Senin, 06 Juni 2011

Esai


Lawan Mati Demi Lapar
Begitulah kira-kira adagium para buruh di lereng gunung Ijen. Mereka berani mengais belerang yang baunya apek dan menyengat hidung meski sesak yang menimpa. Hidung mereka jarang tertutup masker padahal asap yang keluar dari cerobong banyak mengandung karbondioksida. Mereka hanya bisa menggigit kain basah demi menepis secuil asap. Tak bisa dibayangkan. Bagaimana jadinya, saat tubuh mengosumsi karbondioksida!
Paru-paru manusia lebih kondusif untuk menghirup oksigen ketimbang karbondioksida. Sebab hal ini bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan (ISPA) yang akhirnya menimbulkan berbagai penyakit, seperti bengek/asma, batuk, alergi hingga tubercolosis/TBC. Tapi semua itu mereka tak hiraukan. Yang ada dalam benak mereka hanyalah anak dan istri mereka bisa makan  sebagai jalan bertahan hidup. Seperti yang diucapkan Pak Boediono, salah satu teknisi cerobong belerang di gunung Ijen, “kita bekerja di sini demi bertahan hidup meski taruhannya nyawa.” Sungguh mulia tekad dan hasrat para buruh belerang. Walau di sisi lain, mereka tahu bahwa umur mereka tak lama lagi dan tentunya kesehatan mereka tak bisa dipertaruhkan untuk mengais reseki dari belerang. Baginya mati karena lapar adalah penghinaan terhadap diri, lingkungan dan agama (baca: Tuhan).

Di samping itu, para buruh pengangkut belerang tetap semangat. Dari wajahnya tampak berbinar-binar, saat mereka mengusung belerang yang beratnya kurang lebih setengah kwintal. Hatinya masih kokoh semisal akar tunggang pohon yang tertanam sangat dalam sehingga mereka tetap semangat berjalan menyusuri jalan setapak yang kurang lebih 3 kilo-an. Jarak dari puncak gunung Ijen ke daratan (kaki gunung) sekitar 3,5 km. coba anda bayangkan, pundak kita bebani dengan berat setengah kuintal, ditambahi berat badan kita. Apa mungkin!
Tekad dan hasrat sudah inherensi maka semuanya bisa dilalui. Sebarat apapun terpaan yang kita alami diri kita masih mampu untuk menyelesaikan itu semua. Namun jangan lupa satu hal, sebagai modal utama, yakni rasa ikhlas. Yang harus dimilki setiap insan untuk memupuk tekad dan hasrat sehingga aksi kita kamil dan bermanfaat bagi yang lain. Maka dari itu, tekad, hasrat, dan ikhlas haruslah menjadi modal setiap manusia dalam mengerjakan (beraksi) sesuatu. Karena ketiga unsure itu merupakan kunci sukses menggapai bahagia.
Berbeda dengan para politisi yang hanya mengandalkan tekad dan hasrat sehingganya mereka tak menghiraukan apa-apa lagi; menafikkan aspirasi rakyat. Tak ada lagi keadilan dan manfaat. Cuma keserakahan yang membimbing dirinya. Entahlah, berbagai cara dilakukan . Cuma keserakahan yang membimbing dirinya. Entahlah, berbagai cara dilakukan demi memenuhi hasrat (nafs amarh) semata. Berkehendak membuat gedung baru MPR-DPR RI, menjual asset-aset bangsa bahkan menghisap darah saudara se-tanah air dengan produk kapitalisme politik.
Di sini, tipografi manusia yang akan melalap humanisme. Hanya ada kesehjateraan dan keadilan pribadi. Para politisi buta dengan ke-ikhlas-an mati. Seakan tak nyaman mati dalam keadaan fakir atau miskin. Walaupun mereka tahu, orang mati tak akan membawa kekayaan, asset berharga (anak dan istri), nama besar/pangkat, dst. Padahal ikhlas merupakan senjata pamungkas dalam menaklukan egoisme pribadi maupun golongan. Yang semua itu akan membawanya ke liang-liang kehancuran dan berdampak pada sekitar (baca: rakyat biasa).
Mati bukanlah pilihan tapi komitmen bagi yang hidup, sedang rasa lapar adalah pilihan yang berkomitmen. Kiranya mati dan lapar bukan pedang yang bermata dua, bukan pula boomerang yang tak bermata, yakni sebuah jalan keikhlasan dalam memenuhi panggilannya.***    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar