Sabtu, 25 Desember 2010

Cerpen

Angsa Putih*
Oleh; Adi Winarto

Malam tiba. Denting jarum jam dinding terasa mengetuk telingaku seperti langkah Sumarni saat mengendap-endap, menyusuri pinggir rumah, unuk mengetok jendela rumah sebagai isyarat bahwa malam adalah taman firdaus bagi sepasang kekasih. Saat itu, denting jarum jam masih mengiringi detak jantungku: yang kesepian menunggu Sumarni.
Malam bagai rambut Sumarni—yang legam, yang teruarai dengan indahnya. Gurat-gurat cahaya rembulan kian melamat wajah anggun Sumarni dalam benak. Yang menerobos rerimbunan rambut kepala hingga kantong putih kecil; deg-deg-deg-deg… Ada sesuatu aneh menyusup tubuh. Gemetar. “Di manakah engkau Sumarni malam ini…? Aku menginginkanmu…?” Suara kecil hatiku.
Suara denting jarum jam masih setia menemani rindu yang menggunung. Kucoba melepaskan pandangan mata untuk terbang, melihat jam dinding. Ternyata sudah menunjukkan jam 02.00 dini hari. Mataku langsung menatapnya dengan kosong, melotot. Mengapa Sumarni belum datang?
Pikiranku langsung berkecamuk. Khawatir, bimbang, bahkan takut. Seakan tubuh tersekap dalam goa bertuah. Akal sudah hitam kelam. Hati teroleng angin puyuh. Di manakah Sumarni saat ini? Apa ia masih bersembunyi di dalam hutan malam?
***
Adalah Sumarni. Janda kembang desa yang begitu lugu, dengan perawakan yang tenang. Tubuhnya tinggi semampai, serta sintal, serta juntaian rambut panjangnya mampu menghipnotis para lelaki desa untuk memandangnya. Tanpa terkecuali. Matanya yang bening membuat orang lupa di mana ia berada, seakan musafir menemu oase di tengan gurun. Bibir yang kuncup dengan kombinasi hidung yang mancung—bagai paruh burung gereja—membuat lelaki yang memandang sering terjaga di malam hari. Selalu membayangkan.
Sumarni memang angsa putih di kampung tempat tinggalku. Ia sangat dikagumi oleh orang-orang; entah kawula muda ataupun tua. Tetapi tak satapun yang dapat menaklukan hatinya, kecuali Tukir; mantan suaminya yang telah meninggal. Bahkan anak kepala desa; Sutikno, pernah ditolaknya mentah-mentah. Entahlah. Padahal, Sutikno itu memiliki segalanya. Wajahnya tampan, masih perjaka lagi, dan harta yang melimpah. Tapi mengapa Sumarni menolaknya. Apa Sumarni enggan hidup dengan status yang lebih tinggi dan bermartabat (maaf, dalam kaidah stratifikasi sosial)!
Sehari-hari Sumarni hanya berjualan jamu untuk menghidupi dirinya beserta ibunya yang sudah lansia. Setiap pagi ia harus mengelilingi kampung, menjaja jamu dari rumah ke rumah. Saat siang, ia sudah pulang dengan keranjang enteng yang ditenteng. Sore hari, ia selalu menyempatkan dirinya untuk menelusuri hutan kecil, di samping kampung, guna mencari rerantingan kayu jati jatuh, sebagai bahan bakar untuk menanak. Ketimbang beli minyak gas yang harganya kian melangit dan—yang paling menakutkan—kompor gas subsidi pemerintah yang ganas sering minta tumbal.
Pernah sekali, aku berpapasan dengannya. Saat ia memungut rerantingan kering di dalam hutan. Lalu, kuberanikan diri untuk menyapanya, walaupun, kata-kata orang kampung, ia seorang gadis yang pendiam.
“Lho, dik Sumarni,” sapaku.
Ia menatapku dengan dingin sekali. Seperti tak ada apa-apa.
………
“Ow, Mas Karto. Dari sawah Mas!” Sahutnya dengan lembut hingga membuat hatiku mengembang, bagai bebuihan laut yang kepanasan.
“Dik Sumarni sudah tadi cari kayu kering,” tanyaku. Berharap aku bisa bercakap dengannya lebih lama. Sebab suatu kebanggaan luar biasa, bagi lelaki kampung yang mampu mendengarkan merdu suaranya.
“Iya dik. Biar Mas Bantu mengumpulkan kayu-kayunya.” Tawarku bangga.
“Nggak merepotkan Mas-kan…?”
“Ya, nggak…”
Sejak pertemuan itu hubungan kami semakin intim, hingga berujung di atas kasur. Erangan demi erangan kita eja bersama dan nikmat tiada tara kita baca.
***
“Mas nggak tidur,” tawar istriku.
Sepatah kata pun tak kuhiraukan. Aku masih saja duduk anteng di ruang tamu, seraya merebahkan tubuh di atas sofa empuk. Aku sudah linglung. Apa benar ini rumah impianku? Apa aku tak salah memilih Rumina menjadi pendamping hidupku untuk selamanya? Lantas, mengapa pikiranku selalu tertancap wajah ayu Sumarni, persis seperti wajah rembulan menggelayut di awan dan di bawahnya anak-anak melantunkan nyanyian cokonco-konce seraya bermain jemarinya.
Perasaan cinta dalam dada sudah mulai terkikis, bak batu terkikis air, terhadap istriku. Mungkin benar cinta tak selamanya abadi. Ini hukum alam: sesuatu di semesta pasti mengalami kehancuran atau musnah; entah benda hidup atau mati. Bagiku cinta yang kutancapkan pada Rumina, istriku, telah sirna. Tergantikan oleh sosok Sumarni yang tampak awet muda, tubuhnya sintal, serta berperawakan tenang.
Berbeda dengan istriku, pipinya tembam, tubuhnya gendut, manjanya seribu manja kembang terhadap kumbang yang selalu ingin diperhatikan dan disanjung. Seandainya, sehari saja aku tak memuja dan memanjakannya, maka ia akan ngomel: dasar lelaki impoten. Dan hal ini sering membuat hatiku sakit, bagai sembilu dalam relung kalbu.
Aku tak tahan, dengan sikap istriku, yang terus-menerus dengan mengomeliku seperti itu. Rasanya muka sering tertampar kata-kata. Satu hal yang paling aku takut, jikalau saja istriku cerita pada warga kampung ini, bahwa aku tak bisa memunyai keturunan. Maka mukaku harus disembunyikan di mana!
Sudah 20 tahun lamanya, aku menikah dengannya. Tapi penghibur rumah ini tak kunjug datang. Segala macam cara sudah aku lakukan, mulai konsultasi sama Pak Mantri hingga orang pintar, namun semua tak membawa hasil apa-apa. Hanya menghabiskan uang.
Tapi mengapa akhir-akhir ini hasratku selalu membuncah, saat kutatap Sumarni. Lorong-lorong darah terasa deras. Jantung berdegup dengan kencang. Pikiran terbang ke mana-mana, hingga aku sering lupa dengan diriku sendiri. Siapakah aku? Aku ini sudah tua!
Tiba-tiba, angin dingin menyusup tubuhku. Entah dari mana asalnya! Padahal semua jendela dan pintu sudah kututup rapat. Tubuh gemetar. Aku beranjak, pindah tempat, menuju kamar tidur.
Saat kubuka daun pintu kamar, aku melihat pose istriku sedang tidur. Kuberanikan diri untuk memeluk tubuhnya yang seperti drum rubuh.
“Apa sich Mas…?” Lirih istriku.
“Mas pengen…,” pintaku.
“Ahhh, kamu ini ada-ada saja,” sahut istriku enteng. Seraya ia menepis tangan dinginku yang semula kurebahkan pada gundukan kembar.
Aku hanya bisa diam. Tubuh melentang. Mata menatap kosong langit-langit rumah serasa mata burung siak di atas ranting sedang menunggu mangsa. Rasanya hampa. Hanya guling yang kupeluk erat sebagai pelampiasan: meredam gairah.
Tanpa kusadari, suara kokok ayam dari sudut desa mulai bersorak. Menunggu pagi akan segera hadir. Kemudian, kuhempaskan tubuhku dari atas ranjang.
Esok hari, masih pagi buta, aku pamit pada Rumina untuk pergi ke sawah. Rumina hanya tercengang. “Tumben Mas berangkat pagi-pagi amat!”
Aku tak menghiraukan ujarnya. Tubuhku serasa diseret angin, melangkah cepat keluar rumah. Langkahku kian kencang, tak seperti biasa. Kaki-kakiku terhenti di pertigaan jalan menuju sawah. Tubuh serasa oleng dan kaki-kaki membimbingku pada gang rumah Sumarni. Aku hanya manut.
Sesampainya di samping rumah Sumarni, aku mengendap-endap mendekati kamar tidurnya melalui samping rumahnya seperti maling. Tanpa kusadar, daun telinga menangkap suara desir desah. Rasanya seperti desis ular di balik rerimbunan semak belukar. Begitu menyengat jantung hati. Aku kaget. Kupicingkan mata sebelah untuk memasang pandangan melalui celah kecil di permukaan gedek. Ternyata kulihat gumulan sepasang tubuh bak ular tengah bergelut demi menggapai kepuasan. Adegan tubuh itu terhipnotis irama desah nikmat. Tiba-tiba, darah mendesir begitu deras menuju ubun-ubun. Jantung terasa menyembul dada. Pun nafas tersengal-sengal. Aku terperanjat dengan kenyataan itu. Aku tak terima dengan semua yang kulihat.
“Mas Karto sedang apa?” Pak Rokso menyapaku tiba-tiba dari belakang.
Aku terkejut berikut gagu sebab Pak Rokso menyapa tiba-tiba.
“I…..i…itu Pak! Pak RT sedang barsama Sumarni,” jawabku gagap.
“Maksud sampean apa?” Tegasnya.
“Itu lho Pak. Pak RT sedang melakukan mesum dengan Sumarni. Jika sampean tak percaya silahkan lihat sendiri. Intip dari sini” jawabku seraya menunjuk lubang kecil di permukaan gedek.
Pak Rokso pun mengintip sesuatu yang ada di balik gedek. Tanpa berpikir panjang, Pak Rokso langsung mengajakku untuk menggerebek mereka. Tanpa basi-basi, aku mengikuti langkah Pak Rokso.
“Ayo, keluar Pak RT. Jangan buat mesum di desa ini.” Teriak Pak Rokso dengan semangat berkobar seraya ia mengebuki daun pintu rumah Sumarni.
“Ayo keluar Pak RT bejat atau kau ingin di masa orang-orang kampung,” tambahku dengan suara lantang.
Beberapa menit kemudian, orang-orang kampung sudah berkerumunan di muka rumah Sumarni. Hingga akhirnya kita mengarak keduanya ke rumah Pak Lurah di ujung desa kami. Dan aku menatap tajam Sumarni dengan penuh dendam, seperti mata elang yang siap menerkam angsa yang tengah berenang, di tengah arakan masa.###
 
Catatan: * Cerita ini terilhami peribahasa Rusia; istri orang lain itu angsa putih dan istri kita sendiri bratawali pahit, yang terdapat dalam novel The Kreutzer Sonata karya Leo Tolstoy.

Posted at Radar Jember/Er-Je (Jawa Pos Group) 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar