Rabu, 31 Desember 2008

Esai


Koherensi Teologis: Idul Adha dan Natal Yang Berdekatan

Dilihat dari hitungan hari, Idul Adha dan Natal jatuh pada waktu yang relatif berdekatan: kurang lebih enam belas hari. Sebagai tradisi ritual suci, kedekatan Idul Adha dan Natal, seyogianya patut untuk kita renungkan. Dalam pada itu, kedekatan hari besar keduanya syarat memiliki misi yang mirip, antara tradisi Muslim dan Kristiani, yakni penyemaian kasih-sayang (Illah) tak terbatas yang terkandung pada kedua agama. Lebihnya, ritual tersebut merupakan momen penting bagi Muslim dan Kristiani dalam merefleksikannya, pula manifestasi entitas spiritual di dalam ritual tersebut.
Idul Adha, bagi Muslim, bukan hanya sebatas ritual penyembelihan hewan kurban saja, melainkan sebuah kaca atau representasi (falsafati) bagi umat muslim dalam mengurbankan rasa hewaniahnya yang liar/buas (baca: tamak) seperti pendapat Ibn Qayyimal al-Jauziah bahwa manusia terdiri dari jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah). Dan momen Idul Adha kali ini (1429 H/2008 M) patut dijadikan refleksi.
Terkait dengan itu, peristiwa Ibrahim yang diperintahkan Ilahi untuk melakukan ritual penyembelihan Ismail, putranya. Dan ihwal demikian menjadi syariat amaliyah dalam perayaan kurban (Idul Adha), yang dilakukan di bulan Dzulhijjah (Lihat QS. as-Shaffat: 107). Peristiwa tersebut meninggalkan pesan tentang kepatuhan, ketulusan, keikhlasan dan spirit untuk berkurban yang berefleksi terhadap sesosok Ibrahim as.
Disamping itu, Natal bagi Kristiani bukan sekedar memperingati kelahiran Yesus Kristus, melainkan sebuah panggilan suci (rohani) terhadapnya supaya mereka membalik arah di dalam hidupnya, dalam menempuh kebajikan. Inilah pengharapan yang sesungguhnya dalam memaknai Natal tahun ini, bukannya sekadar sibuk memasang pohon cemara, bukan sekedar liburan wisata, bukan pula sekadar membeli atau memberi hadiah. Namun lebih dari itu, ada esensi “Terang” yang bersinar—yang tersirat. Yakni sebuah panggilan dari-Nya. Yesus lahir memberi sinar “Terang” bagi semesta dan umat manusia (Kristiani), yang mengarahkan kehidupannya, kembali di jalan-Nya. Pula sebagai “Juru Penyelamat atau Almasih” bagi Kristiani.
Dari kedua hal di atas kita bisa menarik benang merah bahwa ritual keagamaan Idul Adha dan Natal masing-masing memunyai kemiripan “misi agung,” yang mampu mengarahkan atau memandu manusia mencapai kebahagian dan kesehjateraan umat manusia dan semesta, baik secara vertikal maupun horisontal. Tanpa harus ada lagi ketidakadilan, kekerasan dan pembunuhan atas nama agama; yang memunyai sifat isolasionis, konfrontasionis, dan kebencian. (David Lochead: 1988)

Ritual Bermisi Agung
Kita sering melihat atau menonton ketidakadilan, kekerasan, peperangan yang mengatasnamakan agama, entah itu melalui media cetak ataupun elektronik, seperti yang terjadi dua pekan lalu di Mumbai India (27-11-2008). Penyerangan dan pemboman yang dilancarkan oleh Deccan Mujahid terhadap warga sipil di beberapa daerah India, dianggapnya sebuah jihad (ritual suci). Juga para lakon “Trio Bom Bali” yang bulan kemarin baru saja dieksekusi mati dielu-elukan sebagai mujahidin—yang dianggap mati syahid atau (mungkin saja) martir—. Padahal aksi itu meninggalkan ratapan (nestapa) bagi orang-orang yang memiliki tali persaudaraan, pertemanan, dan perasaan (ke)manusia(an)? Astaghfirullah.
Lantas pertanyaanya, kenapa umat beragama (theis) sering bertindak buas/liar seperti sifat naturalis hewani hingga sebuah ajaran dalam agama menyisakan duka, lara, nestapa bagi masyarakat—pemeluk agama lain? Apa mungkin (kebanyakan) umat beragama sebatas berpedoman (berpaham) dengan taklid buta, yang percaya begitu saja terhadap sebuah ajaran agama atau sebatas menghafal ajaran-ajarannya, tanpa harus mengerti hakikatnya? Untuk menjawab itu semua di saat inilah, tepatnya, ritual keagamaan (Idul Adha dan Natal) patut dijadikan sebuah pelita yang terang-benderang bagi para pemeluknya sehingga mampu menerangi setiap individual maupun sosial, khususnya. Dan membuat semesta raya menjadi cerah dengan kedamaian dan kesejahteraan. Pula, sebagai khasanah pluralitas agama di nusantara dan seluruh dunia demi memupuk rasa integritas dan solidaritas antar suku, ras dan bangsa, serta menjunjung tinggi nilai toleran dalam perbedaan keyakinan dan kepercayaan.
Hakikatnya, tradisi Idul Adha dan Natal memiliki pesan moral utilitarisme secara koherensi teologis. Yakni dual-dogmatis: panggilan suci dan (ke)sukacita(an). Pertama, panggilan suci: yang bersifat ruhiyah (spiritualis), yang berarti, merupakan asas pokok dalam pencitraan manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini. Diakui ataupun tidak yang namanya sesosok pemimpin harus mampu mencitrakan kepemimpinannya dalam melakukan berbagai hal.
Terkait dengan itu, Ibrahim yang saat itu menjadi publik figur pada masanya dengan rela dan ikhlas harus memenuhi panggilan Tuhan-Nya untuk membunuh (baca: mengurbankan) Ismail, walaupun ini sangat memberatkan baginya. Namun dibalik kepatuhan (dibaca: ketaqwaan) beliau, Tuhan berkehendak lain dan menguji keimanan utusan-Nya (Ibrahim) di luar logikanya, dengan menggantikan Ismail (sebagai kurban) dengan seekor kambing. Dia adalah cahaya, petunjuk (penuntun) dan selalu memberikan (jalan) yang terbaik pada umat-Nya. Apa yang dikandungnya adalah benar.
Sedangkan Natal, perspektif umat Kristiani, dihormati sebagai “Sang Penebus Dosa.” Umat Kristiani juga melihat pentingnya momen kelahiran Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus lahir di sebuah kandang. Orang tuanya, Maria dan Yusuf, termasuk kalangan rakyat jelata dan hidup sederhana (Injil Lukas, 2: 4-7). Di sini, makna Natal tersirat sebagai suatu ajakan untuk hidup bersahaja dan rasa solidaritas tinggi terhadap kaum miskin dan lemah; terutama dalam rangka berbuat-baik, tidak berkeras hati, dan selalu berpihak pada orang kecil, serta tidak memberi ruang pada kebencian dan berani berkurban demi nilai humanisme. Yesus pun menyerukan kepada Kristiani; “Di dalam kemah-Nya, aku akan mempersembahkan kurban dengan sukaria.” (Mazmur 27: 6)
Mengingat semua dari itu, panggilan suci tersebut menyiratkan ‘muatan mulia’ bagi Muslim dan Kristiani juga untuk menaggalkan (baca: melenyapkan) sifat hewani—segera—yang bersemayam dalam tubuh manusia dengan merealisasikan makna ritual (Idul Adha dan Natal) dengan merekontruks sikap-perilaku dalam tataran kehidupan pluralis, secara horizontal dan indikatif vertikal, yang beradab dan beretika sehingga mampu menihilkan ketamakan (individualistis), materialis (kapitalis), dan anarkis.
Kedua, (ke)sukacita(an), seyogianya termanifestasikan, ditumbuhkan dan disemaikan dalam tingkah laku setiap hari, tanpa harus mengenal (waktu-ruang) dimana, kapan, dan untuk apa dan siapa. Terpenting, suka-cita terdorong oleh rasa kesadaran yang bersemayam dalam tubuh manusia. Sebab kesadaran merupakan sense yang dimiliki manusia dalam mengaplikasikan sukacita, bahkan memunculkan ke permukaan, bukan milik ciptaan-Nya yang lain. Hingga sebuah (peng)harapan kasih-sayang merupakan buahnya dan terwujud tanpa memandang ras, suku, bangsa dan—wa bilkhusus—pemeluk agama-kepercayaan lain. Dengan kesadaran, sebagai kunci integritas, maka peran eksistensi manusia dalam memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi terhadap realitas, dalam mewujudkan sukacita dengan refleksi Ibrahim dan Yesus. Supaya ritual Idul Adha-Natal memberikan epistemologi bagi yang melaksanakan dan mengejawentahkan. Sebagaimana Ibrahim sadar dengan kwalitas-kwantitas (eksisntensial) yang terbatas, sebagai makhluk-Nya, pula Yesus. Mereka rela (ikhlas) dalam menjalankan amanat (baca: firman) dari-Nya.
Jadi sukacita tidak akan (hanya) tampak ketika kita, sebagai manusia, mendapat kebahagian, pada momen tertentu saja. Misalnya, kita lulus ujian CPNS, menikah, melahirkan seorang anak, ulang tahun dan—sayangnya—merayakan tradisi ritual keagamaan di momen tertentu saja. Tapi bagaimana (ke)sukacita(an) dijadikan élan vital, seperti tarikh Ibrahim dengan putranya juga kelahiran Yesus di sebuah kandang hewan, demi terwujudnya transformasi sebuah peradaban manusia progresif dan dengan “Cinta(lah)” sebagai ajaran primer dalam agama-keyakinan, menuju dan menjunjung kemaslahatan umat, dimana humanistik menjadi prioritas utama. Inilah ajaran sejati dari keduanya—Ibrahim sebagai pencetus ritual “Hari Raya Kurban” dan Yesus asal-muasal ritual “Hari Natal”—.
Lain daripada itu, dalam pandangan Islam sesosok Yesus adalah Nabi Isa as, yang merupakan nabi ke-24, hidup sebelum Nabi Muhammad saw lahir. Dan apabila umat Muslim tidak meyakininya maka tak sepantasnya ia disebut “Muslim Sejati.” Karena mengimani Yesus merupakan salah satu pilar iman fundamentalis. Dan di sinilah peran koherensi teologis yang semuanya berasal dari Ibrahim—buyutnya para nabi—sebagai pioner agama samawi: Yahudi, Kristen dan Islam, sehingga ajarannya tersebar ke seluruh penjuru dunia dan ajaran utamanya adalah cinta, kasih, sayang bagi semuanya. Mengutip sedikit syair Abul Ala dalam A Sufi Message of Spritual Liberty (1914): Ka’bah, gereja, ataupun candi // Qur’an, injil bahkan serat kitab kuno sekalipun // Semua ini, kumaklumi sepenuh hati // Karena agamaku, sekarang, adalah (agama) cinta.
Jadi apapun wujud (form) dari sebuah keyakinan (iman) terhadap sesuatu agama takkan menghalangi kita untuk menebarkan rasa cinta sesama. Tentunya penulis—sebagai Muslim—tidak akan segan-segan untuk mengucap “Selamat Hari Raya Natal” bagi umat Kristiani. Sebab cinta puncak segala rahmat yang bermuasal dari Tuhan agama samawi, Illah. Apalagi al-Qur’an telah memberi selamat pada tiga momen: saat kelahiran, wafat dan kebangkitan kembali. “Dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku (Isa: Yesus Kristus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku akan meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (QS Maryam:33). Maka dari itu, bagi umat Muslim yang telah melaksanakan ritual Idul Adha harus berkesadaran sebagai ciptaan-Nya dan mampu membunuh rasa hewaniyahnya, dan—pastinya—takkan segan-segan mengucap “Selamat Hari Raya Natal” bagi saudara kita, tetangga kita, dan masyarakat yang beragama Kristen/Nasrani supaya esensi Idul Adha (hari Raya Kurban) tidaklah sia-sia di ma’rifat-Nya. Yang berorientasi toleransif aktif. Hematnya, membangun bumi Tuhan yang indah nan elok haruslah dengan “Cinta” serta tak harus ada penghujatan atas nama agama-keyakinan, tak harus ada lagi darah yang menghiasi kulit bumi dan tulang-belulang atau mayat-mayat berserakan yang tak dikenal identitasnya. Amin. Allahu a’lam.***

2 komentar:

  1. waduuuuh...
    .
    ,
    referensinya banyak yahh ... hhha saya paling ngga bisa bikin tulisan semacam ini...
    .
    .
    makasih komenna di blog saya,,, sering2 visit yah... =)
    .
    /.
    cerpen saya itu udah dimuat kok ,,, btw penulis juga ??
    .
    .
    nyin

    BalasHapus
  2. Terima kasih...
    Gimana kalau qt ngelinks ja?

    BalasHapus