skor Belanda bahkan yang terbaik berdasarkan penelitian serupa yang dilakukan organisasi anak Unicef di antara 22 negara makmur. Terbukti Belanda mendapatkan posisi ke-4 negara terbahagia dengan individu yang percaya diri (optimis), kesehatan mental-fisik, keamanan (kenyamanan) bekerja dan keluarga yang stabil. Maka dari itu, di sini pentingnya mengenali konsep diri yang optimis dalam mengahadapi kompleksitas hidup. Lebih-lebih bisa menjadi dirinya sendiri. Tanpa harus mengalami represif (tak bahagia) dengan kondisi sosial-ekonomi di modernisme. Akhir kata, seperti ungkapan filsuf Desiderius Erasmus hal yang lebih baik dari kebahagiaan adalah keinginan menjadi diri sendiri. Dengan menjadi diri sendiri berarti kita telah menjadi orang bahagia dan secara otomatis keluarga (baca: anak), lingkungan eksternal kita turut bahagia.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar