Senin, 29 Agustus 2011

Esai

STIMULI IDUL FITRI
 oleh: Adi Winarto
“Penyesuaian diri terhadap harmonisasi ilahi merupakan penyebab adanya dunia. Tidaklah benar jika dikatakan bahwa dunia aktual menampakkan adanya keteraturan secara kebetulan. Dunia aktual ini ada, justru karena keteraturan (keseimbangan).”[1]
Pernyataan di atas, merupakan konsepsi Ilahiyah bagi alam semesta. Tak terkecuali. Dan tak bisa dipungkiri, momen Idul Fitri, kali ini, adalah jembatan keteraturan bagi umat muslim di Indonesia dalam memupuk integritas kebangsaan. Sedangkan puasa dan zakat fitrah adalah ritual induksi dalam menyambut hari raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Menang secara lahir dan batin setelah berjuang (dedikasi) dalam menahan lapar, haus, gejolak syahwat serta aksi yang mendorong kemungkaran dan menimbulkan kemudaratan sosial. Di sini, hari kemenangan bukan hanya milik umat Islam melainkan kemenangan sosial. Yang mana,  hari fitri, kali ini, bertepatan dengan bulan Agustus yang menjadi tonggak sejarah dalam kemerdekaan bangsa ini.  Pada bulan ini seluruh masyarakat Indonesia telah merayakan HUT RI 66 serta hari kemenangan umat Muslim.
Momen ini, harus memiliki nilai positif dalam mengukuhkan nasionalisme. Apalagi pemukim di negeri ini mayoritas muslim. Yang mana, sebentar lagi, umat muslim akan berlomba-lomba untuk silaturahmi dalam menjalankan tradisi Idul Fitri; bertemu handai-taulan di kampung halamannya pula berkumpul dengan teman-teman karib. Di sini, kita akan memetik rasa persaudaraan, kesatuan bangsa-negara. Berbeda dengan perayaan Idul Fitri di negara lain, yang mengisi momen itu dengan berlibur, piknik dsb. 
Namun momen Idul Fitri jangan menjadi jembatan pembatas di antara umat lainnya. Realitasnya, perayaan Idul Fitri di negeri ini hanya dirayakan dengan sesama agama (Muslimin). Sedangkan pemeluk agama lain tak dianggapnya. Kita hanya bersilaturrahmi, bermuajah, dengan sesama muslimnya. Tetangga-tetangga dekat kita yang non-muslim dibiarkan saja, tanpa diperhatikan. Aneh. Pamali, rasanya.
Memang Idul Fitri merupakan hari raya bagi pemeluk agama Islam. Tapi jangan lupa, Muhammad SAW merumuskan konsepsi hari raya bagi Islam sebagai evaluasi eksistensi manusia, setelah berpuasa sebulan penuh dan mengeluarkan zakat fitrah. Yaitu ‘kerendahan hati’ dalam mencakup eksistensi manusia. Karena setiap manusia dan hayawan  (binatang dan isi alam), wanita dan pria, muslim dan non-muslim, memunyai kelebihan dan kekurangan. Alhasil, sesuatu di muka bumi ini membutuhkan dependensi, ketergantungan dan saling melengkapi (reguler), demi kehidupan yang harmonis di bumi Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT (QS. Alfurqan; 63): “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”  
Tentu sebagai WNI yang berbeda agama-keyakinan seyogianya saling memaafkan demi kelangsungan ‘harmonisasi negeri,’ Seperti yang diungakapkan Al-Harits: hanya dua nikmat yang tak bisa terlepas pada setiap manusia yakni nikmat ciptaan Tuhan dan nikmat kelanjutan: dependensi (nikmatani ma kharaja maujudun ‘anhuma wa la budda likulli makkunin minhuma ni’matul ijadi wa ni’matul imdad).[2]
Dependensi (ni’matul imdad)  tak lain adalah wujud kerendahan hati (khatabah). Yang mampu menyemaikan kasih-sayang terhadap semua. Kasih terhadap diri. Sayang terhadap semua. Bahkan berbuat terbaik dan memuaskan hati mereka. Semisal Sabda SAW: “orang penyayang itu bukan menyayangi diri sendiri (egois) tetapi menyangi diri sendiri dan menyayangi orang lain.”[3] Ihwal ini pastinya membuka lebar-lebar, pula memupuk, rasa kebersamaan hingga mewujudkan peradaban yang harmonis. Mungkin bisa mencegah fanatisme agama-golongan-tribal. Seperti yang tertoreh dalam sejarah berdirinya bangsa ini. Di mana para pemuda-di berkumpul untuk merumuskan konsepsi bangsa-negara RI, di tahun 28 Oktober 1928. Tambahnya, di bulan Agustus 1945, Soekarno-Hatta—yang notabenenya muslim—didesak oleh kaum pemuda untuk membacakan teks proklmasi kemerdakaan. Di penutup teks proklamasi beliau mengatasnamakan kemerdaakan itu adalah usaha seluruh WNI, bukan muslim saja. Naïf,  jika di bulan Agustus ini momen Idul Fitri dianggap kemenangan satu golongan saja. Mustahil bangsa ini menjunjung tinggi perdamaian di atas semua golongan. 

Sebab keharmonisan bangsa ini merupakan tanggung jawab kita bersama—khususnya muslim yang merupakan mayoritas penduduk NKRI. Bukan itu saja, para punggawa bangsa ini harus membuka mata lebar-lebar, tapi jangan menutup kuping, dalam menumbuhkan integritas. Bukannya serta-merta membuat aturan hukum seenaknya, semisal SKB yang menafikan golongan Ahmadiyah. Pula, ada sebagian ormas Islam yang memudahkan mencap (branding) terhadap suatu golongan sesat maupun kafir. Perihal ini, mengidentifikasi bangsa ini masih belum dewasa; baik berkata-bersikap. Maka dari itu, momen Idul Fitri (hari purifikasi) seyogianya menjadi ajang rekonsiliasi bagi umat Islam dengan umat yang lain. Tanpa pandang SARA.
Akhir, beduk  akan segera ditabuh keras-keras, kidungan takbir akan berkumandang di jagad raya. Bertanda Idul Fitri akan tiba, bagi semua.  Semoga Idul Fitri, kini, kita bisa umbar hangat ber-salam-an dengan siapa saja, muslim-non muslim, kaya-miskin dsb, tanpa kecuali. Seperti yang dititahkan Nabi Muahmmad SAW: ‘orang Islam itu adalah orang yang dapat membuat manusia lain merasa aman dan selamat dari perbuatan dan kata-katanya.”[4] Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H: mohon maaf lahir-batin, dan semoga bangsa ini tetap terlimpah rahmatNya.***



[1] Alfred North Withehead, mencari Tuhan Sepanjang Zaman  (Mizan, 2009), hal. 93.
[2] A. Fadhil Ahmad bin Athaillah Al-Iskandary, Al-Hikam (Beirut, 1914), hal 88.  
[3] Muhammad bin Ahmad Al-Ghazalie, Ihya’ Ulumuddin (Mitra Press, 2008), hal 273
[4] Muhammad bin Ahmad Al-Ghazalie, Ihya’ Ulumuddin (Mitra Press, 2008), hal 274


Tidak ada komentar:

Posting Komentar