Sabtu, 18 Februari 2012

Esai

KURBAN DAN CINTA 

Dongeng suci Penyembeihan Ismail menjadi muara inspriasi dalam menuaikan ibadah suci kurban (Id Adha). Hari raya besar kedua bagi muslim setelah Id Fitri. Kurban merupakan prosesi suci dalam mengimplementasikan eksistensialisme, baik vertikal maupun horizontal, pula memiliki nilai simbolik reliji.
Di samping itu, prosesi kurban bagi muslim memunyai nilai etis dalam pemotongan hewan kurban. Alhasil hewan kurban yang hendak disembelih haruslah sehat/tidak sakit, gemuk, dan tentu tak memiliki cacat secara fisik. Perihal ini berkaitan dengan adab/etika dalam penyembelihan. Lantas keterkaitan dengan romantisme. Apa perlu pengorbanan atau sekaligus menyuguhkan ku(o)rban dalam menjalin romantisme! Dari prosesi Id Adha kini kita bisa memetik pelajaran bagaimana seharusnya kita berkurban untuk seorang yang kita cintai.   
 Berbicara cinta tentu butuh stimuli. Mungkin takkan pernah selesai dibahas. Bisa jadi polemik. Mungkin umur kita takkan cukup dalam membahasnya. Bahkan Rumi tak sanggup mengomunikasikan bahasa cinta itu sendiri. Apalagi Sartre dan Nietzche mengangggap cinta nihil-absurditas. Seperti adagium—normatif—cinta butuh pengorbanan. Entah pengorbanan materi, perasaan, pikiran, tenaga, kalau perlu mengorbankan yang hidup. Semisal Ibrahim yang amat cinta pada Tuhannya hingga ia harus merelakan putranya disembelih sebagai perjamuan ke-iman-an.
Apalagi kalau menganalisa hubungan cinta segitiga. Tentu berdampak pada kurban cinta. Ada yang dikurbankan; secara konotatif. Entah ditinggalkan sendiri atau harus menemui ajalnya sendiri demi mengukuhkan ideologi cinta. Tak pelak, berita bunuh diri gara-gara cinta mengebaki berita di koran.
Lalu seperti apa sebenarnya kurban cinta? Apakah ia yang mengakhiri hidupnya demi cinta? Ataukah menapaki hidup dengan selibat/membujang seumur hidup (maaf bukan mengintimidasi pastor/rahib)? Atau kalau perlu menunggu kekasih yang dicintainya kembali ke pangkuan?
Rasa Kurban-Cinta
Perasaan adalah suata indera keniscayaan yang bisa dicecap atau dirasakan. Meski sulit mengartikannya; secara epistemologis dan aksiologis. Dan kita sering dibuai oleh perasaan itu sendiri. Apakah kita termasuk keduanya: kurban rasa atau kurban cinta! Hingga Ibn Arobi tak sadar telah dijadikan ‘budak’ cintanya (lihat bukunya: Tarjumanul Ashwaq).
Menurut Michael Jung, perasaan itu lahir karena ketidakberdayaan manusia dalam menyerap suatu fenomena hingga—kadang-kadang—kita terbuai/terpana dengannya. Diakui atau tidak, perasaan menjadi kendali (stabilitator) dalam membangun kerangka sifat/karakter manusia dan seisi alam. Bahkan al-Ghazalie sempat keteteran saat beliau menganggit masterpiece Ihya Ulumuddin. Kemudian bagaimana dengan perasaan kurban cinta!   
Sebelumnya, kita harus mengetahui dengan detail perasaan apa yag terpendam dalam sanubari. Hingga kita mampu mendedahnya. Apakah Cuma perasaan suka-cinta-sayang? Sebab ketiga unsur itu memiliki simetris. Mirip. Meski berbeda sedikit. Di sinilah al-Jauziyah sangat lihai (baca: cerdas) dalam mendefinisikan makna cinta dan perasaan (lihat bukunya: Taman-taman Orang Jatuh Cinta dan Pemendam Rindu/Durratul Muhibbin wa Nuzha Musytaqiin, Air Mata Cinta dan Pembersih Dosa/Bahr al-Dumu’). Yang mana perasaan itu hadir dengan bias pemikiran seseorang. Selama orang itu berpikir secara sistemik-logis (optimis) maka perasaan itu akan menghantarkannya/mewujudkannya apa yang diimpikan. Pun sebaliknya jika perasaan itu berpikir pesimis maka perasaan itu akan menghantarkannya pada gulita.          
Persis dengan pengalaman Ibrahim (sekitar 4000 SM) saat ia bermimpi untuk dimintai pertanggung-jawaban atas nadarnya. Ia bimbang sekaligus ragu. Antara percaya dan tidak percaya. Antara muslihat setan dan oase Ilahi. Ia pun berkontemplasi selama 3 hari 3 malam. Hingga ia menemukan jawaban itu semua. Yang ternyata, Tuhan menagih janji Ibrahim.
Di sini, kita bisa mengambil hikmah sikap kontemplasi. Adalah percikan suara Tuhan yang mampu membuat kita lebih sadar dengan perasaan yang dialami. Meskipun manusia memunyai karakteristik ragu-khawatir (min al-waswas al-khannas). Tapi secuil persepsi itu bisa membangkitkan cipta-rasa-karsa dalam memanifestasikan rasa kasih-sayang; yang telah disematkan Tuhan dalam tiap diri, bagi semua. Tak luput perihal ini merupakan kunci jiwa dalam selubung kompleks kehidupan sampai pengorbanan menjelma cahaya cerlang. Semisal hewan kurban yang diberikan Tuhan kepada Ibrahim, sebagai pengganti Ismail. Yakni domba.
Maka kurban (rasa-cinta) adalah hal dedikasi. Bukan intimidasi. Jangan salah berasumsi tentang cinta butuh pengorbanan; seberapa dalam kita menyintai; dan seberapa besar menyintai. Semua itu klise kehidupan yang berujung niscaya. Kapan dan bagaimana kita harus menyintainya? Atau kita yang salah menyintainya! Dan seyogianya kita berusaha meraih cinta dengan optimis, tanpa menafikkan nilai humanisme universal yang merupakan wujud ilahiyah. Tentu dengan kesederhanaan pula hari kurban kini menjadi  mobilitas bagi umat muslim untuk saling menyintai semua, tanpa terkecuali. Lalu, hemat kata, cintailah seorang dengan kesederhanaan sebagaimana puisi yang diungkapkan Begawan Sastra Indonesia, Sapardi Djoko Darmono; Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu // Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…***

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar