Senin, 06 Juni 2011

Esai

Revelasi Estetik




Judul Buku: Nabi Tanpa Wahyu
Penulis: Hudan Hidayat
Cetakan: Januari 2008
Penerbit: Pustaka Pujangga (PuJa)
Tebal Buku: xii+218

 
 








Oleh: Adi Winarto
 
Mengakrabi kata-kata butuh proses-waktu. Bukan sekedar tahu fungsi-makna; etimologis maupun epistemologis. Bukan sekedar menyomot dari KBBI untuk digunakan, pula tak hanya menilai/mengevalusinya sebagai bentuk interpretasi atau pretensi saja.  Tak pelak pembaca, bisa juga penulis sering terperangkap, bahkan terjerembap, dalam penjara makna sehingga makna membias seperti bayang-bayang hitam di permukaan air, yang sering memantul dan pembiasan.
            Perihal ini yang menjadi kacamata pembesar bagi Hudan Hidayat (HH) dalam mendeskripsikan karya sastra yang terkumpul dalam buku “Nabi Tanpa Wahyu”, yang merupakan kumpulan esainya, yang ditulis semenjak kurun 2001-2007. Dalam buku tersebut terdapat 26 esai (judul), yang menjadi evaluasi HH dalam mengikuti perjalanan sastra tanah air. Mulai dari antologi cerpen, kliping koran hari minggu dan novel yang menjadi ‘alat-alat operasi’ dalam mendedah karya sastra, bahkan komunitas kesenian dan kebudayaan (TUK) juga ikut terpaut dalam menerangkan hasil karya sastra yang dianggapnya luar biasa (hal. 29).         Serunya lagi, esai-esai yang dijuruskan HH membabi buta terhadap orang-orang yang anti(pati) terhadap teori dan karyanya. Semisal menggugat opini Taufik Ismail yang menyorongkan ‘sastra madzab selangkangan (SMS), fiksi alat kelamin (FAK), dsb yang dianggap strategi politik (sastra) dalam menjatuhkan musuh-musuhnya semisal Lekra menyebut musuhnya; Manikebu (hal. 7). Sepertinya HH melayangkan jurus mabuk bagi orang-orang sekelilingnya—antipati, terhadap karya-karya sastra berbau lendir putih dan beraroma gairah/syahwat.

Diakui atau tidak, karya-karya sastra yang dianggap jorok, immoral, bukan sekedar perangsang bagi pembaca melainkan sebagai kaca pembanding, refleksi, dalam menyikapi fenomena yang terjadi saat ini. Misal karya Ayu Utami dalam novel Saman, cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, puisi-puisi Binhat Nurrohmat yang semuanya itu mengandung unsur humanisme universal meski sebagian kalangan sangat takut, mungkin khawatir kesurupan nafsu liar. Di mana, kalimat yang terjuntai dengan indahnya adalah bentuk rekaman, recording, penulis dalam merekam momen yang memilukan. Pula bisa, rekam jejak penulis dalam mengutarakan kepiluan, kesepian, rintihan nurani sebagai ungkapan (ke)tidak puas(an) terhadap ekosistem.
Tak lepas dari itu, Al-Quran yang tak lain adalah kitab suci umat Muslim menyiratkan ayat-ayat porno (syahwat) seperti QS. Yususf ayat 23: “ Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Rata-rata mufassirin  mempresentasikan sesosok Zulaikha, yang merayu Yusuf, tengah menggunakan baju tidur yang amat tipis sehingga mulus lekuk tubuhnya tertangkap mata Yusuf. Mungkin (bisa juga) Zulaikha sedang telanjang; maaf sebelumnya (naudzubillahi min dzalik). Dengan arti, bukankah ayat tersebut juga mengandung, menyiratkan,  unsur syahwat atau pornografi! Kalaulah begitu, sebagian sastrawan (muslim) yang menolak gerakan syahwat tentunya tak penah membolak-bolik (membaca-menghayati) kitab sucinya.
Tak disangka, HH melemparkan granat bagi para kritikus-penggiat sastra dalam memanifestasikan novel karyanya: Tuan dan Nona Kosong (TNK). Yang mana, novel tersebut keluar dari hukum konvensional, abnormatif, (per)novel(an) Indonesia seakan-akan ia mampu menyiratkan ayat-ayat gelap dalam TNK (hal.21-27). Saking gampangnya, sebagian sastrawan di negeri ini mencap HH seorang atheis. Maklum, seperti yang diutarakan Muchtar Lubis (1920) dalam orasi kebangsaanya, bahwa manusia Indonesia suka berbuat (beraksi) namun tak cukup mempertanggung-jawabkannya. Seyogianya, sastrawan yang menganggap dirinya lebih suci ketimbang yang lain mampu menunjukkan sesuatu yang lebih baik, bukan hanya sekedar menghujat, tapi memberikan apresiasi yang lebih dalam berkarya (kesusastraan). Sebab, menurut hemat penulis, atheis maupun theis, kafir atau beriman, adalah lorong trasedental; hak preogratif Tuhan. Mengutip sedikit teori Alfred North Withead[1] (2009) kebenaran religius tentulah berkecambah dari pengetahuan yang kita peroleh tatkala operasi inderawi dan intelektual kita yang biasa-biasa saja berada pada puncak kepekaan. Dengan arti, sastrwan pengecap atheis—yang dengan gampang dan remeh-temeh, merupakan sesosok manusia yang mengaku-aku dirinya adalah khalifahNya, mungkin saja ia menganggap dirinya adalah Tuhan, sebagaimana paham Tajalli yang dikenalkan oleh Ibn Arabi. Tapi ingat Ibn Arabi tak pernah mendeklarasikan dirinya adalah Tuhan.
Memang sulit menterminologikan atheism dan theisme, terpenting kita sebagai insan yang paling dikagumi, bahkan disayangi, oleh Tuhan sepatutnya sadar akan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Meskipun diri tak suka, benci, terhadap karya-karyanya. Ya, akan lebih baik-bijak bila kita membuntuti ungkapan yang dilontarkan filsuf (Perancis) Voltaire;  jika aku tak menyukai pendapatmu, aku akan tetap mendukung hak suaramu. Tentu kesusasteraan Indonesia akan lebih beragam dan kaya khazanah. Tanpa harus mengucilkan, intervensi, satu sama lain. Dan yang lebih penting, tetap berjuang menurut ideologinya.
HH turut membela karya-karya sastra  paradoks. Abnormalisasi. Seperti novel karya Chavcay; Payudara dan Sendalu. Yang berjalan menyisir molek tubuh wanita, seperti yang diungkapkan sosiolog Ivan Illich, wanita adalah lotus dunia. Hingga tubuh wanita sering dianggap tabu; termasuk bagi kaum feminis sendiri.
Mendeskripsikan tubuh wanita dalam wadah sastra memang pelik, kerap kali emanatif interpretasi. Ada yang menganggap jorok, jijik, momok sekalipun. Aneh rasanya, ketika kemolekan tubuh wanita itu harus berujung stereotip negatif. Seakan wanita adalah ras inferior. Padahal, sadar atau tak, setiap mata yang menangkap tubuh wanita akan segera memberikan ruang tersendiri. Di mana ruang itu akan menghasilkan nilai dan evaluasi dari hasil visual(isasi). Terkecuali bagi tunanetra. Lalu, di bagian terakhir buku tersebut, HH menutupnya dengan manis—esai berjudul Perdebatan yang Tak Selesai. Ia mengisahkan sesosok HB. Jasin yang suka pada sastra, sekaligus kegundahan hatinya tentang kesusateraan Indonesia yang kian lama kian kerontang, gersang dan kering. Miskin karya (sastra).  
Di samping itu, HH menganalisa karya-karya fenomenal sebagai kubangan analisa dalam mendedah hingga ia mampu mengejawentahkan pemikirannya. Adalah benar teori Roland Barthes (2010)[2] kekekuatan penulis adalah menggabungkan tulisan-tulisan yang ada, menggugat tulisan tertentu dengan tulisan lain, dengan suatu cara sehingga alirannya tidak terhenti di satu tulisan semata. Maka dari itu, apapun bentuk tulisan yang dihasilkan tangan-tangan dingin sastrawan patut menjadi dunia literasi dan referensial kesusasteraan itu sendiri, tanpa harus membedakan status dan pemikirannya tapi seyogianya menjadi bahan komparasi, evaluasi, sehingga akan lahir karya-karya agung dari tangan-tangan (calon) sastrawan, di masa-masa selanjutnya. Dan—tentunya—buku ini patut disederetkan dengan buku-buku kritik-kritik sastra lain demi memerkaya khazanah pengetahuan estetika, sebagai jalan revelasi estetik; yang mampu mengentaskan pembaca-penulis dari lubang gelap; subjektif-sentimentalis.***    
                 



[1] Alfred North Whitehead, Mencari Tuhan sepanjang Zaman, hal. 147, Mizan 2009

[2] Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, hal. 150, Jalasutra 2010 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar